KUPI beungoh

Sakralisasi Qanun-Qanun Syariat

Sayangnya, di sini Taufiqul Hadi tidak secara tegas menyebutkan kekosongan apa ia maksud sehingga pernyataannya dianggap bias dan mengada-ada.

Dok Pribadi
Khairil Miswar, Penulis Buku “Syariat dan Apa Ta’a (Padebooks, 2017) 

Oleh: Khairil Miswar *)

PERMINTAAN Ketua Partai NasDem Aceh, Teuku Taufiqul Hadi agar bank-bank konvensional dapat kembali beroperasi di Aceh dengan dalih supaya Aceh bisa keluar dari problem ekonomi langsung saja mendapat respons keras dari sejumlah kalangan, mulai dari netizen “garis keras” sampai lembaga ulama selevel MPU.

Taufiqul Hadi berargumen bahwa kondisi Aceh yang miskin, angka stunting serta rendahnya pertumbuhan ekonomi salah satunya disebabkan oleh kurangnya dukungan dari lembaga keuangan nasional karena tidak adanya bank-bank konvensional di Aceh pasca lahirnya Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah yang mulai berlaku pada 2019 lalu.

Meskipun apa yang disampaikan Taufiqul Hadi itu bernuansa kritik, namun dalam pernyataan yang dirilis Serambinews.com, dia juga mengapresiasi bank-bank syariah di Aceh yang menurutnya semakin baik.

Cuma saja, menurut dia bank syariah belum mampu menutupi kekosongan yang muncul pasca “kaburnya” bank konvensional dari Aceh.

Sayangnya, di sini Taufiqul Hadi tidak secara tegas menyebutkan kekosongan apa ia maksud sehingga pernyataannya dianggap bias dan mengada-ada.

Namun demikian, pernyataan Taufiqul Hadi rupanya mendapat dukungan dari politisi PAN, Asrizal H Asnawi.

Dia mengaku sudah pernah menggagas revisi qanun perbankan syariah, namun mendapat penolakan dari para teungku dan tokoh agama yang disebutnya tidak sebanding dengan keinginan para pengusaha di Aceh.

Baca juga: Orang Aceh, Antara Fanatisme dan Histeria

Dalam pernyataannya, Asrizal juga mengkritisi bank syariah di Aceh yang menurutnya masih kelimpungan dalam melayani nasabah.

Dukungan atas pernyataan Taufiqul Hadi juga datang dari Ketua Yara, Safaruddin, yang mengatakan bahwa kehadiran kembali bank konvensional di Aceh akan bisa menyerap tenaga kerja dan membuka peluang bagi hadirnya pembiayaan dari berbagai perbankan sehingga nantinya kemiskinan di Aceh akan berkurang.

Tanggapan berbeda datang dari Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk Faisal Ali. Dia sangat menyesalkan pernyataan Taufiqul Hadi dengan menyebut argumen Ketua NasDem tersebut sebagai “tidak beralasan.”

Dalam hal ini, Faisal Ali justru melakukan serangan balik dengan mempertanyakan kontribusi bank konvensional terhadap masyarakat Aceh selama ini.

Dia bahkan menyimpulkan bahwa permasalahan yang ada di Aceh sekarang adalah warisan dari bank konvensional yang telah menguasai Aceh berpuluh tahun lamanya.

Dalam pernyataannya, Faisal Ali juga menegaskan bahwa permintaan agar bank konvensional kembali ke Aceh justru akan mengikis pelaksanaan syariat Islam.

Seolah tak mau kalah, aktor Eumpang Breuh, Sudirman alias Haji Uma, yang kini menjadi senator juga turut meramaikan diskursus yang sedang berlangsung. Dia menyatakan bahwa masyarakat Aceh harus bangga dengan konsep perbankan syariah.

Komentar-komentar serupa juga datang netizen kita yang sebagiannya berada pada maqam “netizen tanpa kuota” yang tampak bersemangat memberi komentar, tanpa membaca berita.

Baca juga: Agama dan Perdukunan

Nah, terlepas dari pro-kontra yang terjadi, apa yang disampaikan oleh Taufiqul Hadi pada prinsipnya hanyalah sebuah pendapat yang tentunya dilatari oleh alasan-alasan tertentu. Bisa jadi pernyataan itu juga aspirasi dari sebagian masyarakat Aceh yang selama ini merasa kesulitan akibat kaburnya bank konvensional.

Bukan tidak mungkin pendapat itu juga senada dengan aspirasi kita sendiri yang mungkin tidak berani kita ungkapkan secara terbuka sehingga harus menumpang pada keberanian orang lain – yang kemudian secara oportunis kita hujat beramai-ramai.

Sakralisasi Qanun
Kita boleh saja tidak sependapat dengan orang lain, tapi yang pastinya kita tidak bisa melarang orang lain untuk berpendapat.

Komentar-komentar miring yang menyebut pernyataan Taufiqul Hadi sebagai “anti syariat” karena dianggap bertentangan dengan Qanun Lembaga Keuangan Syriah bukan saja lebay, tapi juga menjadi potret ketidaksiapan kita dalam menghargai pendapat orang lain.

Sikap semacam ini tentunya sangat memalukan, apalagi jika pernyataan itu keluar dari mulut-mulut orang terdidik.

Pada prinsipnya, permintaan agar bank konvensional kembali beroperasi dan juga kritik terhadap bank syariah adalah wajar belaka.

Kita juga mesti sadar bahwa kritik terhadap qanun syariat tidak bisa dimaknai sebagai kritik terhadap syariat sehingga tanpa ba bi bu kita menuduh orang lain sebagai anti syariat, sebab qanun syariat bukanlah syariat.

Baca juga: Kualitas dan Kesejahteraan Guru di Era Otonomi

Syariat sebagai teks suci yang datang dari Tuhan memang tidak bisa dikritik sebab ia sakral dan berada pada domain keimanan.

Berbeda dengan qanun syariat yang berada dalam wilayah profan sebab ia disusun oleh akademisi dan politisi dan kemudian disahkan melalui ketukan palu yang tentunya tidak terlepas dengan kepentingan politik.

Dalam konteks ini, qanun syariat Islam bukan saja boleh dikritik, tapi boleh direvisi, ditambah, dikurangi atau mungkin dibatalkan sama sekali.

Hal ini dimaksudkan agar qanun syariat Islam yang notabene buatan manusia itu dapat terus disempurnakan sehingga ia bisa menjadi lebih dekat lagi dengan substansi syariat yang suci itu.

Intinya, kritik terhadap qanun tidak secara otomatis dapat dimaknai sebagai kebencian, tapi justru kecintaan agar qanun tersebut benar-benar mewakili syariat sekaligus menampung kebutuhan publik.

Demikian pula kritik terhadap pelayanan bank syariah di Aceh saat ini yang belum sepenuhnya “sesuai syariah” juga mesti dilihat sebagai daya dorong agar bank-bank itu bisa terus berbenah dan mampu menjawab segala persoalan dan kebutuhan keseluruhan publik, bukan hanya segelintir.

Karena itu, permintaan Taufiqul Hadi agar bank konvensional kembali hadir di Aceh harus dipahami dalam konteks ini.

Baca juga: Patahnya Sayap Muhammadiyah di Samalanga

Mungkin saja keberadaan bank syariah di Aceh selama ini memang belum memenuhi kebutuhan publik secara menyeluruh layaknya bank konvensional sehingga bank tersebut perlu dihadirkan kembali agar nantinya ia bisa berkontestasi dengan bank syariah yang selama ini tampak begitu lamban dalam menyahuti keinginan publik.

Dengan adanya bank konvensional, mau tidak mau bank syariah akan segera memperbaiki kualitasnya agar para nasabah tidak berpindah haluan. Tapi, tanpa adanya pesaing, yakinlah bahwa bank syariah yang ada di Aceh saat ini akan tetap stagnan dan begitu-begitu saja.

Dalam kondisi ini yang terjadi justru kedhaliman, di mana para nasabah tidak memiliki pilihan lain selain bank berlabel syariah yang kualitasnya masih membingungkan. Dan “kedhaliman” semacam ini tentunya tidak sesuai syariat.

Bireuen, 29 Oktober 2022.

*) Khairil Miswar, Penulis Buku “Syariat dan Apa Ta’a (Padebooks, 2017).


KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggungjawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved