Kilas Balik Tsunami Aceh 2004

Mengenang Tsunami Aceh 2004, Nasi Goreng Terakhir Mama yang Penuh Air Mata

Mengenang tsunami Aceh 2004, nasi goreng terakhir mama yang penuh air mata diceritakan Prof Darusman, guru besar Universitas Syiah Kuala (USK) kala it

Penulis: Sara Masroni | Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/M ANSHAR
Mengenang tsunami Aceh 2004, nasi goreng terakhir mama yang penuh air mata diceritakan Prof Darusman, guru besar Universitas Syiah Kuala (USK) kala itu. 

Kantor Serambi Indonesia Jadi Asbab Penyelamat

Sesampai di depan gedung Serambi Indonesia, ia melihat kejaran air laut di depannya.

Secepat kilat ia berbalik arah lagi dan masuk ke halaman Kantor Harian Serambi Indonesia.

"Air sudah masuk pintu gerbang gedung, ketika aku dan anakku berlari dari mobil dan segera merangsek ke lantai dua gedung yang belum pernah aku masuki," ungkap Prof Darusman.

"Hanya itu yang bisa kulakukan. Selebihnya aku bersama dua anakku pasrah saja. Aka tak pedulikan lagi nasib kendaraanku yang kubiarkan begitu saja," tambahnya.

Ternyata di atas gedung Serambi, puluhan orang lain sudah duluan menyelamatkan diri.

Kantor Serambi yang kokoh terasa bagai ayunan ketika dihantam ombak dan mereka hanya bisa pasrah.

Selebihnya, beberapa orang membobol plafon untuk naik ke atas, khawatir air laut naik hingga ke lantai dua. Ternyata air laut hanya menyentuh bibir lantai.

"Kami selamat, namun gedung itu terus bergoyang dihantam air maupun oleh berbagai material yang dibawanya," kenang Prof Darusman.

Baca juga: Tangis Haru Peringatan 18 Tahun Tsunami Aceh, Kisah Nasehat Pria Tua Berjubah Putih Sebelum Bencana

Ada sekitar 30 orang berada di atas lantai dua Kantor Serambi Indonesia kala itu.

Ia bersama anaknya yang tampak sangat ketakutan, hanya bisa termangu mendengar air menderu-deru di bawah.

Guru besar USK itu kemudian teringat pada istrinya, anak lelakinya bernama Adil, ayah dan dua pembantunya.

"Apakah mereka juga menyelamatkan diri seperti kami dengan naik ke lantai dua? Kalau itu dilakukan, tentu mereka selamat dari terkaman tsunami," pikirnya.

Sejenak usai air laut surut dan kondisi di bawah sudah sedikit tenang, tiba-tiba ada beberapa polisi di pelataran Kantor Serambi yang porak-poranda.

Mereka memerintahkan para warga yang selamat di atas gedung untuk turun mengangkat sesosok mayat lelaki ke lantai dua.

Sekitar pukul 13.00 WIB atau empat jam pascatsunami, ia turun dari Kantor Serambi. Di bawah, air masih setinggi lutut.

Ia dan dua anaknya adalah orang yang paling terakhir turun dari gedung itu. Seluruh kendaraan di bawah telah disapu air.

"Panther-ku tak tahu lagi di mana rimbanya. Masya Allah, hanya 15 menit musibah, semuanya berubah total," kenang Prof Darusman.

"Aku hanya melihat padang luas yang terhampar. Di sana-sini ada mayat dan sampah yang menggunung. Tak ada lagi rumah-rumah penduduk," tambahnya.

Ia kemudian bergegas kembali menuju rumahnya di Kajhu dengan harapan istri dan seluruh anggota keluarganya bisa naik ke loteng, seperti yang dilakukannya di Kantor Serambi.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer XVI - Daud Beureueh: Medan Area, Pembentukan TNI, dan Daerah Modal

Butuh sekitar 30 menit di perjalanan sebelum sampai ke rumah, sambil mengarungi air dan sampah serta lautan jasad manusia.

Saat di perjalanan, ia sempat bersua dengan teman lamanya semasa kuliah dulu, yang waktu bertemu bekerja sebagai tukang las.

"Namanya Khairuddin. la memelukku dan mengatakan kini tinggal sebatang kara, karena anak dan istrinya telah tiada," kenang Prof Darusman.

"Aku hanya mampu berpesan padanya agar tetap tabah menghadapi kenyataan ini. Aku masih berpikir bahwa keluargaku selamat," tambahnya.

Ketika guru besar USK itu sampai di rumahnya, ia benar-benar tak percaya karena rumah yang dibangun dengan hasil keringatnya bersama istri, tandas ludes.

Hanya ada semen licin tanpa ada dinding yang tersisa sekeping pun.

"Ya Allah, ke mana anak istriku? Ke mana ayahku dan dua pembatu rumah kami? Nada tanya yang hingga kini masih menggelayut di dadaku," ungkap Prof Darusman.

Karena sejak prahara itu, ia tak berhasil menemui mereka lagi. Kalaupun sudah meninggal, ia tak tahu di mana kubur mereka.

Air Mata Putri

Hari itu, Prof Darusman gagal menjemput Putri. Baru keesokan harinya, bersama dua anaknya dengan perasaan sangat galau, ia pun menjemput Putri di asrama sekolahnya.

Ia tak sanggup berkata apa pun ketika berjumpa dengan Putri yang juga dilanda trauma berat.

Reuni mingguan mereka tak lagi indah. Hanya ada derai air mata dan sesenggukan tangis.

"Mama, Adil, dan kakek, tak ada lagi Nak!" ucapnya terbata-bata ke Putri.

Tak ada kata lain, selain Putri menghambur ke pelukannya. Ia hanya bisa berkata, "Tabahlah, Nak."

Padahal, sungguh ia sendiri pun sedang dalam perasaan hancur.

Tiga hari setelah musibah, ia mengetahui bahwa Ita Fajri, seorang pembantunya yang selamat dari amuk tsunami, setelah terombang-ambing gelombang mahadahsyat itu.

Ita selamat setelah tersangkut di batang mangga di Desa Lampoh Daya, satu kilometer dari belakang rumah Prof Darusman.

Dari kesaksian Ita, ia akhirnya tahu detik-detik terakhir istri, anaknya Adil dan sang ayah sebelum terseret tsunami.

Ita sempat melihat istri Prof Darusman yang hanya mampu berzikir di antara hempasan ombak.

"Sebelum tsunami menerjang, istriku sempat bertanya kepada Ita, suara apa yang bergemuruh," ungkap Prof Darusman menirukan.

"Mereka pikir mungkin suara pesawat, tapi pesawat tak tampak melintas di atas angkasa. Tanpa diduga, ternyata bah lautlah yang tiba," tambahnya.

Istri Prof Darusman dan anggota keluarga lainnya lari berlindung di tiang jemuran di bawah parabola bagian atap rumah.

Baca juga: Kisah Teungku Sofyan Selamat dari Bencana Tsunami Aceh, Tergulung Ombak hingga Terkubur 7 Hari

Ia tak bisa bayangkan bagaimana mereka bertahan di tiang jemuran dan lalu digulung air, hanya Tuhan Yang Mahatahu.

Kemudian bersama dua anaknya, Sabrina dan Zahrina, guru besar USK itu menyewa sebuah rumah sederhana di Permata Lamnyong.

"Putri tetap sekolah di SMA Modal Bangsa. Semua asetku telah habis. Tapi Tuhan masih menyisakan harapan hidupku, yakni tiga putriku tersayang," ungkap Prof Darusman.

"Kini reuni mingguan kami tak lagi dihadiri Adil dan istriku, Nurul Aiman," tambahnya.

Ia tersadar, nasi goreng yang diracik istrinya saat dini hari Minggu 26 Desember 2004 itu adalah nasi goreng terakhir untuk mereka dan kado spesial untuk Putri, si anak sulung.

"Pada akhirnya, nasi goreng itu tak sempat juga dinikmati anakku, karena raib bersama mobil Panther kami, digulung tsunami," ungkap Prof Darusman.

"Aku bersama anakku Sabrina, Zahrina, dan Putri hanya bisa berdoa agar anggota keluarga kami yang lain dilapangkan kuburnya serta mendapat tempat terbaik di sisi Allah," pungkasnya.

(Serambinews.com/Sara Masroni)

BACA BERITA SERAMBI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved