Jurnalisme Warga

Tren ‘Flexing’ dan Motivasi Psikologis Pelaku dalam Kajian Literasi

Terutama sejak terjadinya kasus yang melibatkan keluarga dari oknum Dirjen Pajak dan kemudian disusul dengan beberapa keluarga pejabat yang gemar mema

Editor: mufti
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
SYARIFAH AINI, pegiat literasi Forum Lingkar Pena Aceh, blogger, serta mentor menulis dan jurnalistik di Dayah Pesantren Baitul Arqam, Sibreh, melaporkan dari Sibreh, Aceh Besar 

SYARIFAH AINI, pegiat literasi Forum Lingkar Pena Aceh, blogger, serta mentor menulis dan jurnalistik di Dayah Pesantren Baitul Arqam, Sibreh, melaporkan dari Sibreh, Aceh Besar

Istilah ‘flexing’ tiba-tiba saja menjadi trending di media sosial dan menjadi akrab di telinga berbagai kalangan. Terutama sejak terjadinya kasus yang melibatkan keluarga dari oknum Dirjen Pajak dan kemudian disusul dengan beberapa keluarga pejabat yang gemar memamerkan kekayaan dan atribut lainnya, hingga membuat fenomena flexing semakin mendapat sorotan publik.

Menurut teori psikoanalisis Freud, perilaku manusia yang kompleks dipengaruhi oleh interaksi antara kesadaran dan ketidaksadaran. Dalam konteks seseorang yang suka pamer (flexing), psikoanalisis dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang motif dan dinamika psikologis yang mendasari perilaku tersebut.

Dalam psikoanalisis, flexing dapat dipahami sebagai bentuk manifestasi dari beberapa konsep yang relevan, seperti ego, id, superego, dan mekanisme pertahanan. Ego mewakili aspek diri yang sadar dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan individu dalam cara yang realistis dan sosial. Id mewakili aspek ketidaksadaran yang didorong oleh dorongan-dorongan naluriah dan kepuasan instan. Superego mewakili konsep internalisasi norma-norma dan nilai-nilai masyarakat.

Manusia yang suka pamer mungkin memiliki ego yang lemah atau tidak memadai. Mereka mungkin merasa tidak aman atau tidak puas dengan citra diri mereka yang sebenarnya. Untuk mengatasi ketidakamanan ini, mereka menggunakan mekanisme pertahanan, seperti proyeksi, untuk memindahkan perasaan negatif mereka ke orang lain. Dengan memamerkan prestasi, kekayaan, atau atribut yang dianggap positif lainnya, mereka mencoba untuk meningkatkan rasa harga diri mereka dan mendapatkan pengakuan dan penerimaan dari orang lain.

Selain itu, dorongan-dorongan id yang kuat juga dapat memainkan peran penting dalam perilaku ini. Seseorang yang suka pamer mungkin memiliki kebutuhan yang tidak terpuaskan untuk pengakuan, pujian, atau perhatian. Mereka mencari pemenuhan instan dari keinginan ini melalui pamer dengan harapan mendapatkan perhatian dan pengakuan sosial.

Psikoanalisis juga memperhatikan faktor-faktor masa lalu dalam memahami perilaku seseorang. Misalnya, seseorang yang tumbuh dalam lingkungan di mana mereka sering diekspos dengan nilai-nilai materi dan kesuksesan eksternal mungkin mengembangkan dorongan yang kuat untuk pamer. Faktor-faktor seperti kurangnya kasih sayang atau perhatian di masa kecil juga dapat memengaruhi pengembangan perilaku ini sebagai mekanisme untuk mengatasi kekurangan emosional.

Setiap individu memiliki latar belakang dan motivasi unik dalam kaitannya dengan kebiasaan flexing. Literasi dapat menjadi salah satu upaya pencegahan dalam berperilaku flexing dengan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang konsekuensi dan dampak negatif dari perilaku tersebut.

Literasi, khususnya literasi psikologis, memberikan pemahaman yang lebih baik tentang konsep-konsep psikoanalisis dan dinamika psikologis yang mendasari perilaku suka pamer. Dengan memahami konsep-konsep seperti ego, id, superego, dan mekanisme pertahanan, individu yang terlibat dalam perilaku suka pamer dapat memperoleh wawasan tentang motivasi dan faktor-faktor psikologis yang mungkin berkontribusi pada perilaku mereka.

Dengan literasi, individu dapat mulai mengenali motif dan dorongan psikologis yang mendasari perilaku pamer mereka. Hal ini memungkinkan mereka untuk mempertanyakan alasan di balik perilaku tersebut dan mempertimbangkan alternatif yang lebih sehat dan memuaskan.

Melalui literasi, informasi tentang perilaku suka pamer dan pendekatan psikoanalisis dapat disebarkan secara lebih luas dalam masyarakat. Program penyuluhan atau pendidikan yang mencakup pengetahuan psikologis dan psikoanalisis dapat membantu meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang perilaku tersebut. Hal ini dapat membantu masyarakat untuk mengenali dan menghadapi perilaku suka pamer secara lebih efektif.

Literasi dapat memperkaya pemahaman kita tentang psikoanalisis dan membantu individu yang terlibat dalam perilaku suka pamer untuk mengenali motivasi dan dinamika psikologis yang mendasarinya. Literasi juga berkontribusi pada upaya peningkatan kesadaran diri, mencari perawatan yang tepat, dan memperluas pemahaman masyarakat tentang suatu masalah, termasuk perilaku suka pamer.

Selain itu, literasi memberikan akses kepada individu untuk mempelajari dan memahami nilai-nilai yang sebenarnya penting dalam kehidupan, seperti integritas, kerja keras, kerendahan hati, dan rasa empati. Melalui literasi, individu dapat memperoleh wawasan tentang pentingnya membangun jati diri yang kuat melalui prestasi nyata dan kontribusi positif kepada masyarakat daripada bergantung pada pameran materi atau pencapaian yang dangkal.

Literasi membantu individu memahami dampak sosial dari perilaku flexing. Dengan mempelajari dan membaca tentang berbagai kasus dan cerita terkait flexing, individu menjadi lebih sadar akan konsekuensi negatif yang mungkin timbul, seperti memicu rasa iri atau kecemburuan pada orang lain, menciptakan ketidakseimbangan sosial atau merusak hubungan interpersonal. Dengan pemahaman ini, individu cenderung lebih berhati-hati dan bertanggung jawab dalam perilaku mereka.

Literasi media sosial memungkinkan individu untuk mengembangkan pemahaman yang kritis terhadap platform tersebut. Dengan pemahaman tentang bagaimana konten diproduksi, disebarluaskan, dan dikonsumsi di media sosial, individu dapat mengidentifikasi manipulasi, pembentukan citra palsu, atau pencitraan yang berlebihan yang sering kali terkait dengan flexing. Ini membantu individu mempertahankan sikap skeptis dan tidak terjebak dalam tekanan sosial untuk terlibat dalam flexing.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved