Opini
Hardikda Momentum untuk Bangkit
Anggaran pendidikan yang mencapai Rp 3,5 triliun pada 2021 hasilnya tidak sebanding dengan capaian prestasi sekolah-sekolah Aceh
Persoalan ini telah lama diabaikan atau bahkan tak tersentuh sama sekali.
Birokrasi pendidikan di berbagai level unit kerjanya tidak memiliki instrumen yang kredibel untuk mengukur daya serap.
Kalau hari ini kita bertanya, sampai dimana daya serapan kurikulum Aceh? Saya yakin tidak ada jawaban yang benar-benar akurat dan memuaskan.
Padahal daya serap menjadi urat nadi pendidikan.
Tidak perlu menghabiskan waktu berdebat soal rankingrankingan jika Aceh memiliki pola dalam mengukur daya serap kurikulum.
Makanya, Disdik jangan hanya fokus memikirkan daya serap anggaran saja.
Karena core tugas sebenarnya adalah daya serap kurikulum.
Baca juga: Melesat, Meleset (Konklusi Diskusi Pendidikan Aceh)
Jangan fokus proyek! Disdik perlu menyusun sebuah mekanisme bagaimana mengukur daya serap secara fair.
Instrumen itu harus mengikat semua stakeholder pembelajaran, mulai dari guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, kepala cabang, hingga kepala dinas.
Instrumen ini akan menjadi tool bagi semua pemangku kepentingan, apakah guru, pengawas sekolah, bahkan kepala dinas.
Kita harus jujur, sampai hari ini persoalan pembelajaran di kelas belum terbenahi dengan baik.
Selain kurang concern-nya pejabat birokrasi yang terlanjur dimanjakan oleh proyek, SDM pendidik sendiri juga berselemak masalah.
Gaung “Merdeka Belajar” yang begitu hingar-bingar tidak berpengaruh apa-apa bagi sebagian pendidik dan sekolah.
Sampai hari ini isuisu sekitar copy paste bahan persiapan mengajar masih acap kita dengar.
Instrumen daya serap adalah jawaban dari semua persoalan tersebut.