Jurnalisme Warga
Tradisi Memuliakan Orang Meninggal di Aceh
Tanah perkuburan tinggi itu pertanda mulia bahwa yang dikebumikan di situ adalah adalah orang-orang terhormat seperti raja, ulama besar

Kuburan Laksamana Keumala Hayati yang Pahlawan Nasional RI itu, juga tingginya saratusan anak tangga untuk sampai ke sana.
Lokasi kuburan itu berada di puncak bukit sekitar Krueng Raya, Aceh Besar.
Tanah di situ tidak luas, hanya muat dua kubur (Aceh: kubu) dan tanah sempit di sekitarnya.
Demikian penjelasan Dr Husaini Ibrahim MA, arkeolog Universitas Syiah Kuala (USK) sekaligus penulis buku Laksamana Keumala Hayati dan juga keterangan Drs Mohd Kalam Daud MAg, Dosen UIN Ar-Raniry, yang juga penjelajah sejarah dan manuskrip Aceh.
Kubu Poteu Meureuhom di Gampong Kandang, kecamatan Sakti, Pidie, adalah lokasi kenduri blang (kenduri sawah) bagi Mukim Kandang juga berada di perkuburan tinggi yang sengaja dibuat warga pada masa lalu.
Kampung saya, Bucue juga berada dalam Kemukiman Kandang itu.
Kubur Teungku Raja Imum, lokasi ‘khanduri blang’ di kampung saya tanahnya tinggi, yang sengaja ditinggikan masyarakat tempo dulu.
Alkisah, Teungku Raja Imum berasal dari Kerajaan Pasai, Aceh Utara.
Ada pula, gara-gara terdapat satu kuburan bertanah tinggi sampai kampung pun digelari dengan nama Jeurat Manyang (kuburan tinggi).
Baca juga: Jadi Muslim yang Taat, Sadio Mane Tak Mau Ikut-ikutan Tradisi Bayern Muenchen yang Satu Ini
Kampung itu berada di Kecamatan Mutiara, Pidie.
Terdapat beberapa tradisi leluhur terkait orang meninggal di Aceh yang sebagian besarnya telah punah Misalnya, tempo dulu, tikar bekas alas jenazah saat dibawa ke kuburan masih dimuliakan.
Tikar itu tidak diletakkan di sembarang tempat, tapi digantung di dinding rumah dalam bentuk gulungan.
Setiap tiba waktu asar, sebuah wadah berisi kemenyan yang telah dibakar ditaruh di atas tikar.
Bau asap kemenyan menyengat di rumah itu selama 44 hari.
Anak-anak lari ke luar rumah saat mencium bau yang menyeramkan itu.