Salam
Robohnya RSR Harus Diperiksa Menyeluruh
Polisi mulai menyelidiki kasus robohnya Rumah Sakit Regional (RSR) Takengon di Kabupaten Aceh Tengah
POLISI mulai menyelidiki kasus robohnya Rumah Sakit Regional (RSR) Takengon di Kabupaten Aceh Tengah.
“Sedang pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket) berupa data data dan dokumen pengadaan barang dan jasa,” kata Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol Winardy.
Tim Khusus Polda Aceh memeriksa dokumen dari tiga instansi, yaitu dari Dinas Kesehatan Aceh Tengah, Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) Aceh Tengah, dan RSUD Datu Beru Takengon.
Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar, meminta kasus itu diusut tuntas.
"Kalau ambruknya bukan karena bencana alam, berarti ada kesalahan dalam pembangunannya," kata Shabela’ Desakan serupa juga disampaikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Gayo.
“Harus kita kawal bersama sama agar kasus ini benar benar tuntas," kata Ketua KAMMI Gayo, Sapuan Melala.
Insiden robohnya bangunan depan RSR Takengon ini terjadi pada Jumat (4/11/2022).
Sejak dibangun tahun 2009 menggunakan APBA (dana Otsus), RSR belum pernah difungsikan dan belum diserahterimakan kepada Pemkab Aceh Tengah.
RSR ini dibangun untuk menjadi rumah sakit rujukan Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Kabupaten Bener Meriah.
Robohnya bangunan RSR memunculkan spekulasi adanya penyelewengan dan korupsi dalam proses pembangunan rumah sakit itu.
Alfian, aktivis antikorupsi malah mendesak Kejaksaan Tinggi Aceh segera mengusut kasus robohnya RSR T Aktivis antikorupsi lainnya, Askhalani, inspektorat dan BPK RI melakukan audit investigatif proses pembangunan RSR Takengon.
Baca juga: Komisi V DPRA akan Panggil Kadinkes Aceh Pertanyakan Soal Ambruknya RS Regional Aceh Tengah
Baca juga: Polda Selidiki Robohnya RS Regional, Periksa Dokumen dari Tiga Instansi
"Yaitu pendalaman materi terhadap adanya fakta dugaan benturan kepentingan serta timbulnya perbuatan melawan hukum atas bangunan yang tidak layak, kualitas mutu rendah, dan adanya dugaan korupsi berencana oleh penyedia barang dan jasa (kontraktor)," ujarnya.
Akademisi Universitas Muhammadiyah Aceh, Dr Taufiq Abdul Rahim, mengingatkan, mesti ada yang bertanggungjawab serta dipertanggungjawabkan, baik secara teknis, perencanaan, pelaksanaan, dan penganggaran proyek RSR tersebut.
Karena, RSR tersebut dibiayai dari dana kompensasi konflik Aceh.
“Berasal dari titisan darah, nyawa, keringat, material orang orang Aceh,” katanya kepada wartawan.
Kita sependapat dengan mereka bahwa kasus robohnya RSR Takengon itu terindikasinya adanya ketidakberesan.
Dan, karenanya, meski yang roboh hanya sebagian dari bangunan RSR itu, tapi kita mengkhawatirkan kualitas keseluruhan bangunan tersebut.
Oleh sebab itulah, pengusutan kasusnya harus menyeluruh dan pada semua aspek, terutama untuk menjamin keselamatan para pasien nantinya.
Kita juga berharap, momentum robohnya RSR Takengon juga harus menyadarkan pihak-pihak pengawas termasuk DPRA untuk juga mengevaluasi fisik atau konstruksi empat RSR lainnya yang dibangun di Langsa, Bireuen, Meulaboh, dan Tapaktuan.
Ini penting, mengingat spesifikasi teknis RSR itu ada kemungkinan sama.
Makanya, kualitas konstruksinya harus diawasi jangan sampai diselewengkan.
Juga, jangan sampai masyarakat mengkhawatirkan kelayakan fasilitas publik.
Nah?!
Baca juga: DPRA Akan Minta Keterangan Dinkes Terkait Kasus Roboh Rumah Sakit Regional Takengon
Baca juga: RS Regional Aceh Tengah Roboh sebelum Berfungsi, MaTA Desak Kejati Usut Potensi Korupsi