Citizen Reporter

Pesiar dari Penang hingga ke Kuala Lumpur

Penang sebuah pulau kecil, tetapi kami sangat kagum melihatnya. Walaupun pulaunya kecil, Penang punya banyak gedung pencakar langit. Kehidupan masyara

Editor: mufti
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Dr. MURNI, S.Pd,I., M.Pd., warga Kota Banda Aceh, melaporkan dari Kuala Lumpur, Malaysia 

Dr. MURNI, S.Pd,I., M.Pd., warga Kota Banda Aceh, melaporkan dari Kuala Lumpur, Malaysia

Minggu, 11 September 2023, saya bersama suami (Syahril SPd, MAg) berangkat ke Penang, Malaysia, melalui Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda (Bandara SIM). Bandara yang pernah mendapatkan predikat Bandara Terbaik Dunia untuk Wisatawan Halal di Dunia Halal Tourism Awards Paris 2016 ini terlihat ramai seperti biasanya.

Setelah ‘check-in’ dan pemeriksaan paspor, KTP, dan kelengkapan administrasi lainnya, pukul 08.30 WIB kami berangkat dengan maskapai Firefly Airlines. Maskapai ini memiliki beberapa keunggulan, di antaranya, untuk penerbangan jarak dekat disediakan makanan ringan dan air mineral untuk penumpang,  terbang tepat waktu, nyaman, dan gratis kursi roda untuk penerbangan Banda Aceh-Penang.

Alhamdulillah, pukul 10.50 MYT (waktu Malaysia) kami tiba di Bandara Internasional Penang. Bandara ini terletak 16 kilometer dari Georgetown, ibu kota Pulau Pinang. Di sana sudah menunggu Bu Riza bersama suaminya untuk menjemput dan mengantar kami ke Sun Stone Hotel, tempat kami menginap selama di Penang.

Saat mengobrol di dalam mobilnya, ternyata suami Bu Riza  berasal dari Aceh dan sudah tinggal di Penang sejak 1985 atau selama 38 tahun.

Penang sebuah pulau kecil, tetapi kami sangat kagum melihatnya. Walaupun pulaunya kecil, Penang punya banyak gedung pencakar langit. Kehidupan masyarakatnya pun makmur.

Keesokannya, Senin, kami berjalan santai menuju Rumah Sakit Lam Wah Ee (Lam Wah Ee Hospital) untuk pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh (general medical check-up).

Dua hari menghabiskan waktu di Penang, pada hari ketiga, Selasa pukul 10.00 MYT  kami diantar Bu Riza dan suaminya menuju Terminal Bus Sungai Nibong. Setelah mendaftar secara online dan membayar 80 ringgit Malaysia, tepat pukul 11.00 MYT kami berangkat dari Terminal Bus Sungai Nibong, Penang, menuju Kuala Lumpur, ibu kota  Malaysia.

Selama dalam perjalanan dari Penang, kami terus mengamati pemandangan kota melalui jendela kaca bus. Jujur, kami terkagum-kagum melihat kondisi negara tetangga kita ini yang sangat maju dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi.

Lalu, tidak habis-habisnya selama dalam perjalanan kami bersyukur kepada Allah Swt atas nikmat yang Allah berikan kepada kami saat bus yang kami tumpangi melintasi jalan tol yang membelah lautan Penang.

Jembatan yang resmi dibuka pada tahun 2014 tersebut menghubungkan daratan utama Malaysia dengan Pulau Penang. Jembatan Sultan Abdul Halim Muadzam atau yang disebut juga Penang Second Bridge ini memilik panjang 24 km dengan 16,9 km lintasannya berada di atas air.

Hebatnya lagi, jembatan dua jalur yang juga merupakan jalan tol ini berbentuk S dan dirancang untuk tahan gempa hingga 7,5 skala Richter.

Selain itu, jembatan ini juga mengurangi kemacetan lalu lintas. Kecepatan maksimal kendaraan bermotor saat melintas di jembatan ini adalah 80 km/jam.

Saat melintas di atas jembatan, suami mengatakan kepada saya bahwa jangan lupa berdoa, mengucapkan puji syukur kepada Allah atas nikmat yang berlimpah ruah yang telah diberikan-Nya kepada kita.

Dalam perjalanan dari Penang menuju Kuala Lumpur kami sangat bahagia sembari menikmati indahnya alam Malaysia seperti gedung-gedung yang tinggi, pepohonan yang hijau, dan jalan lurus yang di gunung pun tetap lurus, tanpa berkelok-kelok.

Tepat pukul 17.00 MYT kami tiba di Kuala Lumpur, lalu kami naik taksi menuju hotel tempat kami menginap, Hotel Putra Muda di kawasan Chow Kit, Kuala Lumpur.

Di kawasan Chow Kit ternyata banyak warga asal Aceh yang merantau. Mereka umumnya berdagang buah-buahan, kelontong (kedai runcit), membuka warung nasi, jual martabak dan mi Aceh, dan sebagainya.

Pada malam harinya, kami berkenalan dengan dua orang Pidie yang taukenya sudah 15 tahun berdomisili di Kuala Lumpur. Mereka jualan buah-buahan yang berada di persimpangan atau 50 meter dari hotel kami menginap.

Menurutnya, selama berjualan buah setiap harinya laris manis dan meraup keuntungan hampir 10 juta rupiah per hari. Saya membeli 2 kg anggur hijau berukuran besar. Rasanya sangat manis dan tidak berbiji. Belum pernah kami makan anggur seperti itu. Kios mereka buka selama 24 jam.

Setelah mengobrol lebih kurang setengah jam, kami bergerak ke warung nasi Bang Bas, asal Pidie. Kata si penjual buah maupun warga Melayu, nasi di situ sangat enak. Karena penasaran, kami pun bergegas ke sana. Maklum, perut sudah keroncongan.

Setiba di warung nasi Bang Bas ternyata benar. Ramai pelanggan yang sedang makan malam. Kami pun memesan dua piring nasi dan lauk-pauk khas  Pidie. Setelah membaca basmallah, kami bersantap. Benar saja, kuah tumis ikan tuna berempah, pedas, asam, dan harum terasa lezat di lidah.

Kata pelayan di situ yang asal Mila, Pidie, Bang Bas si pemilik warung nasi sudah lebih 30 tahun tinggal dan berjualan di kawasan Chow Kit ini.

Pada hari Rabu pukul 09.00 MYT kami berkunjung ke Kuala Lumpur City Centre dan Taman KLCC. Kedua tempat ini berada di tengah kota, di kaki Menara Kembar Petronas (Petronas Twin Tower) yang monumental itu.

Menara kembar ini pernah menjadi bangunan tertinggi di dunia pada tahun 1998-2004. Saat berada di KLCC, kami ditemani Rubben, pemuda asal Sri Lanka yang sudah menjadi warga negara Malaysia.

Lalu kami menuju ke taman indah yang di tengahnya dibangun danau buatan. Semburan air pancur semakin menambah keindahan taman. Terdapat pula sebuah jembatan sepanjang 43 meter yang melintasi danau sehingga memudahkan pengunjung menikmati pemandangan taman dan menara.

Taman ini menjadi tempat istirahat yang populer untuk menghindar dari hiruk pikuk kota, baik bagi warga setempat maupun wisatawan dunia.

Pada saat itu, kami bertemu dengan lima pemuda berasal dari India yang sedang berlibur. Lalu saya bertanya, “Can you speak English?” “Nehi,” jawab pemuda itu. Akhirnya kami memintanya untuk mengambil dokumentasi foto dengan menggunakan bahasa tubuh.

Siang hari kami pun bergegas kembali ke hotel untuk mandi, shalat, makan, dan tidur siang.

Kamis, 14 September pukul 02.00 MYT dengan menumpang taksi kami berangkat menuju Bandara Udara Internasional Kuala Lumpur atau Kuala Lumpur International Airport (KLIA). KLIA terbagi menjadi dua terminal. Kami harus memilih dan menuju ke KLIA Terminal 2 dengan menumpang AirAsia terbang kembali ke Aceh.

Menurut informasi, KLIA Terminal 1 dan 2 merupakan salah satu bandara tersibuk keempat di Asia Tenggara. Lokasinya berada di Sepang, Selangor, Kuala Lumpur, sekitar 60 kilometer (50 menit) dari pusat Kota Kuala Lumpur.

Akhirnya, Kamis, 14 September pukul 17.05 MYT kami terbang kembali ke Aceh dan tiba dengan selamat pukul 17.25 WIB di Bandara SIM Blangbintang, Aceh Besar.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved