Citizen Reporter
Hati Tergetar di Tuol Sleng Genocide Museum Kamboja
Setiap negara memiliki sejarahnya sendiri dan di antara kisah-kisah gemilang, terdapat juga cerita kelam dan memilukan, seperti halnya di Kamboja.
FAISAL, S.T., Kepala SMKN 1 Julok, Ketua IGI Aceh Timur, dan Tim Pengembang IT GTK Disdik Aceh, melaporkan dari Phnom Penh, Kamboja
Setiap negara memiliki sejarahnya sendiri dan di antara kisah-kisah gemilang, terdapat juga cerita kelam dan memilukan, seperti halnya di Kamboja.
Salah satu tempat yang menjadi saksi bisu dari sejarah kelam bangsa di negeri ini adalah Tuol Sleng Genocide Museum di Kamboja.
Terletak di ibu kota Kamboja, Phnom Penh, museum ini mengabadikan peristiwa mengerikan yang terjadi selama pemerintahan Khmer Rouge atau Khmer Merah. Museum ini adalah suatu bentuk peringatan untuk peristiwa-peristiwa interogasi dan penahanan yang dialami oleh lebih dari 12.000 warga Kamboja selama masa kekuasaan rezim mengerikan ini.
Museum ini tidak hanya tentang mengingat sejarah, tetapi juga untuk menyebarkan pesan perdamaian di tengah-tengah penderitaan yang tidak terlupakan.
Tuol Sleng Genocide Museum, menurut situs resminya, menjadi tempat di mana para korban disiksa, diinterogasi, dan ditahan oleh Khmer Rouge.
Museum ini berusaha untuk menyampaikan pesan kedamaian dan mengingatkan dunia akan kengerian masa lalu agar peristiwa semacam ini tidak terulang lagi.
Museum ini buka setiap hari mulai pukul 08.00 hingga 17.00. Warga Kamboja yang ingin mengunjungi museum ini dapat melakukannya tanpa biaya masuk, sedangkan wisatawan internasional dikenai biaya tiket masuk sekitar USD 3 hingga USD 5 atau sekitar Rp40.000 hingga Rp70.000.
Untuk memberikan panduan kepada pengunjung, museum ini menyediakan pemandu langsung di lokasi serta panduan audio.
Tuol Sleng dulunya adalah Sekolah Menengah Atas Tuol Svay Prey. Pada masa pemerintahan rezim Khmer Merah, area sekolah ini yang terdiri atas empat gedung bertingkat tiga diubah menjadi Penjara Keamanan 21, tempat para tahanan diinterogasi.
Gedung-gedung ini diberi nama A, B, C, dan D, dan semuanya menyimpan kisah kelam tentang kekejaman yang dilakukan oleh rezim Pol Pot.
Pada Agustus 1975, empat bulan setelah Khmer Merah berhasil mengambil alih kekuasaan dalam perang saudara, kompleks sekolah ini diubah menjadi pusat penahanan dan interogasi.
Setelah melalui sesi interogasi, para tahanan akan dipindahkan ke sel massal yang besar dan bersama-sama, dengan para tahanan terikat menggunakan potongan batang besi yang panjang.
Mereka tidur dengan kepala menghadap arah yang berlawanan, tanpa ada tikar, kelambu, atau selimut sebagai alas tidur.
Mereka dilarang berkomunikasi satu sama lain di penjara. Hari-hari mereka dimulai pada pukul 04.30 pagi saat tahanan diminta melepaskan pakaian mereka untuk pemeriksaan.
Penjaga melakukan pemeriksaan memastikan bahwa jeratan tidak longgar dan mencari benda-benda tersembunyi yang dapat digunakan untuk bunuh diri.
Seiring berjalannya waktu, beberapa tahanan berhasil mengakhiri hidup mereka sendiri sehingga penjaga menjadi sangat berhati-hati dalam memeriksa jeratan dan sel.
Hampir setiap kegiatan harus mendapatkan persetujuan dari penjaga penjara. Terkadang, tahanan dipaksa untuk makan kotoran dan minum urine mereka sendiri.
Kondisi yang tidak higienis di penjara menyebabkan berbagai penyakit kulit, kutu, ruam, dan masalah kesehatan lainnya.
Staf medis yang ada bertugas hanya untuk menjaga tahanan agar tetap hidup setelah mengalami luka-luka selama interogasi.
Ketika tahanan dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain untuk diinterogasi, wajah mereka harus ditutup. Baik penjaga maupun tahanan dilarang berbicara selama proses tersebut.
Di dalam penjara, kontak antara kelompok yang berbeda dilarang.
Penjara darurat Tuol Sleng menerapkan peraturan yang sangat ketat dan penganiayaan berat akan dijatuhkan kepada tahanan yang melanggar aturan tersebut.
Setelah berganti nama menjadi "Penjara Keamanan 21" atau "Kompleks S-21," penyesuaian struktur dimulai.
Bangunan dikelilingi dengan kawat berduri dialiri listrik, ruang kelas diubah menjadi sel-sel kecil yang dibatasi dinding beton dan ruang penyiksaan. Semua jendela ditutupi dengan jeruji besi dan kawat berduri untuk mencegah tahanan lari.
Derita Korban di S-21
Tempat ini memiliki lima bangunan yang menghadap ke halaman berumput. Ruang interogasi dirancang dengan sederhana, hanya dilengkapi dengan meja dan kursi sekolah menghadap tempat tidur besi yang terbelenggu di setiap ujungnya.
Namun, ketidakmanusiaan penyiksaan yang dilakukan di tempat ini jelas terasa. Korban-korban disiksa dengan brutalitas yang tak terbayangkan, seperti: dipukuli, dicabuti kuku, dan disetrum.
Di bangunan lain, terdapat tembok khusus yang dipenuhi dengan foto ribuan penghuni S-21.
Setiap korban memiliki nomor yang diukir pada otot dada mereka, menandakan urutan masuk ke S-21.
Foto-foto ini menggambarkan penderitaan mendalam, dari anak-anak hingga lansia.
Tidak ada yang luput dari kekejaman ini. Siapa saja yang dianggap mencurigakan bisa ditangkap dan disiksa.
Dari 12.000 orang yang ditahan di S-21, hanya 15 yang berhasil selamat. Dua di antara mereka, Chum Mey dan Bou Meng, masih hidup hingga sekarang.
Keduanya telah berbagi pengalaman traumatis mereka melalui memoar yang dijual seharga USD 10 atau sekitar Rp140.000 per buku.
Chum Mey bekerja sebagai mekanik untuk Khmer Rouge dan pada 28 Oktober 1978, ia tiba-tiba diculik dan dibawa ke S-21 tanpa alasan yang jelas.
Di dalam sana, ia mengalami siksaan berat secara fisik dan mental. Ia bahkan tidak tahu mengapa dirinya ditahan. Dia akhirnya mengakui hal-hal yang tidak benar karena tidak tahan disiksa.
Hal serupa dialami oleh Bou Meng yang dibiarkan hidup berkat keahliannya dalam melukis. Dia juga mengaku sebagai bagian dari CIA untuk menghentikan penyiksaan yang dialaminya. Meskipun berhasil selamat, kenangan kelam masa lalu masih menghantuinya.
Pelajaran dari masa lalu
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membantu Kamboja dalam membentuk pengadilan khusus yang dikenal sebagai The Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC).
Meskipun pengadilan ini menghadapi kritik, baik dari dalam maupun luar negeri, karena tidak semua pelaku diadili, ECCC tetap dianggap sebagai langkah menuju keadilan.
Sayangnya, pemimpin Khmer Rouge, Pol Pot, keburu meninggal sebelum diadili. Meskipun demikian, upaya ini mengingatkan kita akan perlunya memastikan bahwa kejahatan kemanusiaan tidak luput dari hukuman.
Selain itu, masyarakat Kamboja dan dunia berusaha membantu pemulihan korban dan keluarganya.
Langkah-langkah seperti pendokumentasian, layanan psikologis, dan pemulihan kebudayaan dilakukan untuk membantu mereka yang masih merasakan dampak traumatis peristiwa di S-21.
Tuol Sleng Genocide Museum bukan sekadar tempat sejarah, tetapi juga pengingat akan bahaya dan konsekuensi dari kekuasaan yang otoriter dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sungguh, nurani saya bergetar hebat saat berada di museum ini.
Melalui peringatan ini, kita diingatkan untuk menghormati nilai-nilai kemanusiaan, menjaga perdamaian, dan mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan.
Museum ini berdiri sebagai saksi bisu yang menuntun kita untuk memastikan bahwa sejarah kelam seperti ini tidak akan terulang kembali di Kamboja lain.
Aplikasi 'Too Good To Go' Upaya Belgia Kurangi Limbah Makanan |
![]() |
---|
Kisah Sungai yang Jadi Nadi Kehidupan di Kuala Lumpur |
![]() |
---|
Mengelola Kehidupan Melalui Kematian: Studi Lapangan Manajemen Budaya di Londa, Toraja |
![]() |
---|
Saat Penulis Sastra Wanita 5 Negara Berhimpun di Melaka |
![]() |
---|
Saat Mahasiswi UIN Ar-Raniry Jadi Sukarelawan Literasi untuk Anak Singapura |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.