Kupi Beungoh
PA jadi Partai Terbuka, Mimpi Terliar Mualem?
“Beyond One’s Wildest Dream” begitulah tulisan kecil namun terbaca dengan sangat jelas di oblong hitam yang dipakai Mualem.
Oleh: Risman Rachman*)
MUZAKIR Manaf alias Mualem terpilih kembali me-mimpi-n Partai Aceh.
Tapi, apa yang menjadi “mimpi terliar” (wildest dream) Mualem dengan mengubah partai menjadi terbuka?
Merujuk pewartaan, setidaknya ada dua bukti Partai Aceh menjadi partai terbuka.
Pertama, Mualem menyebut sudah menyediakan wadah untuk anak muda (milenial) untuk bergabung.
Bukti kedua adalah dengan penetapan Sulaiman Abda, politisi senior Golkar Aceh, sebagai Ketua Dewan Pakar Partai Aceh.
Dan politisi yang pernah menjadi wakil ketua di DPRA itu juga mengaku bahwa kehadirannya menjadi bukti bahwa Partai Aceh sebagai partai terbuka.
Kenapa saya menulis pernyataan Mualem untuk mengubah Partai Aceh menjadi partai terbuka ini sebagai “mimpi terliar” (wildest dream) sang panglima GAM?
Tak lain dan tak bukan karena tulisan di baju oblong yang malam itu dipakai Mualem di dalam balutan jas merah keberasan Partai Aceh.
“Beyond One’s Wildest Dream” begitulah tulisan kecil namun terbaca dengan sangat jelas di oblong hitam yang dipakai Mualem.
Kecil memang, sehingga mungkin banyak orang luput untuk membaca, apalagi membahasnya.
Tapi tahukah Anda? Tulisan kecil di baju oblong Mualem itu sangat sarat dan kuat akan makna.
Saya membacanya ketika seorang kawan menshare sebuah foto yang merekam momen ketika Mualem memeluk Irwandi Yusuf, mantan juru propaganda GAM, yang juga mantan gubernur Aceh.
“Beyond One’s Wildest Dream” di kaos yang dipakai Mualem itu adalah sebuah idiom terkenal di dunia barat, yang secara harfiah diartikan “lebih dari mimpi terliar”.
Secara bebas, idiom “Beyond One’s Wildest Dream” itu sering diartikan “di luar mimpi terliar seseorang”, yaitu sesuatu yang lebih dari apa yang diharapkan atau dibayangkan.
Nah, mungkin malam itu Mualem sengaja memakai oblong tersebut, untuk menyampaikan sebuah pesan penuh makna kepada kita, hanya saja, kita tidak bisa menangkap pesan itu. Wallahuaklam.
Foto yang merekam momen Mualem merangkul Irwandi Yusuf ini diposting di akun Facebook Irwandi Yusuf Page pada, Senin (27/2/2023) pagi.
Menyertai foto itu tertera narasi: "Irwandi Yusuf memenuhi undangan Muzakir Manaf dalam rangka Penutupan Musyawarah Besar (Mubes) ke III Partai Aceh (PA) yang berlangsung Minggu 26 Februari 2023 di Hotel Hermes Palace.
Pada kesempatan tersebut Irwandi Yusuf mengucapkan selamat atas terpilih kembali Muzakir Manaf alias Mualem sebagai Ketua Umum DPA Partai Aceh periode 2023- 2028.
Terlihat dalam sebuah frame foto, Mualem memeluk erat Irwandi yang menunjukkan bahwa mereka berdua adalah saudara seperjuangan. Semoga kekuatan partai lokal semakin berk18ar kedepan."
Baca juga: Malik Mahmud Minta Partai Aceh Perjuangkan MoU Helsinki
Penghibur Semata?
Lalu, paginya, seorang rekan penggemar Kupi Beungoh membahas kalimat berbahasa Inggris di oblong yang dipakai Mualem pada penutupan Mubes Partai Aceh.
Tapi dia malah menyatakan bahwa dengan mengubah diri menjadi partai terbuka menandakan Partai Aceh sedang dicekam rasa gelisah.
“Dan tulisan Beyond One’s Wildest Dream dibaju Mualem hanya menjadi ungkapan penghibur semata,” celotehnya seraya menyeruput kopi.
Tapi kenapa sampai gelisah?
Apa karena menyadari daya pikat partai yang terus menurun, dari waktu ke waktu, sehingga memilih solusi partai terbuka?
Survey e-TRUST baru-baru ini mengungkap bahwa dukungan terhadap Partai Aceh ke depan terus menurun.
Publik disebut lebih menyukai partai nasional seperti Demokrat, PKS dan NasDem ketimbang Partai Aceh.
Jika ini dasarnya, sekaligus mengindikasikan bahwa dengan mengubah diri menjadi partai terbuka, maka Partai Aceh bukan lagi partai ideologis.
Padahal, kunci keberhasailan Partai Aceh di masa awal kehadirannya itu justru pada daya pikat ideologis yang melekat pada sosok-sosok yang berhimpun di partai yang didirikan untuk memenuhi poin 1.2.1 MoU Helsinki.
Artinya, orang-orang mendukung serta memberi kepercayaan (suara) kepada tokoh-tokoh yang ada di Partai Aceh lebih karena alasan mereka yang bergabung dalam Partai Aceh dinilai memiliki jiwa Tiro-is-me.
Jadi, kader di Partai Aceh lah yang dianggap paling progresif untuk mewujudkan apa yang disebut Aceh interest, tentu dalam perspektif yang baru.
Itu artinya, untuk meraih kembali kepercayaan rakyat, agar bisa kembali berjaya, solusinya jelas rekrutmen yang selektif, menempuh jenjang sesuai level pengkaderan, sehingga kader berjuang di legislatif dan eksekutif dengan spirit ideologis.
Dengan begitu, perjuangan berbasis Aceh interest terwujud.
Dengan membuka diri untuk dimasuki oleh siapa saja, apalagi tanpa diikuti dengan pengkaderan dan tidak melewati jenjang, asal penempatan dan asal memberi kepercayaan, yang berlaku justru potensi kooptasi partai.
Kader-kader yang menempati kursi-kursi legislatif atau memegang kepemimpinan di eksekutif akan berjalan sendiri-sendiri, semaunya, tanpa berpijak dan bersandar pada kesadaran ideologi perjuangan partai.
Inilah yang membuat partai politik kehilangan daya pikatnya di hadapan publik.
Tapi, bagi yang ingin meraih nomor urut di Pileg, sekedar untuk mendapat surat dukungan di Pilkada, pasti para petualang politik akan mendorong partai manapun untuk melepas diri dari kesadaran ideologis, bahasa cantiknya menjadi partai terbuka.
Jika dikemudian hari sudah tidak bisa dimanfaatkan maka tanpa halangan, tanpa merasa bersalah, siap mencari partai politik lain sebagai perahu atau raket bak pisang.
Baca juga: Tak Lagi Jabat Jubir PA, Nurzahri Sampaikan Terima Kasih ke Mualem
Tiroisme dan Daya Ledak Pemikiran Aceh
Menurut saya, Tiroisme yang berisi pemikiran-pemikiran progresif Hasan Tiro sebagai ideolog Partai Aceh masih mengandung daya pikat yang kuat di tengah politik nasional yang kembali cenderung mengarah ke nasionalisme sempit.
Problem keindonesiaan saat ini, mengikuti ceramahnya Rocky Gerung baru-baru ini di Aceh, mengisyaratkan penting tumbuh kembang kembali pemikiran yang merdeka dari berbagai penjuru negeri, terkhusus Aceh.
