Breaking News

Opini

Pengikisan Adat Susila Orang Aceh

ngkapan ‘hukom ngon adat lage zat ngon sifeut’ menjadi petunjuk bahwa karakter orang Aceh merupakan akumulasi daripada budaya dan nilai agama.

Editor: mufti
IST
Adnan, Dosen IAIN Lhokseumawe dan Pengurus Majelis Adat Aceh Lhokseumawe 

Adnan, Dosen IAIN Lhokseumawe dan Pengurus Majelis Adat Aceh Lhokseumawe

ORANG Aceh merupakan manusia berkarakter dan berbudaya yang berlandaskan kepada nilai-nilai agama (islamic of values). Nilai budaya dan agama melekat tanpa sekat pada diri setiap orang Aceh masa lalu. Ungkapan ‘hukom ngon adat lage zat ngon sifeut’ menjadi petunjuk bahwa karakter orang Aceh merupakan akumulasi daripada budaya dan nilai agama.

Mestinya, nilai-nilai luhur ini terus lestari dan melekat pada diri setiap orang Aceh lintas zaman. Tapi, munculnya ragam patologis sosial, semisal begal, tawuran, perundungan, kejahatan maya, etos belajar rendah, menjadi dalil pengikisan karakter luhur orang Aceh masa kini, terutama di kalangan remaja dan pemuda Aceh.

Secara empiris, pengikisan karakter orang Aceh dapat diamati dari pengabaian terhadap adat susila keacehan dalam pergaulan sosial. Orang Aceh sebagai pribadi yang santun, pemaaf, berbahasa sopan, dermawan, dan menghormati orang lain, menjadi kasar, beringas, dan individualis.

Sebab itu, paradoks dalam perilaku ini perlu menjadi perhatian semua pihak, baik orang tua, agamawan, para pendidik, budayawan, maupun pemerintah terkait, agar berperan secara intensif dan masif dalam membumikan adat susila orang Aceh. Baik lingkungan keluarga, pendidikan, maupun sosial, sehingga perilaku orang Aceh masa kini mewarisi adat susila orang Aceh masa lalu.

Ironisnya, pengabaian adat susila orang Aceh ini juga merambah ke media sosial, semisal aplikasi Tiktok. Semestinya aplikasi Tiktok dapat digunakan oleh orang Aceh masa kini sebagai media informasi, edukasi, hiburan, dan membangun jaringan dunia global. Tapi, kini beberapa oknum pengguna media Tiktok asal Aceh cenderung menggunakannya untuk mengisi konten negatif yang melanggar adat susila keacehan hanya demi memperoleh popularitas/ viral semata.

Di sinilah pentingnya edukasi kepada para pengguna aplikasi medsos agar menggunakan media sosial untuk kepentingan positif dan konstruktif, serta menjaga adat susila keacehan dalam berinteraksi dan berkomunikasi di media sosial.

Penguatan adat susila

Beberapa penguatan adat susila orang Aceh dalam ‘hadih madja’ yang mesti menjadi jati diri orang Aceh masa kini, di antaranya: Pertama, adab dalam bertutur. Bahasa seseorang itu cerminan dari latar belakang budaya dan karakter diri. Artinya, adab dalam bertutur menunjukkan karakter diri seseorang. Jika seseorang bertutur dengan sopan dan beradab, maka itu menunjukkan karakter dirinya yang mulia dan berperadaban tinggi.

Sebaliknya, jika ia bertutur dengan kasar dan dusta, pun menunjukkan karakter dirinya yang buruk dan hipokrit. Maka, cara bertutur menjadi indikator untuk mengenali karakter diri seseorang dalam pergaulan dan interaksi sosial.

Adab bertutur orang Aceh tercermin dalam sebuah ‘hadih madja’ berikut: “ureung geumat bak nariet, leumo geumat bak taloe” (orang dipegang pada bicaranya, sapi dipegang pada talinya). Ini menunjukkan bahwa, orang Aceh memiliki adab susila dalam berbicara, sebab pembicaraannya akan diamati oleh orang lain.

Dalam praktiknya ditemukan tingkatan orang Aceh dalam berbicara, meliputi: tingkatan ‘kah-kee’, yakni indikasi tingginya keakuan dan egoisme diri dalam bertutur, tingkatan ‘ulon’, yakni indikasi hilangnya keakuan dan egoisme diri dalam bertutur, dan tingkatan ‘ulontuan’, yakni indikasi adanya kebijaksanaan dan rendah hati dalam bertutur, berupa selalu menempatkan orang lain lebih mulia, terhormat, dan terpuji dalam pergaulan.

Secara teologis, Alquran menyebut 9 (sembilan) macam adab bertutur yang tercermin pada karakter diri orang Aceh sebagai pribadi yang berbudaya dan beragama, meliputi: bertutur yang baik sesuai norma dan adat masyarakat setempat (qaulan ma’rufa), bertutur yang jujur, benar, lurus, tidak berbelit (qaulan sadida), bertutur yang lembut, halus, lunak, tidak menyakiti (qaulan layyina), bertutur yang mudah dan gampang dipahami (qaulan maysura), bertutur yang menyentuh (qaulan baligha), bertutur dengan penuh tata karma (qaulan karima), bertutur dengan penuh nilai filosofis dan makna (qaulan tsaqila), bertutur secara terbaik (ahsanu qaulan), dan bertutur terlarang dan mengandung dosa besar yang mesti dihindari (qaulan ‘adhiman).

Kedua, adab dalam pergaulan pertemanan. Orang Aceh masa lalu juga mengajarkan adab dalam lingkungan pertemanan/ sebaya, agar hubungan itu membawa kepada kebaikan dan azas kemanfaatan. Maka, memilih teman itu menjadi penting dan urgen dalam pergaulan. Artinya, tidak semua orang dapat menjadi teman dalam kehidupan. Banyak orang hidupnya terarah disebabkan motivasi lingkungan pertemanan. Pun, banyak orang yang terjerumus dalam perilaku destruktif dan amoral disebabkan oleh lingkungan sebaya. Di sinilah pentingnya adab dalam memilih teman/ kawan agar hubungan itu tidak berdampak buruk pada karakter diri.

Lebih lanjut, adab dalam pertemanan ini tercermin dalam sebuah ‘hadi madja’ berikut: “bak ie raya bek ta then apeh, bak ie tireh bek ta then bube, bek ta meurakan ngon si paleh, hareuta abeh geutanyoe male” (pada air banjir jangan dipasang jang, pada air bocor jangan dipasang bubu, jangan berkawan dengan orang jahat, harta habis kita jadi malu). Imam Ghazali menyebut tiga perumpamaan tipe teman dalam pergaulan, yakni umpama makanan (ghaza’), bermakna diperlukan setiap saat, yakni teman berilmu, umpama obat (dawa’), bermakan hanya diperlukan di kala sakit saja dan tidak setiap saat, serta umpama penyakit (da’), bermakna kawan buruk yang mesti dihindari laksana tidak suka kepada penyakit.

Ketiga, adab dalam bekerja. Secara historis, orang Aceh itu memiliki etos belajar, kerja dan jihad yang tinggi. Ini tercermin pada beberapa ‘hadih madja’ berikut: “meunyo ek ta ayon ngon ta antok, lam bak jok jiteubit nira” (jika mau mengayun dan mengantuk-antuk, dalam batang Enau keluar nira), meugrak jaro, mumet gigoe (bergerak tangan, berantuk gigi), sara tajak-jak tamita situek, sara taduek-duek tacop keu tima (sambil jalan-jalan mencari upih, sambil duduk-duduk membuat timba), dan juga ungkapan “tuah ngen ta gagah, raseuki ngen ta ilah (tuah dengan keuletan, rezeki dengan berupaya). ‘Hadih madja’ ini memberikan penegasan bahwa, orang Aceh itu mesti memiliki etos kerja tinggi. Maka, orang Aceh masa kini harus produktif bukan konsumtif, rajin bukan pemalas dalam bekerja.

Keempat, adab dalam kehidupan sosial. Orang Aceh itu enggan mencampuri urusan orang lain. Ia menjadi pribadi yang peduli kepada sesama, tapi tidak mau mencampuri urusan privat individu lain dalam kehidupan sosial. Ini tercermin dalam ‘hadih madja’ berikut: “bak buet gob bek ta peuduli, bah meuseuki ureung teuka” (urusan orang jangan peduli, meski ia pendatang), “alee digop leusong digop, geutanyoe meutob pu kareuna” (antan di orang lesung di orang, kita bertikam apa sebabnya), “gop kap capli geutanyoe keueung, gob nyang madeung gata mita lha” (orang makan cabai kita yang pedas, orang yang berdiang kita yang cari kayu bakar).

Beginilah adat susila orang Aceh dalam kehidupan sosial sehingga antarmereka lahir suasana guyub dan harmonis. Sebab itu, adat susila orang Aceh sebagai sumber tata kesopanan yang berbasis kearifan lokal (local wisdom) mesti disosialisasikan kepada orang Aceh masa kini, terutama remaja dan pemuda Aceh. Agar, nilai-nilai moral yang sudah berlaku dalam kehidupan orang Aceh dapat diinternalisasikan kembali pada masa kini, baik di alam nyata (tatap muka) maupun maya (media sosial).

Dari sini diharapkan orang Aceh masa kini akan kembali menjadi pribadi yang pemaaf, santun dalam bertutur, berbudaya dalam bertindak, dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dalam berperilaku. Semoga!

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved