Kupi Beungoh

Safiatuddin, Perempuan Cantik dari Aceh yang Gemparkan Dunia Melayu

Putri Iskandar Muda itu bergelar Taj al-‘Alam Safiatuddin. Taj al-‘Alam adalah kata dari Bahasa Arab yang mempunyai makna Mahkota Dunia.

Editor: Amirullah
For Serambinews
Maysarah, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Arab pada Program Pasca UIN Ar-Raniry, guru Dayah Darul Ihsan Krueng Kale Aceh Besar 

Oleh: Maysarah

Jumat tanggal 22 Desember hari ini ditetapkan sebagai Hari Ibu untuk masyarakat Indonesia. Hari Ibu adalah momen paling tepat untuk mengenang perempuan yang mempunyai kiprah besar dalam sejarah suatu bangsa, termasuk Aceh.

Aceh dikenal mempunyai stok perempuan cantik dan hebat pada masa lampau.

Keluarga istana tercatat sebagai penyumbang besar dalam melahirkan sosok-sosok perempuan dalam lintasan sejarah Aceh. Keluarga bangsawan terkenal dengan kecantikan.

Di Aceh masa lampau, terdapat seorang bangsawan papan yang mengagumkan. Dialah Safiatuddin binti Iskandar Muda.

Putri Iskandar Muda itu bergelar Taj al-‘Alam Safiatuddin. Taj al-‘Alam adalah kata dari Bahasa Arab yang mempunyai makna Mahkota Dunia.

Laqab ini terasa sangat cocok disandangkan ke Safiatuddin. Sebab, ia kemudian menjadi pemimpin politik paling berpengaruh di Aceh, Nusantara, bahkan dunia Islam.

Selain cantik, Safiatuddin juga terkenal sebagai sosok perempuan yang sangat cerdas. Kecantikan dan kecerdasan ini membuat bangsawan asal Malaysia jatuh cinta padanya, yaitu Iskandar Tsani. Cinta dengan Iskandar Tsani berlanjut hingga ke pelaminan (1617).

Sang suami pun kemudian menjadi Sultan di Kerajaan Aceh Darussalam (1636-1641), menggantikan sang mertua yang telah wafat untuk memimpin wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam.

Belum lama Sultan Iskandar Tsani memimpin Aceh, iapun wafat pada tanggal 15 Februari 1641.

Dalam situasi yang mencengangkan masa itu, Aceh harus tetap melanjutkan pemerintahannya pada tanggal 18 Februari 1641 diadakan musyawarah para pembesar negara serta para ulama yang diketuai oleh Kadhi Malikul Adil, Syekh Nuruddin ar-Raniry.

Setelah bermusyawarah beberapa waktu, maka dilantiklah Safiatuddin menjadi sultanah (ratu) dalam Kerajaan Aceh Darussalam.

Keputusan itu dibuat atas pertimbangan bahwa Safiatuddin layak menggantikan suaminya dalam memimpin Kerajaan Aceh Darussalam. Ratu Safiatuddin bukanlah sembarang perempuan.

Ia adalah perempuan yang kuat, taat, berilmu, cerdas dan memiliki wawasan yang sangat luas. Ia dibesarkan dalam lingkungan yang sadar akan pentingnya pendidikan serta langsung belajar pada guru-guru yang hebat.

Safiatuddin menguasai banyak bahasa dunia, termasuk Bahasa Arab, Inggris, Urdu, Spanyol, Belanda serta banyak bahasa dunia lainnya.

Perjalanan Sang Ratu dalam memimpin Aceh tidak mulus. Dalam kurun 35 tahun Sang Ratu bertahta terdapat berbagai cerita, termasuk perlawanan-perlawanan pada negara asing yang ingin merebut Aceh.

Nama Safiatuddin harum semerbak di seantero Melayu, bahkan dunia. Ratu Safiatudiin digambarkan oleh Inggris maupun Belanda adalah sosok perempuan yang berani dan tidak gentar pada musuh manapun di dunia.

Segala upaya ia kerahkan untuk mempertahankan kedaulatan Kerajaan Aaceh Darussalam.

Selain itu, Ratu Safiatuddin sangatlah santun. Ia menghormati para ulama dan tetap menjalankan syariat Islam di Aceh. Ia memberikan segala ide dan kebijakan yang sangat visioner atau berpikir maju ke depan, melampaui zamannya.

Terobosan-terobosan yang ia terapkan nyata masih diikuti hingga zaman modern ini. Walau pun ia perempuan, namun kiprah Safiatuddin tidak kalah dengan pemimpin lainya termasuk bidang pendidikan.

Berdasarkan penelitian penulis dari berbagai sumber kiprah Safiatuddin dalam Kerajaan Aceh Darussalam dapat diperhatikan melalui beberapa dua aspek yaitu meningkatkan Sumber Daya Manusia dan meningkatkan Pembangunan infrastruktur.

Peningkatan Sumber Daya Manusia dilakukan dengan cara memberdayakan para pakar ilmu dalam atau yang barasal luar negeri asing sebagai ahli.

Ilmuan tersebut salah satunya yaitu Nuruddin Ar-Raniry dari India dan Abdurrauf As-Singkili dari Aceh bagian Barat Selatan Aceh. Mereka merupakan penasehat Kerajaan Aceh Darussalam.

Ratu Safiatuddin adalah perempuan aktif dan produktif dalam menulis, termasuk menulis syair dalam bentuk sastra yang indah. Pada masa pemerintahannya, Sang Ratu meminta para pakar dan ulama untuk menulis karya ilmiah keilmuan untuk kerajaaan Aceh Darussalm yang dimanfaatkan untuk masyarakat.

Salah satu karya tersebut seperti Bustanul Salatin Syifau A-Qulub, Tanbihul al-Awwaam, dan puluhan karya lainnya dari Sykeh Nurudiddin A-Raniry.

Ulama hebat Abdur Rauf Singkili juga ikut serta menulis karya ilmiah diantaranya kitab berjudul Kifayatu al-Muhtadi, Umdatul Ahkam, Mir’at al-Thullab fî Tasyil Mawa’iz al-Badî’rifat al-Ahkâm al-Syar’iyyah li Malik al-Wahhab. Karya tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa melayu.

Pada masa Ratu Safiatuddin disalurkan beasiswa untuk para pelajar dan para ulama untuk menimba ilmu di luar negeri. Karena perekonomian masa itu sangat sejahtera, maka sang Ratu memberikan dana untuk biaya pendidikan. Salah satunya yaitu Syekh Abdur Rauf As-Singkili untuk berangkat ke Makkah, India dan Baghdad dan negara lainnya.

Ketika perempuan cantik yang bergelar Sultanah Taj al-A`lam mengerahkan pikiran dan kontribusinya dengan kepedulian terhadap Sumber Daya Manusia.

Selanjutnya Ratu membangun sarana dan prasarana belajar yang disebut juga infrastuktur seperti membangun menasah untuk pusat pendidikan, membangun zawiyyah (dayah), dan perpustakaan. Hal tersebut sangat mengagumkan generasi saat ini kususnya lagi kaum perempuan.

Tanah Melayu Aceh memiliki sosok perempuan yang terkenal cantik, pemberani, berhati lembut dan dermawan. Ia adalah adalah pemimpin yang menggemparkan tanah Melayu.

Gerakan emansipasi wanita sudah lebih dahulu ada di tanah Aceh. Kendati pun pemimpin Aceh masa itu dari kaum perempuan, namun syariat Islam sangat kental dan dijalankan dengan secara baik. Bahkan hampir 100 persen penduduk Aceh dan Melayu beragama Islam.

Hal ini terbukti bahwa perempuan yang menjadi ibu dan terlahir dari ibu adalah manusia pilihan yang sangat istimewa. Kaum perempuan memiliki peran meneruskan dan mendidik generasi bangsa, mampu menjaga keluarga dengan penuh kasih sayang.

Dalam keadaan tertentu ia mampu menjadi pemimpin seperti Sang Sultanah yang mengganti posisi suaminya yang wafat. Begitupun dengan ibu-ibu lainnya di dunia ini yang terkadang mereka mampu menjalankan dua peran menjadi seorang ibu dan di saat tertentu ketika suaminya wafat maka ia berperan menjadi ayah.

Di Aceh terdapat persatuan Inong Balee pada masa Belanda yang ikut berperang ketika suami-suaminya sudah lebih dulu syahid di medan perang. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan kehebatan para kaum ibu.

Oleh sebab itu, sudah sepantasnya kaum perempuan dihormati dan diistimewakan. Perempuan layak di berbagai jabatan public, termasuk legislatif, eksekutif hingga yudikatif yang menjadi pilar demokrasi modern.

Sejatinya Safiatuddin menjadi sosok inspiratif bagi kaum perempuan di Aceh untuk melakukan perubahan di dunia Melayu dan dunia Islam. Momen Hari Ibu adalah sangat tepat untuk melakukan gerakan pembaharuan itu. Semoga!

Darussalam, 22 Desember 2023

Penulis, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Arab pada Program Pasca UIN Ar-Raniry, guru Dayah Darul Ihsan Krueng Kale Aceh Besar

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved