Opini

Investasi Aceh dan Tantangan Disrupsi Global

Kebijakan ini selaras dengan misi Pemerintah Aceh melalui Program Aceh Green yang mengedepankan prinsip-prinsip berkelanjutan

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Investasi Aceh dan Tantangan Disrupsi Global
FOR SERAMBINEWS.COM
Rahmadhani M Business, Postgraduate Alumni Victoria University of Technology (VUT) in Tourism Management, Melbourne

Oleh Rahmadhani M Business, Postgraduate Alumni Victoria University of Technology (VUT) in Tourism Management, Melbourne

PEMBANGUNAN ekonomi Aceh melalui kegiatan investasi, baik investasi dalam negeri (PMDN), maupun investasi asing (PMA) adalah sebuah keniscayaan dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi daerah, yang akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

Seperti terciptanya lapangan pekerjaan/ usaha baru, terbangunnya populasi industri, menguatnya kemandirian ekonomi dan daya saing investasi antar daerah serta meningkatnya daya beli masyarakat.

Upaya ini sengaja dilakukan dalam rangka menyelesaikan berbagai persoalan terkait aspek sosial-budaya dan ekonomi masyarakat, seperti isu kemiskinan dan pengangguran.

Sebaliknya, tanpa kerangka kebijakan pengaman (safeguard) yang baik dan terencana, investasi dapat juga berdampak negatif, seperti kerusakan lingkungan dan kepunahan ekosistem flora dan fauna yang dilindungi.

Kegiatan investasi tidak hanya sekedar bagaimana menghadirkan investor dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, tapi juga bagaimana mendukung terciptanya alih teknologi “technology transfer” dan meningkatnya pengetahuan masyarakat dalam upaya memperkuat ekonomi Aceh dan Indonesia untuk mampu bersaing dalam ekosistem perdagangan global.

Dengan demikian, Aceh tidak hanya maju dan berkembang secara ekonomi, namun juga tampil sebagai salah satu destinasi investasi unggulan di Indonesia melalui konsep “investasi hijau” atau “Green Investment”.

Kebijakan ini selaras dengan misi Pemerintah Aceh melalui Program Aceh Green yang mengedepankan prinsip-prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Disrupsi ekonomi Masyarakat dunia sedang menghadapi disrupsi ekonomi sebagai tantangan global yang akan berdampak pada upaya percepatan investasi.

Tantangan tersebut meliputi tiga disrupsi dunia yang mengharuskan kita untuk menghadapinya dengan penuh persiapan, yaitu perubahan iklim, revolusi industri 4.0 dan pandemi Covid-19.

Baca juga: Indonesia dan Korsel Pererat Hubungan Bilateral di Bidang Ekonomi, Perdagangan dan Investasi

Baca juga: Sri Mulyani Sebut Dunia Bakal Resesi pada 2023, Ini Pilihan Investasi yang Tahan Krisis Ekonomi

Ketiga disrupsi tersebut telah menimbulkan berbagai efek domino pada seluruh aspek kehidupan masyarakat dunia, seperti ekonomi, sosial-budaya, lingkungan dan energi.

Perubahan iklim telah berdampak serius, tidak hanya pada sektor ekonomi dan pertanian, tapi juga lingkungan, dari meningkatnya bencana alam, kenaikan permukaan air laut, anomali curah hujan sampai risiko gagal panen, termasuk juga meningkatnya angka kelaparan, stunting, malnutrisi dan sejumlah penyakit serius lainnya.

Kondisi ini semakin diperburuk dengan semakin terbukanya tutupan hutan Aceh akibat deforestasi dan degradasi hutan dan lahan, sehingga berdampak pada peningkatan erosi dan aliran permukaan dalam sistem lahan dan DAS.

Dampak merugikan tersebut sangat dirasakan oleh petani dan masyarakat lainnya.

Disrupsi revolusi industry 4.0 adalah fenomena yang mengolaborasikan teknologi siber dan teknologi otomatisasi atau lebih dikenal dengan “cyber physical system, seperti Internet of Things (IoT), big data, teknologi kepintaran buatan artificial intelligence dan robotik.

Teknologi tersebut telah mendisrupsi berbagai bidang kehidupan manusia yang ditandai dengan semakin tingginya konektivitas sistem informasi dan munculnya berbagai kecerdasan buatan yang memungkinkan industri bergerak dengan membatasi peran manusia, seperti robot pintar atau humanoid yang produksi oleh perusahaan Tesla.

Robot yang diberi nama Optimus ini diharapkan mampu menggantikan peran manusia di tempat kerja nantinya.

Era industry 4.0 telah merombak tatanan kehidupan manusia hampir di seluruh dunia dan mengharuskan perusahaan untuk lebih kreatif dan inovatif untuk bertahan hidup yang mengubah sistem dan tatanan bisnis manual ke bisnis yang lebih canggih dan digital.

Tidak sedikit pengusaha yang merugi dan terpaksa menutup bisnisnya karena tidak siap menghadapi persaingan di era disrupsi ini.

Tiada cara lainnya, kecuali perusahaan perlu memperkenalkan kompetensi baru yang mengedepankan keahlian masa depan melalui upskilling, reskilling dan new skilling.

Baca juga: Investasi Pulau Banyak Gagal karena Investor Minta Tax Holiday

Teknologi digital berkembang pesat dan menjangkau seluruh masyarakat dunia dengan budaya berbeda, termasuk Indonesia, yang ditandai oleh semakin meluasnya jaringan internet.

Kehadiran internet mampu membuat masyarakat suatu negara atau suatu daerah dengan daerah lainnya dapat dengan mudah berbagi informasi secara aktual tanpa ada batasan tertentu.

Mantan Menteri Pariwisata RI Arief Yahya (2019) menyebutkan, platform digital dianggap akan sangat berperan dalam dunia industri.

Hanya dengan cara yang tidak biasa, bisa memperoleh hasil yang luar biasa.

Dan cara yang luar biasa itu adalah melalui semangat go digital.

The more digital, the more personal, the more digital, the more professional and the more digital, the more global.

Semakin digital bisnis yang diterapkan akan semakin personal, profesional dan global.

Sementara, disrupsi ketiga berupa pandemi Covid- 19 juga telah banyak mengubah gaya hidup masyarakat sehari-hari.

Pandemi yang menimpa hampir seluruh masyarakat dunia telah menimbulkan berbagai gejolak sosial-ekonomi di tengah masyarakat.

Tidak terkecuali sektor industri dan perdagangan, perhubungan dan pariwisata, sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang menjadi salah satu kekuatan perekonomian daerah juga ikut berdampak.

Beberapa dampak serius lainnya akibat pandemi Covid- 19 adalah perlambatan ekonomi, peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran serta penurunan kualitas kesehatan masyarakat.

Namun di sisi lain juga meningkatnya fleksibilitas kegiatan bekerja dan belajar mengajar, termasuk juga kebangkitan bisnis berbasis e-commerce atau perdagangan online.

Momentum pandemi Covid- 19 telah mengubah gaya hidup masyarakat dengan semakin meningkatnya pemanfaatan ekonomi digital untuk mendukung sektor ekonomi produktif lainnya menuju pertumbuhan ekonomi Aceh dan Indonesia yang inklusif dan berkelanjutan.

Termasuk juga sektor yang berbasis pada pertumbuhan biodiversitas atau keanekaragaman hayati yang sampai saat ini masih bertahan dan tumbuh positif.

Baca juga: Raker dengan Menteri Bahlil, Muslim Kembali Dorong Rencana Investasi di Pulau Banyak Aceh Singkil 

Sektor ini perlu terus dikembangkan dan diprioritaskan dalam pembangunan sebagai bagian dari upaya menjaga keseimbangan alam.

Ketidakpastian yang pernah terjadi di tengah pandemi Covid-19 juga telah berdampak pada kegiatan investasi yang juga ikut melambat dan stagnan.

Banyak fakta di lapangan, banyak investor terpaksa berhenti melakukan aktivitas akibat pandemi Covid- 19, termasuk juga kinerja ekspor yang ikut terpukul akibat perekonomian dunia mengalami pelemahan.

Hal ini dapat dirasakan dari penurunan harga komoditas, seperti batu bara, minyak mentah, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan lainnya.

Ketiga disrupsi tersebut yang telah merubah model ekonomi masa depan menjadi tantangan bersama.

Perubahan iklim yang terjadi memaksa terjadinya green and blue economy, revolusi industri 4.0 memaksa terjadinya sharing economy dan pandemi Covid-19 memaksa terjadinya new normal bioeconomy.

Masing-masing perubahan tersebut memiliki konsekuensi yang harus dihadapi semua kalangan untuk keberlangsungan kehidupan dan bisnis.

Pada aspek mitigasi dan adaptasi untuk meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui UNFCC telah meningkatkan komitmen pendanaan proyek investasi hijau green investment.

Proyek investasi ini mempunyai dampak positif pada upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam rangka mengendalikan perubahan iklim.

Tren Investasi Hijau, seperti Sustainable Development Goals (SDG’s), khususnya Environment, Social and Governance (ESG) menjadi solusi terbaik.

Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota bersama mitra pembangunan, seperti NGO/CSO perlu membangun kesiapan untuk mengakses sumber-sumber pembiayaan tersebut melalui mekanisme pendanaan karbon Aceh.

Hal ini dilakukan dalam upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat deforestasi dan degradasi hutan dan lahan serta dampak perubahan iklim berbasis yurisdiksi atau berbasis wilayah kewenangan, mengingat Aceh memiliki luas hutan yang strategis, sekaligus mendukung Program Indonesia Folu Net Sink 2030 dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

Ketiga disrupsi tersebut sudah seharusnya Pemerintah Aceh bersama dengan pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan berbagai persiapan, tidak hanya menghadapi ketiga dampak tersebut yang mempengaruhi kemajuan ekonomi Aceh, tapi juga bangkit kembali mempersiapkan diri, salah satunya melalui kegiatan investasi yang didukung oleh berbagai kebijakan yang pro investasi serta penggunaan teknologi berbasis digital. (dani111170@yahoo.com)

Baca juga: Pertemuan Menko Airlangga Dengan Secretary Raimondo, Perkuat Kerja Sama IPEF dan Investasi

Baca juga: Wali Nanggroe dan Konjen Singapura Bahas Investasi di Aceh

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved