Kupi Beungoh
Ketika Belanda Menjajah Aceh
Bukti yang paling menarik adalah jatuhnya istana raja Aceh ke tangan Belanda yang dalam sejarah sedikit sekali dibicarakan.
Oleh: T. Murdani*)
Apakah Aceh pernah dijajah oleh Belanda?
Pertanyaan ini masih dijawab dengan perdebatan yang sangat emosional di kalangan masyarakat Aceh.
Umumnya ada dua pendapat yang berbeda dalam menyingkapi kondisi Aceh masa lalu dimana ramai yang beragumentasi bahwa Aceh tidak pernah dijajah oleh Belanda.
Namun sebagian yang lain berpendapat bahwa Belanda pernah menjajah Aceh namun tidak lama.
Walaupun diskusi Aceh pernah dijajah oleh Belanda atau tidak tidak akan pernah berakhir, beberapa bukti menunjukkan bahwa Belanda memang pernah menerapkan administrasinya di Aceh.
Bukti yang paling menarik adalah jatuhnya istana raja Aceh ke tangan Belanda yang dalam sejarah sedikit sekali dibicarakan.
Setelah Belanda menguasai istana kerajaan Aceh, mereka kemudian pada tahun 1880 membangun kediaman gubernur Hindia Belanda di atas reruntuhan istana Aceh tersebut.
Bukti lain adalah Belanda juga membangun koneksi kereta api dengan nama Aceh Tram antara tahun 1882 – 1896.
Tentunya masih banyak data dan fakta yang lain yang dapat menunjukkan bahwa Belanda pernah berkuasa di Aceh.
Sebagian yang lain mengatakan walaupun Belanda pernah hadir di Aceh, namun mereka tidak mampu menaklukkan Aceh secara keseluruhan.
Hal itu dikarenakan rakyat Aceh bersatu padu melawan kehadiran Belanda di tanoh indatu tanpa ada rasa takut dan lelah.
Terlepas dari berbagai asumsi dan bukti yang ada, sedikit sekali penjelasan mengenai bagaimana Belanda dapat menguasai istana kerajaan Aceh.
Mungkin ini dianggap aib yang memalukan untuk diceritakan atau orang-orang ingin melupakan sejarah kelam yang tidak pernah diinginkan.
Namun sejarah tetaplah sebuah cerita masa lalu yang memiliki kekuatan besar untuk membentuk masa depan.
Kita tidak akan mampu merencanakan masa depan yang gemilang tanpa kita ketahui sejarah indatu baik itu sejarah kesuksesan, kegagalan atau kekonyolan yang pernah dilakukan indatu kita sehingga kita mecawo-cawo sampai hari ini.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (VI) - Sultan Al Mukammil, "Repertoar Raja Boneka”
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (XI) Benarkah “Masa Emas Aceh” Iskandar Muda Sekedar Mitos?
Kisah Kekecewaan Uleebalang
Menurut sebuah kisah terdapatlah sebuah kelompok uleebalang kala itu yang merasa kecewa kepada Sultan, karena Sultan telah mengangkat uleebalang baru dan memberikan tanah kepada uleebalang baru tersebut dengan mengurangi wilayah kelompok uleebalang yang merasa kecewa.
Kekecewaan tersebut memuncak karena Sultan tidak mau menegosiasi lagi keputusannya.
Merasa jasa dan keberadaan mereka tidak dihargai lagi oleh Sultan Aceh, kelompok uleebalang tersebut melakukan pertemuan rahasia dengan Belanda.
Intinya para kelompok uleebalang tersebut akan memberi informasi kepada Belanda bagaimana cara menguasai istana Sultan, namun dengan syarat mereka harus diangkat sebagai Sultan baru di Aceh.
Dalam perjalanannya, Belanda berhasil merebut istana Sultan, namun apa mau dikata Belanda tidak mampu memenuhi janjinya untuk menjadikan kelompok uleebalang tersebut menjadi Sultan dan penguasa baru di Aceh.
Namun mereka diberikan bintang jasa oleh Belanda yang disematkan di dada sebelah kiri mereka.
Mereka itu menjadi kaki tangan penjajah dan dilindungi oleh Kompeni Belanda, sedangkan kelompok uleebalang lainnya mati-matian berjuang untuk mempertahankan Aceh sebagai nanggroe meurdehka.
