Kupi Beungoh
Restorative Justice dan Peradilan Adat, Antara Barang Baru dan Tradisi Turun Temurun di Aceh
Terkadang penyelesaian melalui peradilan adat, seolah dianggap kurang ‘bertaring’ jika berhadapan dengan hukum formal.
Dalam konteks ini, penyelesaian melalui RJ memberikan alternatif, di mana para pihak menyelesaikan sendiri perkara mereka, tanpa adanya penghukuman atau penjara.
Dalam mekanisme RJ, penegak hukum menjadi fasilitator atau mediator.
Dengan harapan, seluruh tujuan hukum berupa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan dapat terpenuhi.
RJ di Indonesia
Penerapan RJ di Indonesia telah dimplementasikan oleh penegak hukum kita, kepolisian dalam program Presisinya, kejaksaan dengan Rumah Resoratifnya, dan peradilan dengan program mediasinya.
Pada tingkat kepolisian, RJ diatur melalui Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, dan secara khusus lagi diatur melalui Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Pada tingkat kejaksaan, RJ diatur dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Pedoman Kejaksaan Nomor 18 tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif.
Sedangkan pada tingkat peradilan, terdapat dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, namun secara teknis diatur melalui Surat Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di lingkungan Peradilan Umum.
Dengan adanya peraturan tersebut, maka Polri dapat melakukan penghentian penyidikan, kejaksaan dapat menghentikan penuntutan atau merehabilitasi penyalahguna narkotika.
Sementara, pada tingkat peradilan, hakim/pengadilan dapat menghentikan proses persidangan. Intinya, perkara pidana jika sudah di RJ, penyelesaiannya adalah win-win solution di luar ranah formal, yang biasa juga dikenal dengan istilah penyelesaian perkara secara nonlitigasi.
Menurut beberapa sumber, perkara yang sudah di RJ oleh penegak hukum cukup banyak.
Di kepolisian misalnya, sampai Juli 2022 sebanyak 15.811 kasus telah diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif.
Sementara pada tingkat kejaksaan, sampai Mei 2022 setidaknya 1.070 perkara dihentikan penuntutan, termasuk beberapa kasus di Aceh telah diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif.
Baca juga: Jaksa Agung Kedepankan Keadilan Restoratif, Penyalahguna Narkoba Tak Lagi Dipenjara
Kriteria Perkara RJ
Pada tingkat kepolisian, perkara yang dapat di RJ-kan harus memenuhi persyaratan materil dan formil. Sesuai dengan Pasal 5 Peraturan Kapolri Nomor 8/2021, persyaratan materil yang harus dipenuhi, meliputi: