Kupi Beungoh
Gubernur Aceh: Tujuh Gubernur Pilihan Soeharto - Bagian II
kepemimpinan Soeharto dan Orde Barunya adalah dwifungsi ABRI, karena memang asumsi dasarnya adalah ABRI sebagai antitesa inti terhadap Orde Lama.
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
Salah satu “trade mark” kepemimpinan Soeharto dan Orde Barunya adalah dwifungsi ABRI, karena memang asumsi dasarnya adalah ABRI sebagai antitesa inti terhadap Orde Lama.
Di samping itu ancaman instabiltas politik, ekonomi, dan keamanan, yang dialami oleh Indonesia, terutama pada tahun-tahaun sebelum dan ketika peristiwa Gestapu PKI 1965 menjadikan doktrin sebagai sebuah keniscayan.
Stabilitas adalah kata kunci yang menjadi basis bagi apapun kebijakan pemerintah.
Dwifungsi ABRI memberikan peluang kepada anggota ABRI terpilih untuk menduduki jabatan-jabatan sipil yang dianggap strategis untuk keamanan dan pembangunan.
Tidak hanya kementerian, lembaga, dan berbagai jabatan struktural dapat diduduki oleh TNI, mayoritas kepala daerah pada masa itu, gubernur, bupati, dan walikota cukup banyak disi oleh TNI.
Segera setelah Soeharto berkuasa ia melantik Kolonel Hasbi Wahidi, kelahiran Lhoksukon, sebagai pejabat Gubernur Aceh untuk masa waktu sekitar satu tahun.
Hal itu tak berlangsung lama, karena menurut beberapa sumber sejarah, Hasbi Wahidi yang dikenal “lurus” berseberangan dengan Panglima Kodam Iskandar Muda, T. Hamzah yang juga tak kurang “lurusnya”.
Baca juga: Gubernur Aceh - Apa Beda Soekarno, Soeharto, Gus Dur, SBY, dan Partai Aceh - Bagian I
Soeharto kemudian “memilih” dan “menunjuk” Letnan Kolonel CPM Muzakir Walad untuk dipilih oleh DPRD sebagai Gubernur Aceh.
Ketika masa jabatan periode I Muzakir Walad akan berakhir pada 1973, Panglima Kodam Iskandar Muda, Brigjen Aang Kunaifi berdiskusi dengan beberapa pemuka masyarakat Aceh tentang kemungkinan dirinya untuk maju sebagai calon gubernur Aceh.
Satu diantaranya tokoh Aceh itu adalah Noer Nikmat, pengusaha angkutan Pertamina yang mempunyai jaringan luas dan kuat, di Aceh, maupun di Jakarta.
Diam-diam Noer Nikmat berangkat ke Jakarta menghubungi “inner-circle” presiden Soeharto.
Ia kemudian pulang ke Aceh dan bertemu dengan Aang Kunaifi, dan menyampaikan hasil observasi dan diskusinya dengan elite nasional kepada Aang Kunaifi.
“Bagaimana Noer?” tanya Aang Kunaifi.
Baca juga: Masih Terus Bertahan, Ini Rincian Harga Emas di Langsa Pada Selasa 16 Mei 2023
Noer Nikmat menjawab “Pak Aang, jabatan lain boleh bapak minta apa saja, yang jangan Gubernur Aceh” dengan gaya kelakar khas Noer Nikmat.
Integritas dan Sistem Bercerai, Korupsi Berpesta |
![]() |
---|
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.