Opini
Babak Baru Menuju Keadilan Kasus Imam Masykur
KASUS penyiksaan dan pembunuhan menimpa Imam Masykur yang dilakukan oknum anggota TNI telah memasuki babak baru.
Iskandar Usman Al Farlaky SHi MSi, Ketua Komisi 1 DPR Aceh
KASUS penyiksaan dan pembunuhan menimpa Imam Masykur yang dilakukan oknum anggota TNI telah memasuki babak baru. Kasus itu viral, akibat video dan foto penyiksaan beredar di seluruh lini media sosial. Kasus ini pun kemudian mendapat atensi publik secara nasional, bukan hanya di Provinsi Aceh. Danpuspom TNI kemudian merilis empat nama pelaku, tiga di antaranya militer dan satu orang sipil.
Kita patut memberi apresiasi kepada Pomdam Jaya yang secara cepat merespons dan menangkap si pelaku. Aksi penculikan, perampokan, pemerasan yang berujung pembunuhan terhadap almarhum Imam Masykur bukanlah agenda penyiksaan biasa. Pelakunya tiga prajurit pertahanan negara, masih muda dan aktif. Sejenak bisa dibayangkan, bagaimana berdayanya mesin pembunuh itu, efeknya tubuh korban penuh luka, bekas penyiksaan.
Setelah dilaporkan hilang beberapa hari, jasad Imam Masykur kemudian ditemukan di Waduk Jatiluhur, Purwakarta. Penyiksaan dan pembunuhan berencana yang dialami almarhum Imam Masykur menambah daftar panjang jumlah korban kasus penyiksaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh prajurit. TNI di luar tugas dan tanggung jawabnya sebagai bagian tidak bisa dipisahkan dari institusi keamanan negara.
Imam Masykur merupakan masyarakat sipil, warga Aceh yang sedang mencari nafkah di Jakarta. Murka publik terhadap pelaku adalah reaksi alamiah, terutama orang Aceh sebagai masyarakat yang hidup di daerah konflik senjata berkepanjangan. Praktik penyiksaan seperti ini masih sangat segar dalam ingatan. Meskipun perdamaian sudah berlangsung 18 tahun. Bedanya adalah jika penculikan, penyiksaan dan pembunuhan bahkan jika dipertontonkan ke publik, pada masa konflik, demi keamanan diri masyarakat harus diam.
Sekarang situasinya berbeda. Meskipun rasa takut untuk berbicara tetap tidak dapat dihindari. Apalagi pelakunya alat negara, namun peluang ancaman cukup kecil, dan tidak sebrutal yang terjadi pada masa konflik. Faktor pendukung lainnya bahwa kasus tersebut sudah menyita perhatian publik. Kesempatan inilah yang kemudian menjadi cara di era digital untuk mencapai keadilan, termasuk untuk kasus kematian Imam Masykur.
Hukuman untuk pelaku
Pembunuhan sadis yang menimpa Imam Masykur terus menjadi perhatian publik sampai saat ini. Jika di awal munculnya kasus ini, publik mendorong kepastian penegakan hukum terhadap para pelaku untuk segera ditangkap dan ditahan. Masyarakat dan tokoh publik belum berhenti menaruh perhatian terhadap kasus ini, guna memastikan pelaku dihukum seberatnya.
Pelaku diharapkan mendapat hukuman sesuai dengan harapan masyarakat. Ini juga sejalan dengan Pernyataan Kepala Staf Angkatan Darat (sindonews.com Selasa 5 September 2023), secara terbuka meminta agar pelaku dihukum seberat-beratnya. Dengan nada yang lebih tegas, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono (Tempo.com, 28 Agustus 2023) juga menjawab kegundahan publik.
Menurutnya ketiga pelaku bisa mendapatkan hukuman maksimal, hukuman mati atau minimal penjara seumur hidup.
Pernyataan Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Darat tersebut adalah jawaban atas harapan banyak orang. Terutama bagi orang tua dan keluarga korban atas perbuatan keji yang menimpa anaknya. Apalagi perbuatan itu dilakukan oleh angkatan bersenjata, yang bahkan dalam kondisi konflik senjata, hukum universal tentang kemanusian, tawanan perang sekalipun tidak boleh diperlakukan seperti itu.
Meskipun komitmennya demikian, yang perlu dipahami “pernyataan” bukanlah hukum, bahkan diucapkan oleh seseorang dengan jabatan setinggi apa pun. Karena panglima hukum adalah hukum itu sendiri. Terhadap pelaku ternyata dijerat dengan pasal 351 ayat (3), yaitu penganiayaan yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia dengan ancaman paling lama tujuh tahun penjara, seperti yang disampaikan oleh Pengacara keluarga korban (Selasa, 5 September 2023). Jika pelaku hanya diproses dengan pasal 351 ayat (3), maka hukuman maksimal yang dapat didakwakan untuk para pelaku hanya tujuh tahun penjara.
Konsekuensi logis dari konsensus bahwa hukum adalah panglimanya, maka hukuman yang dapat dijatuhkan kepada para pelaku, harus berdasarkan hukum yang berlaku. Pertanyaan kemudian yang muncul adalah, apakah ada hukuman yang lebih berat dari ancaman maksimal tujuh tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP? Untuk menjawab pertanyaan ini, yang paling penting diperhatikan jenis perbuatan, alat yang digunakan, bagaimana cara melakukan dan termasuk siapa pelakunya.
Untuk kasus yang menimpa Imam Masykur terdapat serangkaian modus operandi; penculikan, pemerasan, pengancaman, penganiayaan, dan pembunuhan, dengan tujuan pemerasan dan perampasan harta milik korban. Dan yang paling penting juga dalam kasus ini adalah pelakunya, anggota TNI yang masih aktif, sebagai alat negara, para pelaku yang cukup memiliki keberdayaannya untuk melakukan atau tidak melakukan itu. Selanjutnya jika dilihat dari niat, cara dan tujuan penyiksaan serta pembunuhannya, maka para pelaku memiliki niat dan berencana untuk melakukan itu, bahkan patut diduga pembunuhan itu telah direncanakan.
Karena kehendak kejahatan para pelaku tidak mampu dipenuhi oleh korban dan atau keluarganya. Dari serangkaian peristiwa kejahatan yang direncanakan oleh pelaku, yang kemudian menghilangkan nyawa dan berupaya untuk menghilangkan jejak dengan membuang jasad korban. Maka menetapkan pasal berlapis merupakan cara yang lebih tepat diberlakukan untuk menghukum para pelaku, yaitu selain pasal 351 ayat (3), kepada para pelaku juga dapat dijerat dengan Pasal 340 KUHP “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.