Kupi Beungoh

Aceh dan Kepemimpinan Militer (XI) Benarkah “Masa Emas Aceh” Iskandar Muda Sekedar Mitos?

Semua sejarawan sepakat menyebutkan bahwa masa kekuasaan Isandar Muda adalah masa emas kerajaan Aceh yang tak tertandingi

Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Aceh dan Kepemimpinan Militer (XI) Benarkah “Masa Emas Aceh” Iskandar Muda Sekedar Mitos? 

Oleh Ahmad Humam Hamid*)

Semua sejarawan sepakat menyebutkan bahwa masa kekuasaan Isandar Muda adalah masa emas kerajaan Aceh yang tak tertandingi.

Julukan itu sebenarnya sangat beralasan, karena pada pemerintannyalah Aceh mencapai sebuah masa dimana Aceh berjaya dalam banyak hal; politik,militer, ekonomi, agama, dan budaya.

Sekalipun ada pihak yang menyebutkan cerita kehebatan Iskandar Muda tak lebih sebagai sesuatu yang dilebih lebihkan, sejarawan Perancis Denys Lombard (1991) membantah klaim itu.

Ia menantang argumen Snouck Hurgorunye yang menyebutkan kehebatan Iskandar Muda tak lebih hanya sebagai sebuah legenda.

Ukuran yang paling nyata , menurut Lombard adalah kontrol Kerajaan Aceh terhadap pelayaran Selat Malaka, tidak hanya semasa Iskandar Muda berkuasa. Kontrol itu berlanjut sekitar 60 tahun bahkan setelah Iskandar Muda wafat.

Sekalipun kekuatan Aceh pasca Iskandar Muda relatif menurun- masa pemerintahan Iskandar Thani, dan 4 Ratu setelahnya.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (X) - Iskandar Muda: “Imitatio Alexandri”

Warisan penguasaan Selat Malaka, tak pernah berani diganggu oleh kekuatan Eropah manapun, kecuali Portugis yang melakukan strategi “bertahan “ terbatas dalam penguasaan Melaka, terhadap serangan Aceh yang tak pernah berhenti.

Cukup banyak bukti yang menguraikan tentang kemampuannya mempersatukan wilayah taklukan Aceh dengan kekuatan militer dan politik. Hanya dengan cara itulah Aceh mendapatkan “penghormatan” dari negara-negara Eropah, terutama Inggris, Belanda, dan bahkan Perancis.

Lombard (1991) misalnya dengan gamblang menguraikan “perlombaan” menghormati Iskandar Muda dikalangan pedagang dan utusan kerajaan Inggris, Belanda, bahkan Perancis kepada Iskandar Muda.

Apa yang dituju dengan perilaku itu? Apalagi kalau bukan mendapatkan konsesi pembelian lada di kawasan kerajaan Aceh, baik di semenanjung, maupun di Pantai Utara-Timur, dan Barat Selatan Sumatera.

Kadang kala sulit membayangkan ketika Iskandar Muda dengan sewenang-wenang menetapkan harga lada yang tinggi, bahkan pajak perdagangan di atas “garis normal “ dapat diterima oleh para pedagang itu Eropah.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (IX) - Iskandar Muda: Angkatan Perang, “Mercineries”, dan “Raja Toke”

Lombard bahkan dengan tegas menulis tak jarang ditemui perilaku kepatuhan dan hormat yang berlebihan dari para pedagang-umumnya Eropah, bahkan ketika Iskandar Muda membuat keputusan yang menenggang perasaan mereka.

Ada sebuah kasus, yang diceritakan sendiri oleh Laksamana Perancis, Baleau, yang juga dikutip oleh Lombard (1991) mengenai salah tingkahnya sang Laksamana dalam berinteraksi dengan Iskandar Muda.

Dalam sebuah pertemuan dengan Iskandar Muda, sang raja memuji keindahan cincin Zamrud yang dipakai oleh Baleau.

Pujian itu tidak hanya diikuti dengan membuka cincin dan membiarkan raja melihat keindahan cincin itu oleh Baleau, namun ia segera menukas, ia memang sudah lama berkeinginan menghadiahkan cincin zamrud itu kepada Raja Aceh, Iskandar Muda.

Residu kehebatan Iskandar Muda dalam mengurus kepentingan berbagai negara melalui kegiatan perdagangan tetap berlanjut ketika menantunya berkuasa Iskandar Thani- dilanjutkan oleh puterinya-Ratu Safiatuddin, berikut dengan 3 ratu turunannya yakni Naqiyatuddin, Zaqiatuddin, dan Keumalat Syah.

Semua mereka menurut berbagai catatan adalah pemungut pajak perdagangan yang keras dan tak mengenal kompromi. Anehnya tak seorang pedagangpun, termasuk negara induknya yang berani melawan peninggalan Iskandar Muda itu.

Baca juga: Dideklarasikan Capres 2024, Anies Kutip Peribahasa Aceh: Jadda wa Jaddi, Meunan ta Pinta Meunan Jadi

Apa yang membuat Aceh sangat berbeda ketika Iskandar Muda berkuasa dibandingkan dengan para raja sebelumnya adalah prinsip sentralisasi pemerintahan yang sangat kuat, yang semua keputusan untuk wilayah taklukan, sepenuhnya berpusat di Bandar Aceh.

Disamping itu kekuatan militer Aceh, mampu menjadikan kerajaan ini sebagai satu-satunya “anti thesis” kehadiran dan penjajahan bangsa-bangsa Eropah yang sudah mulai menguasai sebagian besar Nusantara- Balanda, Portugis Timor Timur, dan bahkan Filipina- Spanyol.

Aceh dengan tegas memproklamirkan Portugis sebagai musuh yang telah dimulai oleh tiga raja sebelumnya -Ali Mughayatsyah, Al Qahhar, dan Almukammil.

Upaya hegemoni Portugis di kawasan Selat Malaka menjadi incaran “permanen” Aceh yang tidak pernah berhenti lebih dari satu abad.

Dengan sangat cepat Iskandar Muda menguasai pantai Utara Sumatera, dimulai dengan Kerajaan Deli pada tahun 1612. Aru dan Johor ditaklukkan pada 1613, Bintan 1614, Pahang 1617, Kedah 2019, dan Perak pada tahun 1620.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (V) - Alaiddin Riayat Syah, Sulaiman Agung, dan Laksamana Kortuglu

Walaupun Johor berhasil ditaklukkan, dan rajanya Alaudin Riayat Syah III dan keluarganya dibawa ke Aceh, perang dengan Johor tak pernah berhenti total. Nasib raja Pahang , Sultan Ahmad Syah juga sama dengan raja Johor, ditawan, dan dibawa ke Aceh.

Apa yang membuat Aceh unik dan hebat pada masa itu menurut Lombard (1991) adalah perbedaannya yang sangat mencolok dengan banyak kerajaan di Nusantara pada masa itu.

Jika banyak kerajaan lain di Nusantara adalah negara agraris, Aceh adalah kerajaan yang berbasis maritim dalam bentuk negara kota.

Aceh bahkan harus mengimpor beras dari kawasan lain, walaupun pada paruh dua kepemimpinan Iskandar Muda, Aceh swasembada beras.

Hal ini terjadi karena ia telah mendatangkan pekerja dan pembuka sawah untuk tanaman padi di lembah Krueng Aceh, dan di kawasan Pidie. Utamanya pekerja itu adalah para budak yang dibeli dan berasal dari India.

Kualifikasi negara kota paling kurang dicirikan oleh dua basis kuat yang saling terkait yakni, volume perdagangan luar negeri yang masif, dan kedigdayaan angkatan perang, terutama angkatan laut. Sumber utama keuangan kerajaan

Aceh pada masa Iskandar adalah salah satu mata rantai konektivitas global yang menghubungkan Asia Timur-Cina, Asia Tenggara, Asia Selatan-India, dengan Timur Tengah, Asia Kecil-Turki, sebagian Afrika-Ethiopia, dan benua Eropah.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (III) - Ali Mughayatsyah dan Detente 235 tahun

Sebenarnya jumlah kapal Eropah yang utamanya mencari lada jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kapal dari kawasan lain yang singgah di Bandar Aceh.

Mengutip dari berbagai sumber, Lombard (1991) menyimpulkan dalam setahun hanya sekitar 4 kapal Eropah yang singgah dan berdagang di Aceh.

Sebaliknya kapal-kapal yang datang dari Cina dan India bisa puluhan, ditambah dengan kapal-kapal Timur Tengah, Turki, Afrika, dan kapal-kapal dari berbagai kerajaan di Nusantara.

Jika kapal-kapal Eropah lebih fokus kepada perdagangan lada, kapal-kapal non Eropah umumnya berdagang tekstil, porselin,beras, kayu-kayuan bernilai tinggi, dan berbagai macam wangi-wangian.

Kegiatan perdagangan, terutama perdagangan internasional tidak dapat disangkal adalah sumber dari berbagai dinamika dan perobahan sosial yang sangat dasyhat.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (VII) Al Mukammil: Hard Power dan Shock Therapy

Ketika Aceh masa Iskandar Muda dijuluki sebagai kerajaan kosmopolit, maka itu adalah logika dan konsekwensi dari perdagangan dan negara kota.

Perdagangan Aceh yang hebat pada masa itu, mustahil akan terjadi jika tidak ada suasana keterbukaan, toleransi, dan inklusivitas.(*)

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved