Jurnalisme Warga
Mewaspadai Kejahatan Obat, Makanan, dan Kosmetik Ilegal
Acara hari itu adalah Focus Group Discussion (FGD) Pencegahan Kejahatan Obat dan Makanan Ilegal, serta Mengandung Bahan Berbahaya

OLEH SITI RAHMAH, S.H., M.Kn., CPM., Ketua Komite Tetap Organisasi dan Hukum Dewan Pengurus Daerah (DPD) Iwapi Aceh, melaporkan dari Banda Aceh
Kamis, 20 Oktober 2020, saya memenuhi undangan dari Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BB POM) Banda Aceh mewakili Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (Iwapi) Aceh.
Acara hari itu adalah Focus Group Discussion (FGD) Pencegahan Kejahatan Obat dan Makanan Ilegal, serta Mengandung Bahan Berbahaya.
FGD ini bertujuan untuk membangun kesepahaman pemangku kepentingan serta pembahasan upaya tindak lanjut yang perlu dilakukan dalam mencegah terjadinya tindak pidana di bidang obat dan makanan yang berpotensi dilakukan oleh pelaku usaha.
Acara ini dilakukan di Aula Gedung Serbaguna Kantor Gubernur Aceh.
Badan POM memiliki kewajiban dalam mengawal ketentuan yang berlaku melalui proses pengawasan dan penindakan, termasuk melalui proses penyidikan tindak pidana obat dan makanan.
Hasil pengawasan Balai Besar POM Banda Aceh terkait kejahatan obat dan makanan di Aceh yang dilakukan pada periode 2019-2021 yang telah proses penegakan hukum terdapat 25 perkara dengan total temuan barang bukti sekitar Rp885.589.550.
Berdasarkan hal itu, BBPOM Banda Aceh merasa perlu melakukan upaya strategis yang bersifat sinergis di antara pemangku kepentingan untuk mencegah terjadinya tindak pidana di bidang obat dan makanan yang tidak memenuhi standar dan/atau tidak memiliki izin edar yang berpotensi dilakukan oleh pelaku usaha.
Peserta yang hadir dalam FGD ini dari lintas sektor.
Terdiri atas Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Aceh, Kejaksaan Tinggi Aceh, Kantor Wilayah Bea Cukai Provinsi Aceh, Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Aceh, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Banda Aceh, Pengadilan Negeri Banda Aceh, Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia, Loka POM di Kabupaten Aceh Tengah, Loka POM di Kabupaten Aceh Selatan, Yayasan Perlindungan Konsumen Aceh (YaPKA), dan Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres.
Baca juga: Komisi V DPRA Minta Pemerintah Aceh Awasi Ketat Obat Sirup, Ini Jenis Obat yang Sudah Dilarang
Baca juga: Soal Pelarangan Pemakaian Obat Sirup, DPRK Pidie Akan Panggil Dinkes dan 2 Direktur RS
Selain itu, hadir juga perwakilan Pos dan Logistik Indonesia Aceh (Asperindo Aceh), Ekspedisi JNE Aceh, Ekspedisi JNT Aceh, PT Pos Indonesia Cabang Aceh, Iwapi Aceh, Persaudaraan Muslimah Aceh (Salimah Aceh), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), para konten kreator, dan jurnalis.
Acara ini dibuka oleh Kepala BBPOM Banda Aceh, Yudi Noviandi, M.Sc,Tech., Apt.
Beliau juga bertindak sebagai pemateri bersama Fauqi Elfarabi, S.Fam., Apt dari Direktorat Cegah Tangkal Badan POM RI.
Beliau memaparkan bahwa pada 4 Maret 2022, Badan POM mengungkap kejahatan produksi dan peredaran kopi mengandung bahan kimia obat (BKO).
Modus kejahatan dan produk yang serupa juga pernah diungkap Badan POM tahun 2011.
Dalam rentang waktu sebelas tahun ternyata kasus tersebut masih ditemukan.
Contoh kejadian tersebut menunjukkan bahwa Badan POM tidak dapat menjadi ‘single player’ dalam upaya pemberantasan kejahatan di bidang obat dan makanan.
Karakteristik modus peredaran psikotropika dan OOT melalui toko kosmetik, antara lain, pembeli umumnya laki-laki berusia remaja yang bertransaksi di sarana toko kosmetik, frekuensi antarpembeli cenderung tinggi.
Produk kosmetik ditempatkan secara padat pada bagian depan etalase untuk menutupi penyimpanan psikotropika dan OOT yang dijual dan sebagainya.
Badan POM juga melakukan sinergisitas antar-stakeholder.
Hal ini untuk kolaborasi integrated Criminal Justice System (CJS) guna menciptakan efek gentar dan jera bagi pelaku kriminal.
Para stakeholder tersebut adalah Direktorat Intelkam Polda, Korwas PPNS Polda Aceh, Kejaksaan Tinggi Aceh, BNN Provinsi Aceh, BNN Kota Banda Aceh, dan Polresta Banda Aceh.
