Kupi Beungoh
Aceh dan Kepemimpinan Militer (XV) - Daud Beureueh: Ulama, Mayor Jenderal, dan Gubernur Militer
Perlawanan PUSA menghadapi agresi Belanda ke Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh
Para elit PUSA semakin mampu melihat Islam sebuah sebuah kekuatan besar yang mesti bersatu.
Seperti yang dicatat oleh Umar dan Al-Chaidar (2006) PUSA kemudian bergabung dengan organisasi nasional Majlis Islam A’la Indonesia MIAI yang merupakan sebuah perkumpuln besar perjuangan ummat Islam untuk meraih cita-cita kemerdekaan.
Menjelang Perang Dunia II, disamping unsur-unsur lain yang ada di Aceh, PUSA juga sangat aktif berhubungan dengan Jepang, dan berada pada posisi paling depan dalam mengusir Belanda keluar dari Aceh.
Sejumlah peristiwa perlawanan dan pembunuhan terhadap sipil dan militer Belanda di Aceh ketika Jepang akan masuk, umumnya terkait, baik secara sistematis, maupun random dengan PUSA, atau anggota PUSA di seluruh Aceh.
Ketika Jepang menyerah, dan Perang Dunia II dimenangkan oleh Sekutu, keinginan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia mendapat respons yang cukup tegas dan keras dari masyarakat Aceh.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (III) - Ali Mughayatsyah dan Detente 235 tahun
Kawasan ini tidak hanya mengusir dan melawan Jepang, akan tetapi juga sangat siap untuk menghadapi Belanda.
Perlawanan PUSA menghadapi agresi Belanda ke Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh tidak hanya dicatat oleh banyak pelaku dan pemerhati sejarah Aceh, akan tetapi juga tertulis dengan baik dalam berbagai laporan Belanda yang tersimpan sampai hari ini di pusat informasi resmi dan perpustakaan, terutama di negeri Belanda, maupun di Indonesia.
Administrator dan ilmuwan Belanda A. J Piekar (1949) yang berada di Aceh pada masa-masa akhir Belanda di Aceh misalnya, mencatat dan mengambarkan tentang betapa besar pengaruh dan peran Beureueh dalam menyongsong kemerdekaan Indonesia di Aceh.
Hampir semua dokumen yang ada menempatkan PUSA dan Daud Beureueh, sebagai salah satu lokomotif utama yang tidak hanya menolak berbagai ajakan untuk melepaskan diri dari Negara Republik Indonesia yang baru lahir, namun juga sangat siap untuk berperang, bahkan di luar daerah Aceh sekalipun.
Apa yang membuat Beureueh menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo sebenarnya tidak telepas dari kondisi negara republik Indonesia yang baru lahir, yang sangat rentan dengan kembalinya penjajahan Belanda.
Ketika Sukarno dan Hatta ditangkap dan menjadi tawanan Belanda pada Desember 1948, para pemimpin itu telah mempersiapkan dua skenario lain untuk memastikan Indonesia tetap eksis dan berlanjut.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (IV) - Alaiddin Riayat Syah, Sang Penakluk dan Armadanya
Skenario pertama adalah pemberian mandat kepada Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk PDRI-Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang berkedudukan di Buktitinggi-Halaban, Sumatera Barat.
Skenario kedua, jika Syafrudin gagal, maka Mr. Maramis yang sedang melakukan kunjungan diplomasi ke India untuk membentuk pemerintahan dalam pengasingan.
Syarufudin Prawiranegara yang praktis berfungsi menjadi Kepala pemerintahan, segera membentuk susunan Pemerintahan Darurat.
Tokoh Aceh, Mr. Teuku Mohammad Hassan diangkat menjadi Wakil Ketua PDRI, sekalagius merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri PPK, dan Menteri Agama.