Kupi Beungoh
Kupi Pancong Keuneubah Beulanda
Kedua daerah ini masing-masing menghasilkan kopi terbaik dengan berbagai macam jenisnya bahkan sampai dengan kualitas premium
Oleh M.Al Firdaus*)
Masyarakat Aceh itu unik, nan langka, ciri khasnya ini tidak di temukan di masyarakat daerah manapun, percaya atau tidak, saya sebagai warga Aceh melihat ini sebagai suatu tradisi yang unik.
Bagaimana cara masyarakat Aceh berinteraksi dengan kehidupan nyata, hal uniknya adalah, bagi masyarakat Aceh, minum kopi sudah menjadi tradisi atau budaya yang tidak bisa di lewatkan setiap harinya.
Seolah-olah kopi ini memulihkan energinya kembali, setelah seharian lelah mengerjakan aktifitasnya.
Kebiasaan jep kupi (minum kopi) di Aceh juga di atas rata-rata kebiasaan masyarakat daerah lain.
Terlebih sampai ada ungkapan bijak di Aceh yang sangat populer, Kupi sikhan glah, peh beureukah lua Nangroe.
Yang artinya minum kopi setengah gelas, tapi pembicaraannya sampai ke luar negeri.
Kemudian “jeb kupi nyak bek pungo” atau “Minum kopi biar tidak gila”.
Aceh di kenal dengan daerah penghasil kopi terbaik di Indonesia bahkan 40 persen kopi dunia itu dari Aceh, tepatnya negeri di atas awan (Takengon, Gayo dan sekitarnya) dan juga Ulee Kareng.
Kedua daerah ini masing-masing menghasilkan kopi terbaik dengan berbagai macam jenisnya bahkan sampai dengan kualitas premium.
Baca juga: Tragedi Kelam Jambo Keupok, Penyiksaan yang Kini Diakui Negara Sebagai Pelanggaran HAM Berat
Jika kita tarik garis sejarah, kopi pertama kali masuk ke Aceh pada abad ke-19 melalui Batavia (Jakarta) pada saat itu ada dua jenis kopi yang di bawa oleh belanda Arabika dan Robusta.
Kemudian kopi Arabica tumbuh subur di Gayo Aceh Tengah, Bener Meriah, karena iklim cuaca yang cocok untuk kopi Arabica, dan Robusta sendiri tersebar di Pidie, Bireun, Pidie Jaya, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tenggara.
Aceh juga di juluki sebagai negeri 1000 warung kopi, ajaibnya masyarakat Aceh meminum kopi bukan hanya sekedar untuk menikmati rasanya, terlebih lagi dengan kopi dapat mencairkan suasana berdiskusi.
Sekaligus membuka fikiran-fikiran kritis, banyak bisnis-bisnis besar atau usahawan yang akan membangun kerjasama dan ide-ide gila lainya itu lahir di warung kopi.
Pun pejabat pemerintah ada juga demikian, dengan sedikit kopi di sela-sela pembicaraannya menambah sensasi kemantapan dalam memikirkan kesejahteraan rakyat Aceh,
Saya teringat sekali ketika masih kecil, di hari libur saya sering sekali di minta tolong belikan kopi di pagi hari untuk Nenek dan Abi saya.
Setelah saya bawa pulang kopi-nya nenek saya langsung meminumnya dan setelah itu baru melanjutkan aktifitasnya, seperti menganyam tikar atau ke sawah.
Baca juga: Negara Akui Tragedi Simpang KKA Sebagai Pelanggaran HAM Berat, Begini Kisah Kelam Tahun 1999
Rasanya kalau belum minum kopi aktifitas sedikit kurang sempurna ucap Nenek saya.
Snouck Hurgronye dalam bukunya Aceh di Mata Kolonialis jilid I Menjelaskan bagaiaman kebiasan masyarakat Aceh pada kala itu “Bagi kebanyakan orang biasa di Aceh, air putih adalah hampir satu-satunya minuman, dari waktu ke waktu (sesekali) ia akan minum air tebu,”
Hal unik lainya lagi adalah, masyarakat Aceh kalau seandainya harus keluar daerah dalam hal pekerjaan, atau liburan, itu akan sedikit resah.
Karena tidak bisa menikmati kopi yang biasa di nikmati-nya, dan di Aceh itu kalau kita buat survei di kalangan anak muda pilih warkop atau coffee shop 8 dari 10 anak muda lebih memilih warung kopi.
Dan termasuk saya, sebagai anak muda, saya juga lebih senang bekerja freelance atau berdiskusi di warung kopi ketimbang coffee shop.
Hingga tulisan ini pun, saya tulis ketika sedang duduk di salah satu warung kopi terkenal di Ulee Kareng, ini bukan perihal harganya yang murah.
Tapi ini perihal rasa dan kemantapan dalam berfikir, dan warung kopi (warkop) menjadi tempat yang banyak orang kunjungi setiap harinya di Aceh.
Apapun masalahnya warung kopi solusinya, tidak percaya datanglah ke Aceh dan buktikan sendiri.
Saya bukan pemilik warung kopi dan saya juga tidak di endorse oleh pemilik warung kopi, tapi ini saya tulis murni dari kecintaan saya kepada kopi.
Pernah sekali saya di ejek oleh teman saya, karena sering duduk di warung kopi dan di anggap murahan.
Saya hanya bisa tersenyum sambil berkata lirih dalam hati, "andai kamu tau sensasi apa yang saya dapatkan ketika menikmati segelas kopi," pastinya kamu akan menarik kata-kata mu kembali.
Baca juga: Kementerian Kebudayaan Arab Saudi Buka Penelitian Kopi, Dorong Perkembangan Industri Kerajaan
Dan jelas kita tidak bisa bertukar jiwa, dan bagi yang tidak suka kopi, jangan meremehkan orang yang minum kopi.
Sejati nya dia sedang berfikir dan merancang bagaimana rencana selanjutnya dan langkah Apa yang akan dia lakukan dalam hal yang sedang dia tekuni.
Bahkan terkadang tidak harus di warung kopi. Misalnya sedang ada rapat di Kantor atau kenduri dan lain sebagainya, apa pun acaranya kopi menjadi salah satu minuman favorit yang di minati.
Saya juga tidak memaksa pembaca untuk menikmati opini saya dengan benar, tapi orang yang menikmati segelas "kupi pancung" di pagi hari atau malam harinya, ia bisa merasakan kekuatan dari segelas kopi.
Dinamakan kupi pancung karena isinya yang tidak penuh seperti di pancung atau di potong.
Saya teringat tulisan yang ada di prasasti pada pintu masuk menuju kompleks pemakaman Teuku Umar, di Desa Mugoe, Meulaboh.
Disitu tertulis dengan jelas beliau berkata, "BEUNGOH SINGOH GEUTANYOUE JEB KUPI DI KEDE MEULABOH ATAWA ULON AKAN SYAHID, (Besok pagi kita minum kopi di kota Meulaboh "jika masih hidup" atau saya akan syahid "gugur".
Dari ucapan beliau ini kita bisa melihat bagaimana pentingnya kopi bagi beliau, mungkin dengan meminum segelas kopi, dapat memberikan semangat perjuangan atau memberikan dampak positif dari segelas kopi.
Sekelas Teuku Umar pahlawan Aceh yang sangat Susah untuk di taklukkan oleh serdadu belanda saja meminum segelas kopi.
Jika teman saya dari luar daerah datang dan berkunjung ke Aceh.
Baca juga: Jembatan Gantung Siron Aceh Besar Diresmikan, Warga tak Lagi Memutar Jauh Melalui Waduk Keliling
Hal pertama yang saya lakukan adalah membawa dia ke warung kopi yang sering saya nikmati, di sana saya akan memberi nya kopi.
Lalu menceritakan bagaimana kopi ini di buat, dan seperti apa filosofi nya di mata saya.
Jika ia tidak suka kopi setidaknya ia akan suka dengan filosofi nya hehe, pun begitu juga ketika saya keluar daerah.
Hal pertama sekali yang saya cari adalah warung kopi meskipun tidak sama rasanya setidaknya ada persamaan di namanya.
Inilah unik nya masyarakat Aceh, setiap kali saya ke warung kopi saya selalu memperhatikan setiap sudut nya.
Ada yang sedang bekerja, ada juga mahasiswa yang sedang berdiskusi, aktivis, hingga pejabat yang sedang mempertahankan kekuasaannya, turut ada juga yang bersilaturahmi dengan calon istri keduanya.
Tidak lengkap rasanya, dan tidak mantap pembicaraanya jika tidak di temani segelas kopi. Kiban kaleuh jeb kupi? Meunyoe gohlom jeb kupi dilee. Apapun masalahnya warung kopi penyelesainya.
*)PENULIS Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab Uin Ar-Raniry, Banda Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.