Opini

Jangan Sampai Menikah di Usia Dini

Selain itu, juga menyebabkan rentannya depresi, trauma, dan stres, rentan terjadi kekerasan dalam rumah tangga, serta perceraian karena emosi yang kur

Editor: mufti
IST
Dr H Agustin Hanapi Lc, Dosen Hukum Keluarga UIN Ar-Raniry dan Anggota Ikat-Aceh 

Dr H Agustin Hanapi Lc, Dosen Hukum Keluarga UIN Ar-Raniry dan Anggota Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT-Aceh)

DISPENSASI nikah yang diajukan oleh para orang tua bagi anak-anaknya ke Mahkamah Syariah kabupaten/kota se-Aceh dalam lima tahun terakhir mencapai 2.784 perkara. (Serambi Indonesia edisi Jumat 5 Mei 2023).
Rinciannya sebagai berikut, tahun 2018 sebanyak 75 perkara, tahun 2019 sebanyak 198 perkara, 2020 sebanyak 879 perkara, 2021 sebanyak 882 perkara, dan tahun 2022 sebanyak 750 perkara.

Adapun pemicunya disebabkan karena putus sekolah, faktor ekonomi, terlanjur menjalin hubungan asmara dengan lawan jenis sehingga orang tua khawatir akan perzinaan. Data yang sungguh fantastis dan mengejutkan karena yang akan menikah  anak di bawah umur yang tidak memenuhi ambang batas usia menikah yaitu 19 tahun, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 sebagai perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Namun pemicu utama terjadinya pernikahan dini sangat dipengaruhi oleh mindset dan pola fikir serta lemahnya ketahanan keluarga, seperti kondisi keluarga yang tidak harmonis, berpisah atau bersama namun penuh konflik sehingga minim memberi perhatian kepada anak dan anak menjadi terlantar lalu terpikir bahwa menikahkannya menjadi jalan terbaik agar dia terlepas dari kondisinya sebab nantinya ada suami yang melindungi dan mengurusnya.

Kemudian seorang anak yang tidak lagi bersekolah didorong untuk menikah dengan segera agar beban orang tua berkurang dan terbebas dari tanggung jawab membiayai hidupnya. Lamaran dianggap sebagai bantuan keuangan dan anak menjadi mandiri walau kenyataannya jauh panggang dari api, malah semakin menyumbang angka kemiskinan secara masif.

Ada juga faktor lain yang sedikit unik, yakni pemahaman di luar nalar seperti yang berkembang di masyarakat seperti menganggap “pamali” (tabu) jika menolak pinangan seseorang walaupun sang anak kurang berkenan, bahkan diyakini dapat menyebabkan anak tidak akan menemukan jodohnya karena tidak akan ada lagi laki-laki yang datang melamar sehingga perempuan akan menjadi perawan tua.

Di sisi lain, ada juga tipe orang tua yang gampang menyerah dengan keadaan, jika anaknya sudah memiliki kedekatan dengan lawan jenis maka orang tua berfikir lebih baik menikahkannya saja tanpa peduli konsekuensinya. Selain itu penyebab lain yang sangat klasik dan khas pada kasus pernikahan dini ialah kehamilan di luar nikah akibat pergaulan di luar batas.

Menimbulkan mudharat

Banyaknya kasus pernikahan dini tentu sangat mengkhawatirkan karena pernikahan dini akan berdampak pada banyak aspek, seperti kesehatan dan psikologis anak. Memiliki risiko tinggi penularan penyakit seksual seperti HIV, kanker mulut rahim, kesulitan saat melahirkan, menyebabkan stunting pada anak yang dilahirkan, rentannya keguguran, rawan kematian pada ibu dan bayi.

Selain itu, juga menyebabkan rentannya depresi, trauma, dan stres, rentan terjadi kekerasan dalam rumah tangga, serta perceraian karena emosi yang kurang stabil. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah rentannya putus sekolah, sehingga dapat merugikan masa depan (terutama bagi perempuan) dan menggagalkan semua cita-cita dan harapan indahnya yang telah diimpikan semenjak kecil.

Akibat mudarat yang ditimbulkan pernikahan dini yang begitu besar, maka sangat diharapkan tindakan preventif dari semua lini untuk mencegahnya terutama dari internal keluarga. Untuk itu perlu mendorong yang memiliki otoritas dan lembaga berwenang, para dai, mubaligh, kaum cerdik pandai untuk meningkatkan sosialisasi serta mengedukasi para orang tua, wali dan keluarga, agar pernikahan dini tidak terjadi.

Dengan memasang spanduk dan iklan, menyampaikan melalui mimbar-mimbar, terjun ke sekolah-sekolah, mengoptimalkan program Gampong dengan materi ketahanan keluarga, dan lainnya bahwa pernikahan dini bukan jaminan  untuk perbaikan ekonomi keluarga. Namun justru sebaliknya membuat anak semakin terpuruk karena telah menggagalkan harapan dan masa depannya, serta sulit untuk hidup mandiri sehingga menyumbang angka kemiskinan.

Di sisi lain, dapat menimbulkan masalah baru bagi keluarga dengan rentan cekcok, KDRT bahkan dapat menyumbang angka perceraian dan penelantaran anak. Kemudian mensyiarkan tentang ketangguhan keluarga yang dapat membentengi anak-anak dari pergaulan bebas, terlebih hari ini sulit membendung pengaruh teknologi, pornografi dan sebagainya pada anak muda zaman ini. Kemudian adanya pengaruh media yang menggambarkan bahwa anak remaja sudah selayaknya memiliki pacar dan sebagainya, sehingga ke mana-mana kita melihat anak muda berboncengan, duduk berdua dengan yang bukan mahramnya, namun seolah-olah lingkungan mengamini apa yang mereka lakukan.

Di tempat rekreasi misalnya tanpa rasa malu dan aib sepasang remaja berduaan dan bermesraan tanpa mengindahkan lingkungan sekitar, bahkan di tempat umum seperti lapangan, mereka yang tanpa ada ikatan pernikahan berikhtilaf dengan lawan jenisnya tanpa ada perasaan menyalahi aturan agama dan lainnya.
Semoga para orang tua memahami bahwa pernikahan dini bukanlah solusi untuk menyelamatkan anak karena Islam menginginkan pernikahan samara sepanjang hayat, jauh dari prahara, kekerasan dan sebagainya. Kemudian diharapkan anak yang dilahirkan  berkualitas yang akan menjadi khalifah di muka bumi ini, untuk itu menikah tidak mesti diburu-buru, tetapi membutuhkan persiapan yang matang, sebagaimana hadis Rasulullah saw: “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya”.

Kata mampu dapat dimaknai sebagai kesanggupan memberi nafkah, mampu berpikir dewasa, matang jiwanya, tidak egois dan berlaku kasar. Maka yang perlu dipersiapkan adalah bekal secara fisik dan non fisik. Secara fisik telah siap untuk dibuahi dan membuahi juga kematangan organ dan fungsinya yang mumpuni, bagi perempuan hal ini dapat dicapai di usia dua puluhan tahun. Sementara non-fisik ialah kematangan jiwa, mengerti dan siap dengan tugas dan tanggung jawab sebagai suami juga istri. Kosongnya diri dari emosi yang berlebihan yang memudahkannya meninggalkan tanggung jawab serta menyakiti pasangan.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved