Kupi Beungoh
Pengungsi Rohingya, Tolak atau Terima?
etnis Rohingya memilih keluar dari Myanmar karena ada konflik kekerasan yang memicu munculnya perlawanan sipil termasuk perlawanan dari etnis Rohingya
Oleh: Risman Rachman*)
Warga Rohingya tiba lagi di Aceh. Merujuk berita media ini, ada sekitar 139 orang etnis Rohingya, Myanmar mendarat di pantai Desa Ie Meulee, Kecamatan Sukajaya, Kota Sabang, Aceh, Sabtu (2/12/2023).
Sebelumnya, Selasa (21/11/2023) dari atas kapal kayu sebanyak 219 pemgungsi Rohingya juga diberitakan pernah mendarat di Pantai Ujung Kareung, Kota Sabang yang kemudian dibawa ke tempat penampungan di Kota Lhokseumawe.
Bedanya, jika pada 2015 - 2020 warga Aceh antusias menyambut dan membantu warga Rohingya selama berada di Aceh, kini warga justru kedatangan warga menolak membantu seperti dameski tetap bersedia menolong saat mendarat.
Bahkan, melalui berbagai platform media ada yang menyuarakan untuk menolak kapal-kapal yang berisi pengungsi Rohingya. Tidak hanya itu, ada juga yang menyuarakan untuk menolak UNHCR.
Baca juga: Cerita Rohingya Terdampar di Sabang, Harus Bayar Baru Boleh Naik Kapal, Ada 6 Kapal Lagi di Laut
Suara-suara penolakan juga tidak lagi sebatas alasan karena faktor perilaku satu dua warga pengungsi yang tidak sesuai dengan adat dan syariat setempat, tapi sudah berkembang pada dugaan-dugaan yang sifatnya politis, bahkan muncul pula telaah konspirasi.
Misalnya, jika warga Rohingya dibiarkan maka mereka akan berlaku kasar kepada warga Aceh.
Ada juga yang menduga akan meminta hak-hak layaknya warga negara, bahkan ada yang mengira akan bernasib seperti Palestina yang dijajah Israel, yang awalnya mereka terima ketika banyak negara di dunia menolak dan membantai mereka.
Merujuk keadaan politik di Myanmar, etnis Rohingya memilih keluar dari Myanmar karena ada konflik kekerasan yang memicu munculnya perlawanan sipil, termasuk perlawanan dari etnis Rohingya.
Etnis Rohingya melawan karena mereka tidak diakui sebagai warga negara.
Negara yang dikomandoi oleh Junta Militer dilaporkan oleh Human Rights Watch melakukan tindakan agresi terhadap muslim Rohingya.
Tidak hanya itu, pendekatan keras oleh Pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya memicu munculnya kelompok perlawanan Rohingya Arakan sehingga eskalasi kekerasan semakin meningkat.
Baca juga: VIDEO BREAKING NEWS: Seratusan Pengungsi Rohingya Terdampar Lagi di Sabang
Perlawanan terhadap rezim di Myanmar bukan hanya datang dari etnis Rohingya saja. Berbagai perlawanan sipil juga terjadi kepada Junta Militer Myanmar.
Keadaan pengungsi Rohingya makin diperparah karena Mekanisme ASEAN yang sangat kaku tidak memungkinkan komunitas ASEAN untuk menekan Myanmar agar mengakui etnis Rohingya sehingga dapat segera dilakukan tindakan repatriasi.
Sementara negara-negara ASEAN juga belum memiliki mekanisme hukum untuk menanggani pengungsi secara jelas dan tegas.
Dari seluruh anggota ASEAN, baru Kamboja, Filipina dan Timor Leste yang menjadi negara pihak Konvensi 1951 tentang Pengungsi.
Dan, kepentingan politik global terhadap sektor Migas yang ada disekitar Rakhine misalnya, semakin membuat etnis Rohingya terpinggirkan dari perhatian negara-negara maju dan kuat.
Mereka jadi setengah hati menekan Junta Militer yang juga berkepentingan terhadap Migas di sekitar Rakhine.
Dengan tingkatan konflik semacam itu, sudah barangtentu ada warga Rohingya yang memilih untuk mengungsi ke luar Myanmar guna mencari keselamatah diri dan keluarga.
Jadilah mereka manusia perahu yang terdampar diberbagai negara.
Baca juga: Polda Aceh Sebut Imigran Rohingya Sengaja Diselundupkan ke Aceh, Indikasi TPPO belum Ditemukan
Bagi warga Aceh, pengungsian dan pencarian suaka politik ke berbagai negara lain bukanlah sesuatu yang asing.
Dahulu, ketika Aceh Utara dijadikan ladang untuk eksploitasi Migas juga menimbulkan konflik keras yang memicu pengungsian dan pelarian yang membutuhkan jasa UNHCR.
Perlu diingat, sikap Aceh yang berani membantu warga Rohingya di laut, lalu membawa mereka ke darat dan menggalang bantuan untuk warga Rohingya telah memicu perbaikan di berbagai negara ASEAN sehingga dunia memberi apresiasi kepada Aceh.
Itu karena berbagai negara di ASEAN sebelumnya lebih memilih untuk menolak kedatangan etnis Rohingya.
Mereka mungkin hanya memberi bantuan di atas perahu tapi tidak sampai menyelamatkan dan membantu mereka hingga di darat.
Aksi kemanusiaan Aceh terhadap Rohingya pada 2015 memicu pertemuan Menteri Luar Negeri dari Malaysia dan Indonesia pada 20 Mei 2015 sehingga melahirkan kesepakatan untuk menerima 7.000 pengungsi Rohingya.
Baca juga: Ternyata Ini Kelakuan Imigran Rohingya Sehingga Ditolak Warga di Bireuen dan Aceh Utara
Bahkan, sekitar 60 kepala keluarga pengungsi Rohingya asal Myanmar, mendarat di Aceh, dijadwalkan akan dipertemukan dengan anggota keluarga mereka yang mendarat di Malaysia.
Aksi reunifikasi atau penyatuan kembali keluarga pengungsi rohingya yang ada di Indonesia dan Malaysia itu mendapat pujian internasional kala itu.
Di Thailand seorang mantan Jenderal ditangkap pada Juni 2015. Manas Kongpan, dijatuhi hukuman 27 tahun penjara karena memperdagangkan warga Bangladesh dan Muslim Rohingya, kelompok minoritas yang melarikan diri dari Myanmar.
Pada 31 Desember 2016, Presiden Jokowi meneken Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penangganan Pengungsi Luar Negeri sehingga menjadi panduan bagi semua pihak terkait termasuk Pemerintah Aceh dalam menangani pengungsi yang terdampar.
Namun, karena Indonesia masih sebagai negara non pihak terhadap Konvensi 1951 dan Protokol 1967, maka prosedur penentuan status pengungsi (RSD) masih dilakukan oleh UNHCR atas nama Pemerintah Indonesia.
Menjadi problem karena proses penentuan status pengungsi tidak jelas sehingga cenderung memakan waktu yang lama. Begitu juga kuota negara penampung pengungsi juga tidak jelas dan menurun.
Beberapa negara donor untuk membantu pengungsi seperti Australia menghentikan bantuannya, serta belum adanya aturan rinci penggunaan APBN meski sudah ada Perpres 125/2016.
Dengan keadaan itu, jumlah pengungsi otomatis terus bertambah seiring meningkatkan konflik kekerasan diberbagai negara yang memicu terjadinya pengungsian.
Per Maret 2023, jumlah pengungsi luar negeri di Indonesia yang dicatat oleh UNHCR adalah 12.704 ribu. 73 persen adalah orang dewasa dan 27 persen adalah anak-anak.
Mengacu pada data Juni 2021, pengungsi di Indonesia tidak hanya dari Myanmar, tapi juga dari Somalia dan Afganistan serta lainnya.
Sebagai negara yang secara konstitusi menghormati HAM, maka Indonesia juga terikat dengan prinsip non refoulment, yaitu prinsip setiap negara tidak dibenarkan untuk mengusir pengungsi yang membutuhkan bantuan.
Prinsip non refoulement ini yang merupakan bagian dari hukum internasional wajib ditaati setiap negara di dunia tanpa terkecuali, baik yang meratifikasi Konvensi 1951 terkait pengungsi maupun tidak.
Jika ingin menuntaskan pengungsi Rohingya yang kini sudah memicu benturan di dalam negeri antar warga negara, maka mau tidak mau negara-negara yang tergabung dalam Komunitas ASEAN mereformasi dirinya.
Baca juga: 7 Hal Tentang Pengungsi Rohingya, Asal dan Penyebab Semakin Banyak yang Menuju ke Indonesia
Kekakuan yang disebabkan norma non-intervensi harus segera diatasi sehingga dapat mengatasi kekerasan yang meningkat di Myanmar.
Bagaimanapun, negara yang rezimnya membenarkan tindakan kekerasan terhadap rakyatnya pasti akan membawa pengaruh kepada negara-negara lain akibat gelombang pengungsian.
Rakyat Aceh yang condong melihat dirinya sebagai warga dunia yang sudah memicu reformasi di beberapa negara ASEAN terhadap pengungsi dari Myanmar tidak seharusnya mengubah daya juangnya untuk terus memperbaiki keadaan di dunia.
Jika suara-suara penolakan terhadap pengungsi Rohingya, maka negara-negara di ASEAN akan cenderung bersikap praktis terhadap apa yang terjadi di Myanmar.
Dan, jika Myanmar sukses dengan proyek politik militerismenya terhadap rakyat, maka sangat mungkin kebangkitan kepemimpinan militeristik akan terjadi pula di negara-negara lainnya di Asia Tenggara.
Baca juga: Beredar Kabar Rohingya Bergerak ke Aceh, Warga Aceh Timur Kompak Jaga Pesisir Pantai
Jika itu berlaku di negeri kita sudah pasti juga akan menimbulkan gelombang pengungsi dan pencarian suaka politik sebagaimana pernah terjadi di masa orde baru.
Apakah Aceh ingin kasus-kasus militeristik terulang kembali? Tentu saja tidak.
Untuk itu, rakyat Aceh harus kembali menjadi pionir untuk mendorong negara-negara di ASEAN mengakhiri kekerasan di Myanmar.
Status kewarganegaraan Rohingya perlu dipulihkan, keadaan kekerasan harus segera diakhiri sehingga kita dapat segera memulangkan warga Rohingya ke negaranya (Myanmar) yang sudah aman.(*)
*) PENULIS adalah pemerhati politik dan pemerintahan di Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.