Jurnalisme Warga
Rabee, Kuliner Lezat dari Kluet yang Terlupakan
Kluet merupakan sebuah wilayah yang berada di Kabupaten Aceh Selatan, memiliki keunikan ragam budaya, adat istiadat, kesenian, dan ragam bahasa

OLEH BAIHAKI, Redaktur Media Thejurnal, melaporkan dari Kluet, Aceh Selatan
Kluet merupakan sebuah wilayah yang berada di Kabupaten Aceh Selatan, memiliki keunikan ragam budaya, adat istiadat, kesenian, dan ragam bahasa.
Wilayah Kluet terdiri atas lima kecamatan, yaitu Kecamatan Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Timur, Kluet Tengah, dan Kecamatan Pasieraja.
Jumlah penduduk kelima kecamatan ini lebih dari seperempat penduduk Kabupaten Aceh Selatan.
Keunikannya, penduduk Kluet merupakan penutur tiga bahasa daerah sekaligus, masing-masing bahasa Aceh, bahasa Kluet, dan Aneuk Jamee.
Untuk bahasa Aceh yang tak asing lagi bagi kita, sepenuhnya digunakan oleh masyarakat Pasieraja, sebagian masyarakat Kluet Utara, dan sebagian kecil masyarakat Kluet Selatan.
Sedangkan bahasa Kluet yang mirip dengan bahasa Alas dari Aceh Tenggara, dalam kesehariannya digunakan oleh mayoritas masyarakat Kluet Timur dan Kluet Tengah, dan sebagian Kluet Utara.
Baca juga: Kunker ke Kluet Tengah, Bupati Aceh Selatan Hadiri Sejumlah Kegiatan
Baca juga: Babinsa 07/KS Berikan Wasbang kepada Siswa SMAN 1 Kluet Selatan
Selanjutnya, bahasa Aneuk Jamee yang persis sama dengan bahasa Minang dari Sumatera Barat, 95 persen digunakan oleh masyarakat Kluet Selatan.
Berdasarkan sejarahnya, Kluet pernah dijajah oleh kolonial Belanda.
Sebagai reaksi atas penjajahan serdadu Belanda itu lahirlah para pejuang kemerdekaan dari kawasan ini, seperti Teuku Cut Ali dan Panglimo Rajo Lelo, dan beberapa tokoh pejuang lainnya.
Kisah perjuangan heroik para tokoh pahlawan dalam mengusir penjajahan dari tanah Kluet dan Aceh Selatan banyak yang belum dibukukan.
Kalaupun ada dipublikasi, hanya sekilas kita peroleh dari artikel-artikel yang belum lengkap.
Maka, sudah selayaknya kiprah para pejuang kemerdekaan dari Aceh Selatan masuk dalam daftar nama-nama pejuang kemerdekaan nasional asal Aceh.
Pada focus group discussion (FGD) tahun 2019 lalu yang dilaksanakan oleh Bidang SMA Dinas Pendidikan Aceh diundang guru-guru dari Kluet untuk membahas pengembangan bahasa, budaya, dan kuliner dari Kluet untuk dijadikan kurikulum muatan lokal di sekolah, khususnya di wilayah Kluet, Aceh Selatan.
Saya sendiri bersama Herman RN MPd dan Dr Sehat Ihsan Shadiqin menjadi fasilitaor dalam FGD tersebut.
Mengangkat kearifan lokal dari Kluet merupakan target utama tujuan kami menghelat FGD tersebut.
Kegiatan itu berlanjut dengan melakukan monitoring dan evaluasi (monev) yang dibiayai oleh Dinas Pendidikan Aceh.
Baca juga: Ketua Pokja Bunda PAUD Aceh Selatan Wisuda Siswa/i PAUD se-Kluet Tengah
Tahun 2020 dilaksanakan worshop, kemudian tahun berikutnya dilakukan program-program strategis untuk mewujudkan blueprint yang sudah rampung.
Namun, pandemi Covid-19 melanda Indonesia, termasuk Aceh, sehingga workshop yang akan dilaksanakan akhirnya batal.
Pada tahun 2021 juga mengalami kendala, lagi-lagi lantaran Covid-19.
Tahun 2022 diusulkan kembali untuk dilaksanakan program yang tertunda.
Semoga pada tahun 2023 bisa dilaksanakan workshop pengembangan kearifan lokal wilayah Kluet tanpa aral merintang sehingga program penulisan kamus bahasa dan budaya dari Kluet, serta lainnya bisa terwujud.
Dari aspek budaya, di Kluet terdapat kuliner khas yang sangat lezat, tapi hampir terlupakan seiring dengan perkembangan zaman, yaitu rabee.
Berdasarkan penelusuran saya, rabee ini sangat populer di Kecamatan Kluet Timur, Kluet Tengah, dan Kluet Utara.
Namun, asal muasal makanan ini dari Desa Lawe Sawah.
Cuma, banyak masyarakat di tiga kecamatan ini yang sudah berdomisili di Kecamatan Kluet Selatan dan Pasieraja tetap mempertahankan masakan khas ini.