Teuku Umar, Teuku Raja Sabi, Pocut Bharen, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia dan lainnya terus saja berjuang sampai syahid.
Dalam catatan sejarah, Belanda pernah mengakui bahwa perang Aceh adalah perang yang sangat melelahkan dan menghabiskan banyak anggaran.
Hanya Perang Aceh yang tidak mengenal jabatan dan posisi korbannya.
Perang Aceh telah memakan korban hingga selevel jenderal di pihak Belanda.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (I) - Dari Klasik Hingga Kontemporer
Namun pada kenyataannya, Belanda tidak mampu menguasai Aceh seperti daerah lain di Nusantara, dimana mereka dapat duduk manis menikmati hari dengan kopi dan teh.
Menjadikan pribumi sebagai lamiet untuk mengurus kehidupan mereka.
Di daerah lain di Nusantara, mereka dapat merekrut pribumi untuk menjadi serdadu mereka, menjaga keamanan mereka, bisnis mereka, segala kepentingan mereka.
Namun tidak di Aceh, tidak ada orang Aceh yang pernah menjadi tentara Belanda.
Pernah sekelompok tentara yang dipimpin oleh Teuku Umar, menyerah dan menjadi tentara Belanda, namun setelah mendapatkan persenjataan dan logistik yang dibutuhkan, Teuku Umar dan kelompoknya kembali masuk hutan untuk melawan Belanda.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (XIII) Van Heustz: Doktrin Perang dan “De Slager van Atjeh”
Jangan Pernah Kita Ulangi
Satu sejarah kelam yang yang pernah dilakukan oleh indatu kita dan harus kita sesali kemudian jangan pernah kita ulangi kembali adalah ketika sekelompok uleebalang menganggap Belanda akan memberi jabatan bagus kepada mereka dari pada Sultan Aceh.
Sehingga mereka membantu Belanda untuk menguasai istana Sultan.
Jika riwayat ini benar adanya, maka kita harus mengakui bahwa ini strategi paling konyol yang pernah dilakukan oleh buyut kita.
Pengalaman tersebut harus menjadi cambuk bagi generasi selanjutnya agar tidak mengulangi kekonyolan yang sama.
Jabatan, uang, fasilitas hidup mewah tidak semestinya menjadi sebab untuk mengkhianati bansa sendiri karena indatu kita telah memberikan penutoeh seperti dikumandangkan oleh Imum Jhon;
“Lam udep ta meusare, lam meuglee ta meubila-bila, lam lampoeh ta meutuloeng alang, lam meublang ta meusyedara. Lam hudep ta meusaboeh, ta meujroeh beu lage saboeh ma, peunyaket hate ta peugadoeh, peutimoh bila meubila”.
Terlepas dari kekonyolan indatu kita dalam bersikap kala itu, banyak riwayat baik yang tertulis maupun tidak bahwa;
Dengan kekuatan besar dan dana perang yang berlimpah, Belanda tidak mampu menguasai Aceh seperti mereka menguasai daerah lain di Nusantara.
Mereka tidak pernah merasa nyaman di Aceh karena fanatisme dan persatuan orang Aceh sangat kuat.
Aceh tetaplah Aceh, walau diaduk-aduk, diadu domba, patriotisme Aceh akan terjaga dan terawat untuk menjaga tanoeh indatu yang pernah terukir dalam sejarah dunia.
Sebagai generasi penerus Aceh, kita memiliki kewajiban untuk memahami sejarah.
Banyak pelajaran disana agar kita tidak melakukan kesalahan yang telah dilakukan oleh indatu.
Berbagai pengalaman tersebut akan menjadi pelajaran kepada kita untuk menjadikan Aceh kembali menjadi salah pusat peradaban dunia.
Semoga para elite Aceh saat ini masih memiliki sedikit rasa ke-Acehan dan memahami siapa mereka sebenarnya, siapa indatunya dan apa yang telah dilakukan oleh indatunya untuk Aceh.
Sehingga mampu melepaskan diri dari jebakan batman yang selalu menawarkan jabatan, harta, dan itunya.
*PENULIS Teuku Murdani adalah kadidat doktor dalam bidang Pengembangan Masyarakat Terpencil di University of Canberra, Australia dan Dosen pada jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.