Opini
Meraih Kebahagiaan Menurut Indatu
Orang-orang tua Aceh tempo dulu (indatu), antara lain, menggunakan sejumlah pepatah sebagai nasehat agar generasi penerusnya menempuh jalan kehidupan
Prof Dr Jarjani Usman M Sc MS, Dosen Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
SETIAP masyarakat memiliki berbagai kearifan lokal untuk meraih kebahagiaan hidup. Orang-orang tua Aceh tempo dulu (indatu), antara lain, menggunakan sejumlah pepatah sebagai nasehat agar generasi penerusnya menempuh jalan kehidupan yang penuh kebahagiaan. Pepatah adalah peribahasa yang berisi nasehat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2016).
Petuah atau nasehat tentang kehidupan itu perlu digali, diangkat kembali, direkonstruksi, dan dilestarikan dalam konteks kekinian. Bukan hanya unik dilihat dari segi konstruksinya, pepatah-pepatah itu juga mengandung nilai-nilai edukatif yang penting dalam membentuk kehidupan yang baik.
Contoh, pepatah pertama, “Tajak ube lot tapak, taduk ube lot punggong; tajak beulaku linggang, tapinggang beulaku ija; tangui beulaku tuboh, tapajoh beulaku atra.” Pesan tersebut tidak mudah diterjemahkan langsung ke dalam Bahasa Indonesia, karena maknanya tidak akan tersampaikan.
“Tajak ube lot tapak, taduk ule lot punggong” kalau diterjemahkan kata demi kata menjadi, “Berjalanlah sesuai dengan ukuran telapak kaki, duduklah sesuai ukuran pantat.” Yang kedua: “Tajak beulaku linggang, tapinggang beulaku ija” yang bila diterjemahkan kata demi kata menjadi: “Berjalanlah sesuai gaya lenggang sendiri, bersarunglah sesuai keadaan kain.”
Yang ketiga, “tangui beulaku tuboh, tapajoh beulaku atra” bisa diterjemahkan menjadi “Pakailah (pakaian) sesuai ukuran tubuh, makanlah sesuai harta yang dimiliki.” Pemilihan kata “tajak” (berjalan) dan “taduk” (duduk) dalam pesan pertama sangat relevan untuk segala masa. Kedua kata kerja yang akrab dalam kehidupan setiap orang dan bermakna ajakan.
Demikian juga penggunaan kata bagian tubuh sebagai ukuran, yaitu “tapak” (telapak kaki) dan “punggong” (pantat), yang tentunya ukuran yang dimiliki setiap orang berbeda-beda. Di sini juga terdapat dimensi sosial, karena sewaktu berjalan dan duduk, seseorang kerap bersentuhan dengan orang lain.
Bersentuhan dengan orang lain berpeluang terjadinya gesekan sewaktu-waktu, mulai dari skala kecil hingga skala besar. Karena itu, sangat penting menjaga dan mengaca diri atau menggunakan hak-hak sendiri sejauh tidak mengganggu hak-hak orang lain.
Dalam pesan kedua, juga menggunakan kata “tajak” (berjalan) yang dipadukan dengan kata “tapinggang” (memakai sarung). Kata kedua (tapinggang) ini memang perlu dikonstruksi sesuai dengan budaya bersarung masyarakat Aceh di masa lalu yang kerap bersarung. Dengan demikian, sewaktu memaknakannya perlu mengingat konteks waktunya. Memakai kain sarung di masa lampau bukan hanya kebiasaan para santri dan ulama, tetapi juga masyarakat biasa di kampung.
Namun bila diterjemahkan bebas juga harus dihubungkan dengan budaya masyarakat Aceh, agar maknanya sesuai. Pesan “Tajak ube lot tapak, taduk ule lot punggong,” bisa dimaknakan sebagai pesan untuk hidup sesuai kemampuan sendiri, jangan mengambil hak-hak orang lain. Kalau berjalan harus sesuai ukuran telapak kaki sendiri, demikian juga kalau duduk, sesuai ukuran pantat, jangan mengambil lebih.
Demikian juga dengan pesan “Tajak beulaku linggang, tapinggang beulaku ija.” Dalam pesan ini terkandung makna agar kita sepatutnya menjalani hidup ini sesuai kemampuan sendiri dan menggunakan apa yang sudah mampu dimiliki, serta tidak iri pada harta yang dimiliki orang lain. Bila hidup dengan menggunakan standar kekayaan orang lain, kita tak akan bahagia. Apalagi standar kehidupan seseorang tentunya berbeda-beda. Akan selalu resah dan tak percaya diri dalam hidup ini bila tak menyenangi apa yang mampu diusahakan sendiri.
Pesan ini memang sangat sarat dan dalam maknanya untuk kehidupan seseorang. Apalagi perselisihan atau pertengkaran dalam masyarakat, sering kali dipicu oleh adanya oknum-oknum yang suka mengambil hak-hak orang lain. Termasuk hak-hak dalam berpolitik, menggunakan jalan raya, dalam berbagi harta, hak berbicara, dan lain-lain.
Pepatah kedua, “mangat bak hana tanyo.” Kalau diterjemahkan, enak rasanya di tempat kita tidak berada. Juga bisa diterjemahkan, enak rasanya di tempat orang lain berada. Pesan ini jelas menyarankan kepada kita agar kita menekuni apa yang telah kita pahami, jangan grasah-grusuh. Jangan sampai kita terperdaya dengan kebahagiaan orang lain, sehingga kita ingin berpindah ke sana.
Misalnya, saat kita menjadi dosen, merasa seolah-olah orang jualan lebih bahagia. Lalu kita ke sana untuk berjualan, meninggalkan pekerjaan lama sebagai dosen. Akibatnya, dalam pekerjaan lama kita tidak fokus, dalam pekerjaan baru pun tak mendapatkan kepuasan karena bosan juga menunggu dan melayani pembeli.
Pepatah ketiga, “Bu beule-le, eungkot beucut-cut; donya beuna, akhirat beutatuntut.” Kalau diterjemahkan secara kata per kata, pepatah tersebut bermakna “Perbanyaklah makan nasi, sedikitlah makan ikan; belajarlah ilmu dunia dan ilmu akhirat.” Bisa jadi, “Bu beulele, eungkot beucut-cut” hanyalah sampiran, tetapi memiliki makna tersendiri bila diterjemahkan.
Bisa jadi, saat itu, Aceh sedang tidak baik-baik saja; Aceh sering dilanda perang berkepanjangan, sehingga perlu berhemat dalam hidup ini, terutama dalam hal memakan ikan. Namun dalam makan nasi, itu tidak apa-apa banyak, karena rata-rata masyarakat agraris bisa menghasilkan sendiri. Namun demikian, masyarakat diharapkan untuk sangat memperhatikan upaya untuk menuntut ilmu dunia dan akhirat sekaligus.
Pepatah keempat, “meunyo hana tausaha, panee teuka rhet di manyang; meunyo na tausaha, adak han kaya hudep seunang.” Pesan ini bisa diterjemahkan menjadi “Bila tidak berusaha (untuk meraih kebutuhan hidup), mana mungkin jatuh dari langit; kalau kita telah berusaha, walaupun tidak kaya, hidup bisa senang.”
Kiranya indatu ingin berpesan agar tidak bertopang dagu dalam hidup ini. Harus ada usaha-usaha sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup dan bahkan meraih kekayaan secara halal yang terus-menerus agar meraih kebahagiaan hidup. Tugas kita adalah berusaha, Allah lah yang menentukan.
Banyak diabaikan
Masih berkaitan dengan pepatah keempat, ada pepatah kelima, “Panglima but: ibadat; panglima hareukat: meugo.” Itu bisa diterjemahkan menjadi: “Seutama-utama pekerjaan adalah ibadah kepada Allah, sedangkan seutama-utama mata pencaharian adalah bertani.” Bisa jadi pepatah itu adalah dihasilkan oleh masyarakat Aceh yang agraris pada waktu pepatah itu dibuat.
Juga tak tertutup kemungkinan bermakna bahwa pertanian adalah pekerjaan yang paling cocok untuk wilayah Aceh yang sangat subur, yang bila dilakukan dengan profesional, akan menghasilkan kemakmuran bagi masyarakat. Di samping itu, bertani juga termasuk pekerjaan yang paling sedikit kemungkinan dosanya karena tidak ada pengurangan sukatan dan sogok-menyogok seperti yang terjadi dalam bidang bisnis.
Pepatah lainnya adalah “Meunyo sulet keu pangkai, kanjai keu laba.” Maksudnya, apabila tidak jujur, kita akan bernasib memalukan atau celaka. Melalui pepatah ini, indatu ingin mengajak kita untuk senantiasa menjaga identitas kita sebagai Muslim, yaitu jujur dalam hidup ini. Silah berusaha untuk meraih kekayaan, tapi jujurlah. Bila tidak jujur, maka akan sulit meraih kebahagiaan.
Masih banyak lagi pepatah indatu yang berisi petuah hidup agar meraih kebahagiaan. Sayangnya, pepatah-pepatah yang diwariskan oleh indatu itu telah banyak diabaikan selama ini. Bukan hanya diabaikan pepatahnya, tetapi diabaikan penerapannya dalam kehidupan. Akibatnya, perbuatan berdosa terjadi di segala lini kehidupan, seperti berjualan Narkoba, sogok-menyogok dalam meraih jabatan dan proyek, dan lain-lain. Padahal dalam Islam diingatkan bahwa tidak akan diterima doa oleh Allah dari orang-orang yang makan haram.
Rotasi Birokrasi Era Disrupsi: Bukan Kursi, tapi Motivasi |
![]() |
---|
Infrastruktur Pariwisata Bernapaskan Syariat untuk Kemakmuran Aceh |
![]() |
---|
Tubuh Kurus di Tengah Piring Penuh karena Cacingan dan Ketimpangan Gizi Anak Indonesia |
![]() |
---|
Dari Meunasah ke Meja Makan, Menyatukan Sosial, Perilaku, Lingkungan, & Gizi demi Generasi Sehat |
![]() |
---|
Pemadaman Listrik Aceh: Antara Krisis Energi dan Krisis Tata Kelola |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.