Kupi Beungoh

Fenomena Pengemis dan Anak Jalanan di Banda Aceh, Tanggung Jawab Siapa?

Anak-anak di Lampu Stop itu bermasalah dengan kesejahteraan sosial. Mereka adalah "kelompok rentan" atau " marginal".

Editor: Amirullah
ist
Zahratun Nur HSB, Mahasiswa Prodi Kesos FDK UIN Ar-Raniry Banda Aceh 

Oleh: Zahratun Nur HSB

Fenomena anak jalanan di Banda Aceh makin hari makin marak. Anak-anak itu ada yang menjadi peminta-minta, pengamen, bahkan berjualan buah di Lampu Stop dan café hingga larut malam.

Kita merasa prihatin karena terkesan ada pembiaran dari penyelanggara negara (eksekutif dan legislatif).

Kedua lembaga ini terkesan abai, tak ada yang mau berdiri di depan sebagai penanggungjawab atas fenomena miris yang saban hari kita tonton di ibukota berjudul Negeri Syariah Islam ini.

Menurut Titmuss (2018), kesejahteraan sosial berfokus pada penghapusan atau pengurangan kemiskinan, ketidaksetaraan sosial, dan ketidakadilan dalam masyarakat.

Sementara menurut Esping-Andersen (1990), beberapa negara memiliki sistem kesejahteraan yang kuat dengan jaminan sosial yang luas dan manfaat yang melimpah, manakala negara lain terkesan abai.

Fenomena Kemiskinan di Aceh

Tingkat kemiskinan di Indonesia sangat signifikan. Data terbaru pada September 2021, menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi, meskipun mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, pada Maret 2021, tingkat kemiskinan di Indonesia sebesar 9,66 persen.

Pemerintah Indonesia meluncurkan berbagai program dan kebijakan untuk mengurangi tingkat kemiskinan, meliputi Program Keluarga Harapan (PKH) yang memberikan bantuan tunai kepada keluarga miskin, program bantuan pangan, program jaminan kesehatan nasional (JKN), serta program pemberdayaan ekonomi dan peningkatan akses pendidikan.

Di Aceh sendiri, pada era Gubernur Irwandi Yusuf ada program pembangunan rumah dhuafa dan bantuan beasiswa sekolah untuk anak-anak fakir miskin walaupun kerap “diproyekkan” oleh oknum tertentu dengan meminta “jatah”.

Banda Aceh adalah ibu kota Provinsi Aceh. Kemiskinan di Banda Aceh perlu diatasi agar citra Serambi Mekkah tak ternoda dengan masalah-masalah sosial.

Saban hari kita menyaksikan pengemis berkeliling di seputaran Ibukota Negeri Syariat ini. Mereka keluar masuk warung kopi, café, pasar hingga datang menadahkan tangan ke mahasiswa di kampus sekalipun.

Fenomena Anak Jalanan di Banda Aceh

Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan: Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun. Usia di bawah 18 tahun mereka tidak dibolehkan menjadi pencari nafkah. Mereka harus duduk di bangku sekolah agar terwujud generasi cerdas.

Ini sejalan dengan kebijakan negara tentang wajar (wajib belajar) 12 tahun. Anak-anak di bangku SD Negeri (MIN), SMP Negeri (MTsN) hingga SMA Negeri (MAN/SMKN) digratiskan dari iuran bulanan sekolah.

Kebijakan pemerintah adalah anak-anak Indonesia wajib belajar selama 12 tahun. Tidak boleh ada alasan tidak ada biaya karena pemerintah telah menggratiskan wajar 12 tahun di sekolah milik pemerintah.

Akan tetapi, kita menyaksikan bahwa di Banda Aceh juga terdapat sejumlah anak yang ikut menjadi pengemis, pengamen dan penjaja buah dalam genggaman di lampu-lampu stop dalam kota.

Miris sekali kita lihat mereka. Dalam observasi yang saya lakukan di Lampu Stop Simpang BPKB Lambhuk, ada anak perempuan dengan memakai baju setengah lusuh menggedor pintu mobil untuk menjaja buah-buah (timun), pada saat teman seusia dia sedang belajar atau bermain dengan rekan sebaya di TPQ (Tempat Pengajian Al-Quran) atau tempat kursus.

Anak-anak di Lampu Stop itu bermasalah dengan kesejahteraan sosial. Mereka adalah "kelompok rentan" atau " marginal". Istilah ini digunakan untuk menggambarkan individu atau kelompok masyarakat yang menghadapi tantangan dalam mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi yang memadai.

Kelompok rentan dapat meliputi mereka yang mengalami kemiskinan, pengangguran, disabilitas, migran, tunawisma, korban kekerasan, anak jalanan, atau individu yang terpinggirkan secara sosial.

Mereka seringkali menghadapi keterbatasan akses terhadap sumber daya, pendidikan, pekerjaan, perumahan, layanan kesehatan, dan perlindungan sosial.

Penting untuk memperhatikan dan memahami tantangan yang dihadapi oleh kelompok rentan ini, serta berupaya untuk memberikan dukungan, pemberdayaan, dan perlindungan yang sesuai guna meningkatkan kesejahteraan mereka.

Selain melakukan observasi, saya juga melakukan interview (wawancara) dengan seorang anak pedagang buah di Banda Aceh. Sebut saja namanya Indah Nian. Gadis cilik ini berusia sekitar 6 tahun. Dalam amatan saya, Indah Nian adalah gadis cantik andai dia terlahir dari keluarga berada.

“Dengan memakai baju alakadar saja gadis mungil ini tampak cantik sekali. Apalagi kalau dia memakai seragam sekolah atau baju pesta ya,” kata dosen kami dalam MK Academic Writing, Hasan Basri M Nur, tatkala saya memperlihatkan foto Indah Nian bersama saya kepadanya di kelas beberapa hari lalu.

Jualan Hingga Larut Malam

Saya sendiri terkesan dengan keberanian dan dedikasi Indah Nian. Gadis ini mengaku berasal dari Perumnas Ujong Batee Aceh Besar, dan merupakan siswa kelas 1 SD di sekolah setempat.

Indah Nian mengaku memulai usahanya menjual buah sejak jam 4 sore hingga tengah malam. Ditemani oleh ibunya, Indah Nian turun dari kendaraan dan mulai menjelajahi kafe dan warung kopi di Kawasan Lampineung Banda Aceh, selain di Lampu Stop.

Dengan penuh semangat, ia menawarkan buah-buahannya satu per satu kepada pelanggan di setiap meja, dengan harga Rp 10 ribu per cup.

Sungguh luar biasa melihat bagaimana seorang anak kecil dengan tekun dan gigih berusaha untuk menghasilkan uang demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

“Seandainya Indah Nian belajar di Fakultas Ekonomi, kala besar dia pasti akan menjadi pengusaha sukses,” gumam batin saya.

Dalam kasus Indah Nian, ia menghadapi keterbatasan akses pendidikan dan waktu bermain karena harus bekerja mencari nafkah sebagai penjual buah di usia dini, 6 tahun.

Keterlibatannya dalam pekerjaan ini juga dapat mengarah pada beban fisik dan mental yang berlebihan, serta mempengaruhi kesehatan dan perkembangan sosial-emosionalnya pada masa hadapan. Kondisi seperti itu dapat menjadi contoh dari ketimpangan dan ketidaksetaraan dalam kesejahteraan sosial anak-anak.

Anak-anak yang terlibat dalam pekerjaan sering kali menghadapi risiko eksploitasi, penyalahgunaan, dan terhambatnya hak-hak mereka untuk pendidikan, kesehatan, dan perlindungan. Padahal unsur-unsur ini adalah bagian Maqasid Syariah (tujuan Syariat Islam).

Fenomena yang dialami Indah lebih parah daripada kontroversi pengusiran bank konvensional di Aceh. Sepertinya permasalahan yang dihadapi Indah Nian ini luput dari pandangan aktivis, profesor ICMI, politisi dan pemerintah sendiri. Ini sangat memilukan.

Dalam konteks kesejahteraan sosial anak-anak, penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dan melindungi hak-hak anak.

Hal ini melibatkan upaya untuk mengatasi kemiskinan, meningkatkan akses pendidikan yang inklusif, memberikan perlindungan sosial yang memadai, dan mengeliminasi bentuk-bentuk pekerjaan anak yang berbahaya.

Kesejahteraan sosial pada anak sangat penting karena masa kanak-kanak adalah periode kritis dalam pembentukan individu dan menentukan perkembangan mereka di masa depan. Fondasi yang diletakkan pada masa ini akan berdampak pada seluruh kehidupan mereka.

Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang aman, stabil, dan memberikan perhatian yang memadai akan memiliki peluang yang lebih baik untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.

Kesejahteraan sosial yang baik pada anak melibatkan pemenuhan kebutuhan dasar, seperti makanan, air bersih, pakaian, dan perumahan yang layak, serta akses yang memadai terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi.

Selain itu, kesejahteraan sosial yang baik juga mencakup pengasuhan yang baik, ikatan emosional yang kuat dengan orang dewasa yang merawat, dan kesempatan untuk bermain, bereksplorasi, dan belajar di lingkungan yang aman.

Dengan mendukung kesejahteraan sosial anak, kita memberikan mereka kesempatan terbaik untuk mengembangkan potensi mereka, memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan, serta menjadi anggota masyarakat yang aktif, produktif, dan bahagia di masa depan.

Indah adalah seorang anak yang patut diacungi jempol atas ketekunan, keberanian, dan semangatnya dalam menghadapi tantangan. Meskipun usianya masih sangat muda, dia telah menunjukkan dedikasi yang luar biasa.

Keberanian dan ketekunan Amera patut diapresiasi, karena dia berusaha untuk membantu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan keluarganya. Pantas untuk menghormati dan memberikan penghargaan kepada Indah.

Indah mengaku ayahnya adalah seorang nelayan tradisional. Pemeritah Aceh, terutama Baitul Mal dan Bank Aceh Syariah, perlu memikirkan program pemberdayaan ekonomi umat untuk ayah dari Indah Nian agar putri kecilnya tak lagi berjualan buah hingga larut malam.

Sementara untuk Indah sendiri pemerintah perlu menyediakan beasiswa agar dia dapat belajar fokus di bangku SD, kemudian lanjut sekolah boarding (sejenis pesantren terpadu) hingga tamat SLTA dan dapat kuliah di PTN yang dipilih sesuai dengan bakat dan minat Indah Nian.

Ayo! Pejabat Pemerintah Banda Aceh dan Pemerintah Provinsi Aceh, berbuatlah dengan aksi dalam mewujudkan kesejahteraan sosial dan Maqasid Syariah untuk umat, belum terlambat. Semoga!


Banda Aceh, 07 Juni 2023

*Penulis adalah Zahratun Nur HSB, Mahasiswa Prodi Kesos FDK UIN Ar-Raniry Banda Aceh

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DISINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved