Opini
UIN Ar-Raniry, Pemikiran, dan Sinergisitas Pentahelix
Syekh Nuruddin Ar-Raniry dalam ruang dan waktu kesejarahan Aceh hingga menjadi nama besar sebuah institusi penting di Aceh tak lepas dari strategisnya
OLEH HANIF SOFYAN, Pegiat literasi, tinggal di Tanjung Selamat, Aceh Besar
KEHADIRAN Syekh Nuruddin Ar-Raniry dalam ruang dan waktu kesejarahan Aceh hingga menjadi nama besar sebuah institusi penting di Aceh tak lepas dari strategisnya Aceh secara teritori yang menjadi singgahan banyak bangsa.
Terbangunnya komunikasi kemudian melahirkan transmisi keagamaan dari asimilasi peradaban dan kebudayaan.
Maka banyak hal positif yang melingkupi romantisme sejarah masa lalu kita.
Kejayaan, kekuasaan, jaringan multibilateral politik, ekonomi mencakup Asia dan Eropa.
Meyandang nama besar, Syekh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi atau populer dengan nama Syekh Nuruddin Al-Raniri, institusi ini sebenarnya dibebani dengan tanggungjawab moral yang besar.
Kala Nuruddin Ar-Raniry, pertama kali datang ke Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda, ia tak banyak menghasilkan karya, karena Sultan Iskandar Muda sangat fanatik dengan ajaran Wujudiyyah yang dianutnya.
Berseberangan dengan pemikiran Nuruddin Ar-Raniry yang merupakan Syaikh Tarekat Rifa'iyyah yang didirikan oleh Ahmad Rifa'i (w.578H/ 1181 M), bahkan ia juga memiliki silsilah inisiasi dari Tarekat Aydarusiyah dan tarekat Qadiriyyah.
Barulah ketika berada di Aceh untuk yang kedua kalinya, dan menjadi ulama penasihat Kesultanan Aceh Sultan Iskandar Tsani antara tahun 1637-1644, Nuruddin Ar-Raniry mendapat tempat di istana, dan produktif menghasilkan banyak tulisan.
Bahkan ketika tradisi lisan masih dominan menjadi manifestasi wujud pemikiran para tokoh-tokoh di Aceh, Nuruddin Ar-Raniry telah membawa pembaharuan dengan menyodorkan setidaknya lebih dari 30 kitab penting.
Pemikiran Harus diakui kehadiran Nuruddin Ar-Raniry telah berhasil mematahkan pemikiran Wujudiyyah-nya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani.
Pemikirannya yang konfrontatif, mengingatkan kita kepada tokoh al-Ghazali yang begitu concern mengkritik kaum filosof, dengan kitab Tahâfut al-Falâsifah- nya.
Baca juga: UIN Ar-Raniry Sudah 59 Tahun, Makam Syekh Nuruddin Ar-Raniry belum Tahu di Mana, Begini Sikap Rektor
Baca juga: FAH UIN Ar-Raniry Yudisium 137 Lulusan, Dekan Ingatkan Pentingnya Integritas
Menariknya, pemikiran-pemikiran Nuruddin Ar-Raniry, secara umum, sesungguhnya dapat diklasifikasikan berkaitan dengan konsep tentang Tuhan yang umumnya bersifat kompromis.
Ia berupaya menyatukan paham mutakallimin dengan paham para sufi.
Begitu juga pemikirannya tentang Alam, Nuruddin Ar-Raniry berpendapat bahwa alam ini diciptakan Allah melalui tajalli.
Ia menolak teori al-faidh (emanasi) Al-Farabi karena akan membawa kepada pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga dapat jatuh kepada kemusyrikan.
Menurutnya alam merupakan wadah tajalli asma dan sifat Allah dalam bentuk yang konkret.
Atau pemikiran Nuruddin Ar-Raniry tentang manusia sebagai khalifah Allah di bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya.
Nuruddin Ar-Raniry juga mengoreksi inti ajaran wujudiyyah, yang menurutnya disalahartikan kaum Wujudiyyah dengan arti kemanunggalan Allah dengan alam.
Terlihat bahwa Nuruddin Ar-Raniry, sangat menekankan syariat sebagai landasan esensial dalam tasawuf.
Apa yang menjadi pemikirannya tentu saja berkaitan dengan konteks waktu.
Ketika yang terjadi adalah perbedaan pemikiran soal paham keyakinan, maka yang menjadi produk pemikiran dan karyanya juga berkaitan dengan konteks tersebut.
Kini dalam rentang waktu yang telah melewati usia emas, institusi UIN Ar-Raniry yang menyandang nama besarnya, tentu saja konteks sumbang pemikirannya juga telah berubah drastis.
Kontribusi pemikiran Meskipun notabene lahir sebagai institusi agama, menyandang frasa "Islam" dalam institusinya.
Pada awalnya-Institut Agama Islam Negeri , kini telah beralih rupa menjadi Universitas Islam Negeri, tak menutupnya menjadi institusi yang bisa menawarkan solusi untuk problem kekinian.
Baca juga: 869 ASN UIN Ar-Raniry Ikut Survei IPMB Kemenag Terkait Indeks Profesional Moderasi Beragama
Meminjam istilah Muhibuddin Hanafiah, UIN tidak boleh menjadi 'jago kandang', terkurung parsialnya institusi "agama".
Seolah tak bisa berkontribusi untuk urusan kontestasi politik, berkontribusi pemikiran dalam pertentangan bendera dan lambang daerah, optimalisasi dana Otonomi Khusus (Otsus), transisi dan resesi ekonomi 2023, dan berbagai persoalan kompleks pembangunan Aceh saat ini.
Apalagi dengan usia emasnya yang makin matang, tak bisa hanya terkungkung istiqamah membangun kebersamaan (jamaah) besar Ar-Raniry yang bersatu dalam keberagaman (unity in diversity) saja, tapi juga wujud kontribusi intelektual sebagai think tank bagi pembangunan Aceh yang konteks sosio politiknya lebih "membumi" untuk kemaslahatan ummah.
Bagaimana berkontribusi dalam persoalan ekonomi, kongkretnya seperti apa kontribusi pemikiran institusi UIN Ar-Raniry atas persoalan Otsus yang mendera Aceh, karena adanya ketimpangan dalam implementasinya.
Padahal Otsus menjadi sebuah "blue print" pembangunan Aceh Tinggal Landas.
Dalam periode 2008-2021 saja, jumlah Dana Otsus yang telah dialokasi oleh Pemerintah ke Provinsi Aceh telah mencapai sekitar Rp92 triliun.
Apa hasil kongkret terkait rencana pembangunan jangka panjang kita? Apakah implementasi itu telah menggambarkan arah Aceh tinggal landas pada akhir periode Otsus tahap pertama yang akan berakhir pada tahun 2027? Apalagi jika usulan Otsus berkelanjutan dan permanen ditolak Pusat.
Atau justru banyak menjadi proyek monumental sia-sia, tapi tak mengarah pada arah tujuan Aceh Baru kita? Mengapa hingga saat ini kita masih terus berkutat dengan persoalan klasik, ketergantungan pasokan listrik, ketiadaan rumah sakit representatif di tiap kabupaten, investasi ekonomi yang selalu buntu dan pertumbuhan ekonomi yang hanya bergantung sepenuhnya pada "kemanjaan" ketersediaan dana Otsus, bagi hasil migas dan menafikan kemandirian finansial dari dinamisnya sektor ekonomi.
Solusi pemikiran itu seolah masih jauh panggang dari api.
Bisa jadi karena sinergisasi institusi UIN dengan berbagai lembaga pemerintahan masih diliputi gap.
Sehingga para tokoh UIN tak berkontribusi langsung menjadi bagian dari pentahelix.
Jika awalnya hanya Triple Helix dimana konsepnya kolaborasi kerja sama sinergisitas Pemerintah, Universitas dan Industri yang bersinergi.
Baca juga: Rektor Kukuhkan 425 Guru Profesional PPG UIN Ar-Raniry
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan, Universitas sebagai pusat pengembangan penelitian, dan industri sebagai penyedia kebutuhan layanan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama.
Kini Penta helix, sebagai perluasannya melibatkan berbagai unsur masyarakat, lembaga non profit mewujudkan inovasi.
Melalui kolaborasi sinergis tersebut terwujud inovasi yang didukung berbagai sumber daya yang berinteraksi secara sinergis.
Dimana lima unsurnya adalah kolaborasi unsur subjek atau stakeholder Academician (Akademisi), Business (Bisnis), Community (Komunitas), Government (Pemerintah) dan Media (Publikasi Media).
Dengan kontribusi multistakeholder tersebut UIN Ar-Raniry bersinergi hadir menjadi institusi solutif bagi penyelesaian berbagai persoalan-persoalan penting di Aceh.
Memasuki usia 59 tahun sejak kelahirannya tanggal 5 Oktober 1963, kontribusi pemikirannya semakin ditunggu bersama teman seiring jalannya Universitas Syiah Kuala (USK).
Kedua institusi itu menjadi think tank bagi begitu banyak persoalan pembangunan dan politik Aceh yang menunggu kontribusi para pemikirnya.
Sinergisasi pentahelix harus menjadi fokus utama jika ingin kontribusi pemikirannya dapat diterima manfaatnya secara langsung.
Jika tidak, maka UIN Ar-Raniry akan selalu terkurung parsialnya kejumudan institusi yang seolah terpaku pada ego sebagai institusi pendidikan un sich, tapi tak berkontribusi membumi untuk pembangunan dan kemaslahatan umat.
KrueSeumangat!( acehdigest@gmail.com)
Baca juga: BSI Buka Cabang Pembantu di Kampus UIN Ar-Raniry
Baca juga: Fakultas Ushuluddin UIN Ar-Raniry Gelar Ushuluddin Fair Festival II
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.