Citizen Reporter
Bangkok: Modern, Klasik, dan Bersahabat
Modern, di kota ini sangat mudah kita temui taksi mobil-mobil bermerek seperti Pajero, Hyundai, dan lain-lain, serta mudahnya mendapatkan layanan mass

HARRI SANTOSO, S.Psi., M.Ed., Dosen Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry dan Direktur TPA Inklusi Al Basmah, melaporkan dari Bangkok, Thailand
Beberapa minggu lalu, tepatnya tanggal 7-11 Agustus 2023, saya mendapat undangan dari ASEAN University Human Right Education untuk mengikuti pelatihan Annual Regional Lecturer Workshop on Teaching Peace: Developing Knowledge and Skills on Peace and Transformative Peacebuilding.
Tuan rumah kegiatan ini adalah Mahidol University Bangkok, Thailand. Kegiatan seyogianya dilakukan di Kampus Mahidol University, tetapi karena hotel milik kampus tersebut masih dalam proses renovasi, maka kegiatan dialihkan di Ibis Riverside Hotel, hotel bintang 4 yang terletak di sekitaran Sungai Chao Paraya, Bangkok. Pada pagi hari pemandangan hotel disuguhi hilir mudik kapal-kapal pengangkut barang dan pada sore hingga malam hilir mudik kapal wisata yang membawa para wisatawan lokal dan mancanegara. Mereka menikmati makanan di atas kapal-kapal berukuran sedang sambil menikmati suasana Kota Bangkok dari aliran sungai yang mengalir di tengah-tengah kota ini.
Peserta kegiatan ini merupakan dosen-dosen pengajar hukum, hak asasi manusia, dan perdamaian di kampus-kampus di beberapa negara ASEAN seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Myanmar.
Dari Indonesia ada tujuh peserta. Di antaranya dari UIN Ar-raniry, Universitas Islam International Indonesia, Universitas Indonesia, UIN Walisongo Semarang, Universitas Mataram, Universitas Pelita Harapan, dan Universitas Negeri Surabaya. Adapun pengajar-pengajar dalam kegiatan ini, antara lain, berasal dari Universiti Sains of Malaysia dan Universitas Pertahanan Indonesia. Kegiatan yang berlangsung selama lima hari terasa cukup padat, mulai dari pukul 9 pagi hingga 6 sore, sehingga nyaris jika saya tidak memaksakan diri untuk keluar di malam hari, maka tidak akan dapat menikmati ramah dan amannya Kota Bangkok di saat malam.
Judul reportase ini tercetus manakala rekan saya dari UIN Walisongo Semarang bertanya apa kesan saya tentang Bangkok dalam tiga kata. Maka tercetuslah tiga kata di atas, yaitu modern, klasik, dan bersahabat.
Modern, di kota ini sangat mudah kita temui taksi mobil-mobil bermerek seperti Pajero, Hyundai, dan lain-lain, serta mudahnya mendapatkan layanan mass rapid transportation (MRT).
Klasik, meski mereka memiliki moda transportasi modern yang saya sebutkan di atas, mode transportasi jadul juga sangat mudah dijumpai di kota ini, seperti 'tuk-tuk', bus tua dengan kondisi yang prima, dan tidak sakit-sakitan yang sangat menarik bagi para wisatawan. Hal yang paling mengesankan, meskipun banyak mal kelas atas di kota ini, pada saat yang sama juga tersedia pedagang kaki lima di setiap mal tersebut. Keberadaan mereka tertata rapi sehingga menjadi pilihan bagi para pengunjung jika memiliki uang banyak dapat berbelanja di dalam mal. Namun, jika uang terbatas, cukup berbelanja di kaki lima saja yang suasananya juga tidak kalah dengan mal. Bersahabat, kesan bersahabat yang saya dapatkan adalah dari para sopir taksi. Meskipun tidak punya kemampuan bahasa Inggris yang memadai, mereka memanfaatkan teknologi Google translate dalam berkomunikasi dengan saya. Yang paling penting, selama enam hari di Bangkok saya merasakan tidak ada harga-harga yang melonjak karena kita wisatawan asing.
Hal yang menarik jika kita ingin mengambil pelajaran dari Kota Bangkok dan kita melihat dari Kota Banda Aceh, menurut saya, adalah keklasikan kota tersebut. Meskipun kota ini hadir dengan kecanggihan teknologi terkini dalam sistem transportasi, tetapi mereka masih tetap mempertahankan 'tuk-tuk' dan bus-bus tua yang ada. Hal ini berbeda dengan Kota Banda Aceh dan mungkin kota-kota lainnya di Indonesia, munculnya Bus Transkoetaradja beberapa tahun terakhir telah menggerus keberadaan angkutan tradisional seperti labi-labi dan becak.
Menurut saya, Transkoetaradja adalah moda angkutan baru yang 100 persen keberadaannya ditanggung oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah mulai dari armada, sopir hingga bahan bakarnya sehingga tidak heran sampai hari ini angkutan ini masih gratis.
Sementara angkutan tradisional seperti labi-labi dan becak adalah angkutan milik masyarakat yang sama sekali tidak mendapatkan pembinaan dari pemerintah baik pusat, apalagi daerah. Kedua angkutan milik masyarakat ini dipaksa untuk bertahan hidup dengan jargon-jargon lebih kreatif, tetapi pada saat yang sama pemerintah tidak berusaha membina dan mempertahankan mereka sebagai suatu ikon keunikan dan keklasikan Kota Banda Aceh. Sering kali kita tergagap-gagap dengan perkembangan teknologi yang ada dan kemudian melupakan teknologi yang pernah ada di beberapa waktu lalu. Padahal, jika kita mampu mempertahankannya hal ini akan menjadi kekhasan dan keunikan kota tersebut. Demikian citizen reporter yang dapat saya laporkan dari Bangkok, semoga bisa menjadi pelajaran yang baik bagi kita semua.
Citizen Reporter
Penulis Citizen Reporter
Bangkok Modern Klasik dan Bersahabat
Bangkok
HARRI SANTOSO
Aplikasi 'Too Good To Go' Upaya Belgia Kurangi Limbah Makanan |
![]() |
---|
Kisah Sungai yang Jadi Nadi Kehidupan di Kuala Lumpur |
![]() |
---|
Mengelola Kehidupan Melalui Kematian: Studi Lapangan Manajemen Budaya di Londa, Toraja |
![]() |
---|
Saat Penulis Sastra Wanita 5 Negara Berhimpun di Melaka |
![]() |
---|
Saat Mahasiswi UIN Ar-Raniry Jadi Sukarelawan Literasi untuk Anak Singapura |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.