Dan pasti, secara nasional orang-orang sedang menunggu “daya ledak” pemikiran dari Aceh, yang dahulu pernah hadir dengan pemikiran-pemikiran berani, sebagaimana pemikiran Hasan Tiro muda tentang Demokrasi untuk Indonesia.
“Daya ledak” pemikiran berani inilah yang tidak terlihat dari dapur ideologi Partai Aceh yang harusnya mengepulkan “asap wangi pemikiran” yang menarik minat banyak orang untuk bersetuju dengan ideologi, pemikiran, cita-cita, perjuangan sehingga tergerak untuk mengikuti sekolah pengkaderan Tiroisme Partai Aceh sebelum mendeklarasikan bergabung dalam wadah partai.
Buktinya, tidak terjadi percakapan publik di warung-warung orang dewasa atau cafe-cafe milenial atas gagasan yang diproduksi dari dapur pengkaderan Partai Aceh.
Yang terjadi di warung kopi, cafe dan medsos justru perbincangan-perbincangan yang kontra produktif bagi masa depan elektoral partai.
Secara nasional, kegelisahan pada eksistensi partai yang kehilangan ideologisnya juga meliputi tokoh politik nasional seperti Megawati dan Yusril Ihza Mahendra.
Keduanya adalah tokoh politik yang menjadikan PDIP dan PBB sebagai partai ideologis dengan ideolog masing-masing, Soekarno untuk PDIP dan Muhammad Natsir untuk PBB.
Mengutip Yusril Ihza Mahendra dalam acara Indonesia Lawyer Club, yang namanya partai politik itu pada dasarnya, memang tertutup.
Jadi, hanya yang setuju dengan ideologi dan pemikiran serta cita-cita perjuangan saja yang bersedia bergabung.
Yusril juga memiliki kekuatiran jika orang-orang dengan bebas masuk, bebas mendapat nomor urut, bebas mendapat surat dukungan, apalagi tanpa menjiwai ideologi partai, dan tanpa berproses dalam pengkaderan.
Itulah mengapa PDIP dan PBB menawarkan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup untuk Pemilu 2024 mendatang.
Alasan Yusril karena demokrasi Indonesia telah mengalami pergeseran dari kekuatan rakyat menjadi kekuatan uang, kekuatan modal.
Saat ini, kata Yusril, orang tidak perlu dikader, dididik di partai dan tidak perlu harus berjenjang dari bawah dalam kepengurusan.
Hanya karena punya uang, populer, langsung direkrut jadi caleg dan ketika terpilih, akhirnya jadi anggota legislatif yang jauh dari harapan partai.
Sampai di sini, saya kurang sependapat dengan Yusril.
Pengkaderan agar memiliki kesadaran ideologis dan kesiapan untuk berjuang dengan sungguh-sungguh di legislatif dan eksekutif tidak harus mengubah sistem pemilu saat ini.
Kunci utamanya adalah partai yang disiplin menjalankan aturan partai.
Jadi, siapapun yang ingin bergabung haruslah terlebih dahulu mengikuti pendidikan politik dan setelah menerima ideologi partai baru diterima menjadi anggota dan disiplin mengikuti jenjang pengkaderan dari bawah, tidak langsung mendapat tiket untuk menjadi calon anggota legislatif atau mendapat tiket untuk diusung sebagai calon kepala daerah.
Kalau begitu, tulisan di baju Mualem “Beyond One’s Wildest Dream” harus diwujudkan dengan sesuatu yang melampaui mimpi orang banyak yaitu partai yang memproduksi gagasan berani dan kerja yang berani juga untuk Aceh interest.
Bek haba dan but meunan-meunan laju.(*)
*) PENULIS adalah penikmat kupi pancong, berdomisili di Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI
Mubes Partai Aceh
Muzakir Manaf
Mualem
Irwandi Yusuf
Opini Kupi Beungoh
Risman Rachman
Serambi Indonesia
Berita Serambi hari ini
opini serambi
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.