Opini

Syariat Inklusif

Dalam konteks itulah, menurutnya, pemerintah "mengayun"masyarakat, termasuk untuk menutupi kekurangan pemerintah dalam menegakkan syariat Islam di tub

Editor: mufti
For Serambinews.com
Saifuddin A Rasyid, Akademisi/Kepala Pusat Kerohanian dan Moderasi Beragama UIN Ar-Raniry tinggal di Darusalam, Banda Aceh 

Saifuddin A Rasyid, Akademisi/Kepala Pusat Kerohanian dan Moderasi Beragama UIN Ar-Raniry tinggal di Darusalam, Banda Aceh

OPINI Khairil Miswar dengan tajuk "Syariat Islam Dalam 'Ayunan' Penguasa", Serambi 27 Muharram 1445/14 Agustus 2023, tajam. Tajam ke atas. Sangat lugas, di sekujur tulisan itu pembaca dapat menemukan benang merah bahwa syariat yang “dimainkan” kata penulisnya, adalah dalam konteks frasa politik. Bukan syariat produk Ilahi yang sakral. Dalam konteks itulah, menurutnya, pemerintah "mengayun"masyarakat, termasuk untuk menutupi kekurangan pemerintah dalam menegakkan syariat Islam di tubuh birokrasi.

Untuk tujuan evaluasi tahapan penegakan syariat Islam di Aceh, bila tidak berhenti pada dikotomisasi antara pemerintah dan rakyat, tulisan Khairil tersebut tidak bernilai kontra-produktif. Karena pemerintah adalah rakyat. Begitu juga sebaliknya.

Menganalogikan pendekatan politik etis kolonial Belanda yang dijalankan Snouck Hurgronje dulu ke dalam konstelasi hubungan pemerintah dan rakyat saat ini, di Aceh, termasuk kurang cermat. Karena Snouck adalah orientalis yang di-assign khusus oleh pemerintah kolonial untuk menggali strategi melanggengkan kolonialisasi di nusantara. Khususnya di Aceh. Yang semangat perlawanan rakyat kala itu terus menerus hidup. Sementara tidak seperti itu yang saat ini kita hadapi.

Baca juga: Syariat Islam dalam Ayunan Penguasa

Keputusan menjalankan syariat Islam dalam kehidupan sosial di Aceh bukanlah keputusan pemerintah semata. Tetapi keputusan rakyat yang diakomodir pemerintah. Jadi tidak ada “ayun” dalam konteks ini. Yang diputuskan bersama itu adalah legalisasi terhadap nilai lokal (wisdom) yang pada hakikatnya telah terus-menerus tegak dalam masyarakat Aceh, menjadi hukum positif yang memiliki kekuatan formal.
Jadi platform ini yang terjadi adalah sinergi antara energi positif masyarakat dengan otoritas administrasi yang dimiliki negara, dalam hal pemerintah. Karenanya, mendikotomikan antara keduanya dalam hal ini cenderung merupakan upaya untuk menemukan logika yang berbeda.

Proses edukasi

Tidak jarang kita dengar komentar yang cenderung “menyudutkan” penerapan syariat Islam di Aceh. Baik itu dilakukan oleh akademisi, pengamat, bahkan praktisi. Cambuk, misalnya. Sering kali orang mengasosiasikan syariat Islam hanya dengan cambuk, dan atau mungkin potong tangan.

Padahal penegakan syariat Islam diyakini oleh bahkan yang tidak ahli syariat, tidak sebatas itu. Meskipun pada sisi lain orang meyakini nilai positif dari cambuk dan potong tangan itu. Di antaranya untuk menimbulkan efek jera.

Profesor Soraya Devi, akademisi UIN Ar-Raniry, dalam satu diskusi menyebutkan bahwa beliau menemukan komunitas nonmuslim dari negara Eropa bahkan ada yang meminta dicambuk ala hukum Islam ketimbang penjara untuk melepaskan dirinya dari eksekusi hukuman. Karena penjara bagi komunitas itu adalah hukuman yang menimbulkan penderitaan dimana mereka harus berpisah dari keluarga untuk waktu tertentu. Siapa yang menafkahi mereka? Yang melindungi mereka?
Diperlukan waktu dan kesabaran untuk proses pembelajaran dalam bidang syariat Islam itu. Untuk menapaki tahap demi tahap, bab per bab penerapan syariat Islam itu. Tentu setiap pihak sepakat bahwa hal itu tidak dapat dilakukan secara simsalabim.

Baca juga: Terbitkan Surat, Pj Gubernur Aceh Minta Warung Kopi Tutup Sebelum Pukul 00.00 WIB

Mengenai qanun LKS Nomor 11 tahun 2018, adalah contoh ketidaksabaran yang nyata telah terjadi di sini. Satu tahun sejak penerapan qanun itu dilakukan, Januari 2022, sudah langsung terjadi tarik menarik yang sangat gencar, setelah pemerintah Aceh pada Desember tahun itu juga menargetkan qanun itu direvisi. Timbul kegaduhan yang amat dahsyat. Seakan bumi ini telah meledak.

Padahal revisi adalah satu proses evaluasi. Yaitu evaluasi terhadap kekurangan untuk penyempurnaan. Agar qanun itu secara perlahan menemukan momentum yang sejalan dengan tujuan qanun itu dibuat.
Banyak energi yang keluar untuk isu revisi qanun itu. Bahkan pada tahap tertentu sudah cenderung destruktif. Pasalnya adalah revisi diusung untuk mengembalikan bank konvensional yang belum setahun hengkang dari Aceh. Secara gamblang di situ terlihat bahwa kegaduhan itu tidak seluruhnya disebabkan faktor syariat. Lebih ada faktor bisnis dan politik di situ. Pada tahap ini Khairil Miswar benar.

Yang hilang di situ adalah harapan akan kesempurnaan dan kesabaran untuk mengikuti tahapan dan proses edukasi. Padahal pada proses edukasi itu pasti dapat ditemukan jejak dan spirit serta ilham penerapan syariat itu dari pengalaman legacy sejarah sebelumnya.

 

Ustaz Masrul Aidi (seorang ulama muda, pendakwah toleran), dalam FGD Pembangunan Ekonomi dan Keuangan Syariah di Aceh Melalui Spirit Moderasi Beragama di UIN Ar-Raniry 9 Agustus 2023 lalu, menyatakan saat itu kita tergesa-gesa membuat keputusan “mengusir” bank konvensional dari Aceh, karena keinginan kita untuk menerapkan Qanun LKS. Tetapi sekarang kita kembali tergesa-gesa ingin meralatnya. Yang ditekankan beliau adalah proses edukasi. Hal ini seakan mencerminkan segala hal dapat dilakukan seperti membalik telapak tangan.

Diperlukan pentahapan, kesabaran, dan proses pembelajaran. Begitu pula ketika kita perlu merevisi qanun itu atau produk hukum lainnya, perlu perlahan. Jalan perlahan ini juga syariat, sejalan dengan pendekatan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved