Jurnalisme Warga

Meuramien di Eks Zona 1 Konflik Aceh

Tingkat kepedulian ini pula menjadikan saya tertarik dan merasa sangat puas berkunjung ke Krueng Kareung Gla.

Editor: mufti
IST
MUHAMMAD, Dosen Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki), Direktur Pesantren Mahasiswa Jami’ah Kebangsaan, dan Anggota FAMe Chapter Uniki, Bireuen, melaporkan dari Jiem-Jiem, Pidie Jaya 

MUHAMMAD, Dosen  Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki), Direktur Pesantren Mahasiswa Jami’ah Kebangsaan, dan Anggota FAMe Chapter Uniki, Bireuen, melaporkan dari Jiem-Jiem, Pidie Jaya

'Meuramien' merupakan istilah umum yang digunakan masyarakat Aceh untuk berkumpul dan memasak bersama-masa di suatu tempat, misalnya di pantai, pinggir sawah, dan pinggir sungai.

Sejak penandatangan nota kesepahaman (MoU) damai antara Pemerintah Republik Indonesia (Pemri) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005, konflik bersenjata di Aceh pun berakhir setelah 29 tahun berkecamuk.

Selanjutnya, Aceh terus berkembang dengan kekhasannya di semua aspek, termasuk di bidang pariwisata. Antara lain, ditandai dengan munculnya lokasi-lokasi wisata alam baru yang masih asri dan digemari oleh masyarakat.

Pidie Jaya pun terus berbenah di bidang infrastruktur dengan membuka akses-akses jalan yang dulunya terputus dan tidak dapat dilalui akibat konflik. Kini masyarakat Pidie Jaya dengan mudah melakukan aktivitas pertanian dan lainnya di lokasi potensial yang dulu menjadi wilayah rawan, bahkan tergolong zona 1 konflik Aceh, seperti Lhok Pu'uk, Cubo, dan sekitarnya.

Dari kemudahan akses tersebut lahirlah ide-ide masyarakat wilayah Panteu Breuh untuk memanfaatkan keasrian Krueng (Sungai) Kareung Gla, Desa Panteu Breuh, Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya, sebagai lokasi favorit wisata alam di Pidie Jaya saat ini.

Sejenak mengingat ke sejarah kelam masa lalu, wilayah Lhok Pu'uk, Cubo (Jiem-Jiem) dan perbatasan Blang Broe merupakan wilayah paling berbahaya pada masa Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh (1990-1998). Namun, di wilayah tersebut juga tersimpan banyak potensi alam, pegunungan yang indah dan sungai dengan keasriannya yang belum terjamah tangan manusia. Sebagaimana disampaikan oleh Zulfikar, Sekretaris Desa Lhok Pu'uk, ke tiga wilayah tersebut tidak sembarang orang bisa masuk pada masa DOM karena wilayahnya  sangat berbahaya (riskan).

Menanggapi kondisi masa lalu tersebut, kini wajah Jiem-Jiem (wilayah Panteu Breuh) yang dulunya menyeramkan sekarang menjadi idaman dan tujuan kunjungan masyarakat Pidie Jaya dan sekitarnya, baik untuk sekadar bertamasya ataupun 'meuramien' bersama keluarga masing-masing.

Lokasi 'meuramien' di wilayah tersebut terdapat beberapa titik. Hanya saja sampai saat ini Krueng Kareung Gla masih menjadi favorit masyarakat Pidie Jaya. Selain safety, wisata Krueng Kareung Gla juga sudah dikelola oleh masyarakat setempat dengan menyediakan tempat lesehan, rangkang (pondok wisata) yang dilengkapi dengan makanan ringan yang terjangkau kantong masyarakat yang berkunjung.

Wisatawan yang berkunjung ke Krueng Kareung Gla tidak hanya dari Pidie Jaya, beberapa di antaranya dari luar Kabupaten Pidie Jaya. Bagi pengunjung dari luar Pidie Jaya secara khusus mereka berziarah ke makam almarhum Teungku Abdullah Syafi’i (Panglima Gerakan Aceh Merdeka) yang masih berada di wilayah yang sama.

Selesai ziarah mereka biasanya mencari lokasi istirahat sebelum pulang. Nah, masyarakat setempat merekomendasikan Krueng Kareung Gla sebagai lokasi untuk rehat sambil menikmati keindahan alam yang masih asri dan air sungainya yang bening lagi sejuk.

Kepada pengunjung juga tersedia makanan, tempat lesehan, dan rangkang yang luas agar bisa rebahan sambil menikmati suasana alam.

Wisata alam yang paling dicari wisatawan adalah jaminan ‘safety’ di lokasi wisata untuk anak-anaknya. Nah, wisata Krueng Kareung Gla ini memenuhi dua kriteria di atas: akses yang sudah memadai dan ‘safety’ untuk lokasi pemandian anak-anak juga sangat direkomendasikan.

Krueng Kareung Gla dibentuk oleh alam sehingga ada titik air yang kedalamannya sekitar 1 meter, ada pula lebih di titik tertentu. Namun, pengelola hanya membolehkan pengunjung mandi di lokasi yang ditentukan demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Di lokasi yang sama terdapat juga aliran air yang dangkal dan bersih sekitar 20 cm dan bisa digunakan untuk anak-anak di bawah umur atau bagi mereka yang belum bisa berenang.

Di objek wisata Krueng Kareung Gla tidak ada penjaga khusus seperti pada pantai-pantai di kota besar. Pedagang sekaligus menjadi pengelola di lokasi tersebut.

Uniknya wisata alam di pelosok adalah rasa sosial atau kepedulian sesama pengunjung masih sangat tinggi. Masyarakat yang sudah berpengalaman tanpa diminta  akan memberitahukan lokasi-lokasi dan titik yang cocok untuk pengunjung yang membawa anak-anak maupun lansia. Saling tutur sapa meskipun tak saling kenal, berbagi makanan, bahkan saling menasihati untuk tidak membuang sampah ke sungai, kerap dilakoni para pengunjung.

Sejauh yang saya amati, tak ada satu pun yang merasa marah atau tersinggung dengan teguran maupun nasihat yang diberikan pengunjung maupun pengelola.

Tingkat kepedulian ini pula menjadikan saya tertarik dan merasa sangat puas berkunjung ke Krueng Kareung Gla.

Selain ramah lingkungan dan ‘safety’ yang baik, wisata Krueng Kareung Gla juga sangat ramah kantong. Pengunjung hanya membayar uang parkir. Untuk roda empat Rp10.000 dan roda dua Rp5.000. Harga yang dibayarkan juga setimpal dengan keamanan kendaraan yang terjamin dan serius dijaga selama berada di lokasi wisata. Pengunjung diperbolehkan pula membawa makanan dari rumah untuk dimakan bersama-sama dengan keluarga di pinggir sungai dengan tetap memperhatikan keasrian lingkungan dan tidak membuang sisa makanan  ke sungai.

Bagi pengunjung yang ingin duduk lesehan atau di rangkang tak perlu membayar lebih, hanya memesan makanan ringan seperti kopi, jus, dan makanan ringan lainnya sesuai selera.

Wisata alam Krueng Kareung Gla ini terbuka untuk umum, dibuka setiap hari kecuali pada hari Jumat.

Sementara itu, bagi masyarakat yang menyukai keramaian direkomendasikan untuk berkunjung pada hari libur seperti Sabtu dan Minggu. Adapun hari libur nasional seperti Lebaran, wisata Krueng Kareung Gla dibuka mulai Lebaran kedua sampai seterusnya dengan total pengunjung mencapai ribuan orang. Rata-rata pengunjung adalah keluarga dengan membawa anggota keluarganya masing-masing.

Keunikan lain dari wisata Krueng Kareung Gla sebagaimana disampaikan salah seorang pengunjung, Cubo dan Jiem-Jiem ini sejak dari kecil familier di telinga masyarakat Pidie Jaya dan sekitarnya, bukan karena daya tarik wisatanya, melainkan justru karena zona 1 konflik Aceh.

Maklum, di kawasan ini sering terjadi kontak senjata, bahkan Teungku Abdullah Syafi'i pun tertembak dalam sebuah penyergapan pasukan TNI di kawasan Jiem-Jiem ini pada 22 Januari 2002.

Jadi, mendengar nama Jiem-Jiem saat itu kerap membuat orang takut dan ngeri.

Tapi itu dulu. Sekarang sudah damai, makanya warga leluasa berkunjung dan ingin melihat wilayah Cubo, Jiem-Jiem, dan sekitarnya tanpa merasa takut lagi.

"Sesampai di sini terbayar semua kekhawatiran kami selama ini, ternyata begitu indah ciptaan Allah dan terima kasih untuk para syuhada yang sudah gugur mempertahankan marwah Aceh," ujar sang pengunjung .

Melalui reportase ini, sebagai putra daerah Pidie Jaya (Lhok Pu'uk), kami berharap Pemkab Pidie Jaya terus memperhatikan dan merawat objek wisata kecil, menengah, maupun besar agar masyarakat dapat menikmati keasrian alam Aceh yang ditinggalkan oleh leluhur kita dengan menjaganya secara bersama-sama. muhammadromy72@gmail.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved