Kupi Beungoh
Masih Adakah MAA?
Simbol keistimewaan Aceh lainnya adalah Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Majelis Pendididkan Aceh (MPD) dan Mahkamah Syariyah (MSA) sebagai peradi
Begitulah nasibnya MAA. Tak ada yang mau peduli, termasuk dari Lembaga WalI Nanggroe yang digadang-gadang sebagai lembaga pemersatu masyarakat.
Baca juga: Gelar Musyawarah, Ini Tiga Nama yang Diusulkan Pimpin Majelis Adat Aceh
Orang-orang sekeliling Pak Nova ketika itu diam seperi tidak paham dan membiarkan Pak Nova dalam kesalahan berpikir dan bertindak sehingga meninggalkan kesan dan contoh yang tidak baik sebagai warga dalam merespon putusan hukum sehingga lupa kepada pesan “Adat Bak po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putro Phang, Reusam Bak Lakseumana”.
Memang ada lagi hal aneh dan lucu dari sikap pak Nova sebagai Gubernur dalam soal MAA.
Selain tidak mengakui hasil Mubes 2018, Nova yang ketika itu ,asih menjabat Gubernur Aceh menganulir sendiri hasil Mubes MAA 2019 yang sudah sempat di SK-kan dengan mengesahkan susunan Pengurus lain diluar hasil Formatur MUBES 2019 yang disinyalir agak berbau politis tanpa mengindahkan ketentuan ketentuan yang diatur dalam Qanun MAA.
Misalnya calon pengurusnya tanpa melalui keharusan mengikuti tes baca Alquran terlebih dahulu, tapi langsung dinobatkan pada posisi strategis dan telah dikukuhkan oleh paduka Wali Nanggroe.
Padahal belum tentu mereka bisa membaca Alquran atau tidak.
Mungkin inilah yang disinyalir oleh pengamat sebagai tindakan yang mengobok-obok lembaga MAA untuk beberapa kepentingan tertentu dengan mengabaikan ketentuan-ketentuan dalam Qanun yang disusun sendiri bersama DPRA.
Yang menjadi pertanyaan banyak pihak adalah, apakah dengan demikian persoalan kisruh di MAA sudah selesai.
Wah Ternyata tidak dan belum selesai.
Tokoh-tokoh hasil Mubes 2018, yang telah diakui sah oleh Peradilan Tertinggi (Mahkamah Agung RI) masih tetap menolak dan tidak dapat menerima keputusan Gubernur Nova yang mengangkat pengurus hasil Mubes 2019 menganggapnya sebagai ilegal, bertentangan dengan hukum yang berlaku dan penuh risiko menggunakan Anggaran Belanja Negara.
Baca juga: Majelis Adat Aceh Gelar Diskusi dengan Masyarakat Aceh di Perantauan
Sebagai wujud sikap Istiqamah mereka dalam memperjuangkan kebenaran mereka pun kembali menggugat GubernurAceh di Pengadilan Negeri dengan materi gugatan ganti rugi yang sekarang masih berproses.
Para pemerhati dan Akademisipun masih menolak dan tetap meminta Gubernur melantik H Badruzzaman Ismail yang dipilih oleh Mubes MAA 2018 secara demokratis dan sesuai dengan aturan Qanun, apalagi putusan TUN tingkat kasasi yang menguatkan putusan TUN Banda Aceh telah berkekuatan hukum telah memerintahkan Gubernur mengangkat Ketua MAA dari MUBES MAA 2018, tak ada pilihan lain.
Dengan kondisi problema yang telah diuraikan diatas,wajarlah masyarakat bertanya tanya apakah MAA masih ada. Salah satu jawaban yang mungkin dapat disampaikan adalah ” MAA “ antara ada dan tiada, antara asli dan pura-pura.
Wujudnya kelihatan masih ada tapi rohnya telah tiada. Wujudnya masih kuat berjalan menggunakan anggaran tapi kesan, harapan, wibawa dan kehormatan telah tiada.
Harapan untuk menggapai visi - misi mempertahankan dan mengembangkan budaya Indatu sudah tidak berwibawa dan kehilangan marwah karena jelas menurut bacaan putusan peradilan jelas tidak diakui.