Kecamatan Kluet Timur memiliki dua kemukiman, yakni Kemukiman Makmur yang terdiri atas Lawe Sawah, Lawe Cimanuk, Buluh Didi, Paya Dapur, dan Desa Pucuk Lembang.
Baca juga: Bupati Aceh Selatan Tutup Rangkaian Kegiatan HUT Ke -20 Kluet Timur
Kemudian, Mukim Perdamaian terdiri atas Desa Paya Laba, Sapik, Durian Kawan, dan Desa Alai.
Di semua desa tersebut di atas, saat hari meugang jelang Ramadhan, Idulfitri, dan Iduladha rabee menjadi menu wajib untuk disajikan.
Tak terkecuali, semua masyarakat desa yang ada di Kluet Tengah dan sebagian Kluet Utara juga melakukan hal yang sama.
Seiring dengan perjalanan waktu, banyaknya makanan cepat saji yang tersedia di warung, kafe, atau tempat-tempat lainnya sehingga rabee kian terlupakan, khususnya bagi generasi muda asal Kluet.
Saya pernah melakukan observasi di beberapa sekolah di wilayah Kluet.
Ternyata, hanya sebagian siswa yang mampu menyebutkan kuliner tradisionl khas dari daerahnya sendiri.
Ini membuktikan, generasi muda sudah banyak yang lupa dan sama sekali tidak tahu masakan khas atau kuliner warisan indatu (nenek moyang)-nya.
Camat Kluet Utara, Misbah SAg yang juga mantan kepala MAN 4 Aceh Selatan bersaran, untuk mempertahankan rabee sebagai kuliner khas dari Kluet ini agar diketahui oleh generasi muda, perlu dilakukan perlombaan memasak tingkat ibu-ibu penggerak kesejahteraan keluarga (PKK) desa di tingkat kecamatan.
Selanjutnya, agar kuliner ini diusulkan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTBI) perlu diusulkan ke lembaga terkait.
Baca juga: Kluet dan Kisah Masjid Tuo Berumur 600 Tahun Lebih
Senada dengan pernyataan Camat Kluet Utara, Kepala SMA Negeri 1 Kluet Utara, Drs Sarfunis juga menyambut baik usulan Camat Kluet Utara itu agar rabee dimasukkan dalam WBTBI.
Sebagai kepala sekolah, Sarfunis bertekad akan melakukan lomba antarkelas saat akhir semester untuk mengangkat kuliner khas Kluet, khususnya rabee dan masakan khas lainnya, bahkan bisa juga antarsekolah.
Menurutnya, siswa sebagai generasi muda perlu mengetahui kuliner khas dari daerahnya dan agar tetap dilestarikan.
Dewasa ini siswa, khususnya para remaja, lebih suka menyantap masakan yang lebih praktis dan ekonomis.
Tidak salah memang, selain mudah ditemukan harganya pun terjangkau.
Beda sekali kalau di kampung, tentu selain daging kerbau atau sapi sulit didapat, harganya pun mahal dan tidak dijual setiap hari.
Hanya pada bulan-bulan tertentu saja daging dijual, seperti pada hari meugang dan hari raya.
Namun, tidak salahnya rabee sebagai kuliner khas masyarakat Kluet perlu lebih diperkenalkan kepada masyarakat luas.
Misalnya, ketika acara kenduri rabee perlu dihidangkan sebagai salah satu menu.
Menurut Sarfunis, pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) beberapa tahun lalu rabee pernah meraih juara I masakan tradisional tingkat Provinsi Aceh.
Tentu saja selain rasanya enak juga menjadi masakan favorit.
Sarfunis berharap, ketika berlangsung lomba literasi setiap tahunnya yang dilaksanakan Dinas Pendidikan Aceh, khusus cabang lomba bidang literasi vokasi yang mengangkat masakan khas daerah, siswa Aceh Selatan hendaknya menampilkan rabee sebagai kuliner khas dari Kluet.
Cara masak rabee
Bahan-bahan: siapkan setengah kilogram daging kerbau atau sapi.
Daging dipotong sebesar ibu jari.
Siapkan 10 buah cabai rawit, 3 buah cabai merah, 8 siung bawang merah, 2 siung bawang putih, dan 2 buah kemiri, lalu dihaluskan.
Cara memasak: daging kerbau/sapi yang sudah dipotong dicampurkan dengan bumbu yang sudah dihaluskan, ditambah garam secukupnya dan air asam, lalu direbus dengan air hingga matang.
Setelah dagingnya matang, dipisahkan dengan air, kemudian dagingnya diaduk dengan kelapa gongseng secukupnya ditambahkan batang serai, daun jeruk purut, dan daun tapak leman yang masih hijau dan diiris tipis.
Nah, rabee siap untuk disajikan. (baihaki_1980@yahoo.com)
Baca juga: HMI dan SPMA Bedah Rumah Warga Miskin di Kluet Utara
Baca juga: Air Sungai Kluet Meluap, Erosi Meluas, Penghuni Rumah Terancam Amblas Mengungsi, Ini Upaya BPBD