Baca juga: Ratusan Botol Obat Sirup Berbahaya Masih Dijual di Aceh Tamiang
Untuk dimensi pembangunan ekonomi dan daya saing, terlibat Disperindag Provinsi Aceh, Perwakilan Bea Cukai, PD IAI Provinsi Aceh, dan pelaku usaha.
Untuk dimensi dukungan sumber informasi, di antaranya terlibat Bais, TNI, PD IAI Provinsi Aceh, Dinas Kesehatan Aceh, Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, Perwakilan Bea Cukai, jasa pos, logistik dan forwarder, perusahaan otobus, pemuda-pemudi, pegiat antinarkoba (Pupan), dan pelaku usaha.
Untuk dimensi komunikasi risiko, lembaga yang terlibat adalah Dinas Kesehatan, Perwakilan Bea Cukai, PD IAI Provinsi Aceh, media cetak dan online, pemuda-pemudi, pegiat antinarkoba (Pupan), pelaku usaha, dan Disperindag Aceh.
Fauqi Elfarabi menyimpulkan bahwa tantangan terkait kejahatan di bidang obat dan makanan diharapkan memberikan efek gentar maupun efek jera bagi para pelaku dan sindikat kejahatan.
Kompleksitas tantangan membutuhkan banyak sumber daya.
Kolaborasi dan kerja sama antar-stakeholder akan membuat pekerjaan lebih mudah serta alokasi sumber daya menjadi efisien.
Ia juga menyimpulkan bahwa dengan kondusifnya situasi masyarakat dari paparan obat dan makanan yang tidak memenuhi ketentuan, stakeholder di daerah dapat fokus pada kegiatan produktif lain, misalnya meningkatkan daya saing produk lokal.
Pemateri selanjutnya, Yudi Noviandi memaparkan tentang obat tradisional dan kosmetik.
“Jangan beli obat tradisional dan kosmetik tanpa izin edar,” pesannya.
Ia paparkan produk-produk berbahaya yang ilegal beredar di pasaran, di antaranya kosmetik.
“Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia,” jelasnya.
Kosmetik, lanjutnya, bertujuan untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan, memperbaiki bau badan, melindungi, dan atau memelihara tubuh agar berada pada kondisi baik.
“Berdasarkan Perka Badan POM Nomor 23 Tahun 2019, kosmetika tidak untuk mengobati dan bukan obat,” jelasnya lagi.
Baca juga: Dinkes Aceh Singkil Bersama Kapolres Periksa Obat Sirup di Apotik, Kawal Surat Larangan Kemenkes RI
Menurutnya, permasalahan isu kosmetik saat ini adalah paradigma salah kaprah tentang “cantik”.
Cantik = putih. Dalam konteks ini, narasi industri kosmetik berkontribusi membentuk paradigma salah kaprah itu.
Perempuan dominan menjadi korban industri kosmetik.
Kosmetik (khususnya krim pemutih) tanpa registrasi BPOM marak dijual secara online.
Medsos, khususnya IG, menjadi lahan subur untuk promosi.
Ia ingatkan bahwa bahaya kosmetik bermerkuri mengendap di bawah kulit, bertahun-tahun baru kulit akan rusak, biru kehitaman, bahkan dapat memicu timbulnya kanker.
Flek hitam pada kulit akan memucat dan bila pemakaian dihentikan, flek akan timbul serta bertambah parah.
Tersimpan dan terakumulasi secara permanen dalam tubuh, yaitu inhibisi enzym dan kerusakan sel sehingga kerusakan tubuh dapat terjadi secara permanen.
Juga dapat memperlambat pertumbuhan janin serta mengakibatkan keguguran (kematian janin dan mandul).
Ia juga menguraikan tentang dampak obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat.
Penggunaan jamu obat kuat mengandung sildenafil dengan dosis yang tidak terukur dapat berdampak pada sistem jantung dan berujung pada kematian.
Pasien gagal ginjal harus terapi cuci darah dua kali seminggu (biayanya Rp 2 juta/ minggu) akibat mengonsumsi Fenilbutazon dan Sibutramin HCI berkepanjangan.
Efek moonface (muka membundar akibat penumpukan lemak pada wajah) kerap pula terjadi akibat mengonsumsi Prednison dan Deksametason yang tidak sesuai/tanpa anjuran dokter.
Jadi, para perempuan harus bisa lebih arif dan logis dalam memilih kosmetik yang digunakan, karena cantik itu tidak harus putih. (srahmah83@gmail.com)
Baca juga: 6 Buah Ini Bisa Menjadi Obat Batuk Alami untuk Redakan Batuk dan Pilek Anak, Orang Tua Wajib Tahu!
Baca juga: Kontrol Peredaran Obat Sirup, Pemko Sabang Sidak Apotek dan Puskesmas