Kupi Beungoh
Syariatisasi Jalan Raya
Qanun Syariat Islam yang mengatur tentang tatacara berkendara di jalan raya serta sanksi bagi pelanggar demi terciptanya jalan raya yang bersyariat
Oleh: Khairil Miswar*)
Semua Muslim sepertinya sepakat bahwa kesombongan dan keangkuhan adalah manifestasi dari perilaku setan yang terkutuk.
Karena itu topik tentang kesombongan ini kerap diulang-ulang dalam sejumlah literatur keagamaan.
Tidak cukup dengan tulisan di kitab-kitab, topik ini bahkan sering disuarakan oleh para tokoh agama di panggung-panggung.
Realitas demikian menunjukkan bahwa penolakan terhadap kesombongan telah menjadi konsensus yang tidak lagi memiliki peluang untuk dikoreksi.
Namun demikian, dalam praktiknya perlawanan terhadap kesombongan kerap berputar-putar dalam lingkaran teoritik belaka, di mana secara faktual perlawanan terhadap terma dimaksud tidak pernah utuh dan bulat alias tidak kaffah.
Hal ini di antaranya tercermin dari perilaku kita sendiri yang terkadang ambigu: Di satu sisi mengecam kesombongan dan di sisi lain memeluk kesombongan dengan begitu mesra.
Ambiguitas ini bisa dilihat di antaranya dalam sikap sebagian kita yang begitu bersemangat mengutuk kesombongan melalui narasi-narasi religius di atas mimbar, tapi ketika turun dari mimbar kita justru memandang orang-orang dengan pandangan sinis.
Kesombongan di Jalan Raya
Selain persoalan ambiguisitas dalam memandang kesombongan, kita juga kerap membiarkan kesombongan berlangsung dalam beberapa aspek kehidupan – yang terkadang kita anggap sebagai bukan kesombongan hanya karena kita sebagai pelakunya.
Sebagai contoh adalah praktik kesombongan di jalan raya yang saban hari kita ulang, baik sadar, setengah sadar atau pun tidak.
Kesombongan di jalan raya ini sering kali melibatkan semua kalangan, baik kaum terpelajar atau pun “komunitas bebal” yang sedari lahir memang tak bisa diatur.
Dalam konteks ketertiban dan keselamatan, praktik kesombongan di jalan raya ini tentunya sangat mengganggu, untuk tidak menyebut menyebalkan.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (XII) Benarkah Iskandar Muda Raja Liberal ?
Untuk bisa menyeberang di area zebra cross saja terkadang kita harus menunggu kucing bertanduk akibat tidak adanya kesadaran dari pengendara untuk memberi kesempatan kepada para penyeberang.
Parahnya lagi ketika ada pejalan kaki yang ingin menyeberang sebagian pengendara justru menyalakan lampu sorot sebagai kode bahwa jalan itu hanya miliki “nenek-moyangnya.”
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.