Pilkada dan Suara-suara Etnis Tionghoa di Banda Aceh

Suara-suara etnis Tionghoa di Banda Aceh jelang Pilkada 2024, mulai dari sikap politik, hak hingga partisipasi dalam Pemilu mendatang.

|
Penulis: Sara Masroni | Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/SARA MASRONI
Masyarakat etnis Tionghoa di sebuah warung kopi di Gampong Mulia, Banda Aceh pada Selasa (21/11/2023). Suara-suara etnis Tionghoa di Banda Aceh jelang Pilkada 2024, mulai dari sikap politik, hak hingga partisipasi dalam Pemilu mendatang 

Salah satunya, belajar dari kasus sejumlah warga tidak terdaftar sebagai pemilih pada Pemilihan Keuchik Langsung (Pilchiksung) beberapa waktu lalu.

Menurutnya, penyelenggara Pemilu ke depan harus lebih proaktif mengenai permasalahan ini sebab hak pilih yang hilang dianggap sangat merugikan warga.

"Ada puluhan KK itu yang saya tahu saja, tidak terdaftar dan mendapat hak pilih saat Pilchiksung kemarin," ungkap Akhie.

Sementara mengenai sosok yang bertarung di Pilkada maupun Pemilu mendatang, siapapun yang maju diharapkan bisa memperhatikan aspirasi masyarakat etnis Tionghoa.

Terutama mengenai urusan bisnis, pihaknya minta perhatian dari pemerintah agar dimudahkan dan dilancarkan saat berhadapan dengan birokrasi.

“Sebab masyarakat kita memang lebih banyak arahnya ke sana semua," ungkap Akhie.

Dikatakannya, beberapa sosok selama ini muncul dan berbaur dengan masyarakat etnis Tionghoa, baik itu saat acara-acara yang dibuatkan oleh komunitas maupun jalinan komunikasi lainnya yang telah dibangun bertahun-tahun. Mereka seperti Mualem dan Irwan Djohan.

Sementara mengenai kepemimpinan gubernur sebelumnya, dianggap belum mampu membangun komunikasi dengan etnis Tionghoa.

"Kalau pak Irwandi adalah dekat-dekat, setelah beliau kena kasus kemarin, kita tidak ada lagi komunikasi dengan pejabat selanjutnya. Nilai sendirilah seperti apa dekat atau tidaknya," tambah Akhie.

Di tempat berbeda pemilih pemula dari etnis Tionghoa asal Gampong Mulia, Filbert Gaynell Ivan (18) mengutarakan pendapatnya terkait pesta demokrasi lima tahunan dalam waktu dekat.

Sebagai pemula, penting menurutnya berpartisipasi dalam memberikan hak saat Pemilu.

Menurut atlet Barongsai binaan Pelatda Aceh untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) itu, anak muda harus memilih karena menjadi kalangan yang kerap lantang bersuara saat mengkritik kebijakan pemerintah nantinya.

"Kalau nggak memilih tapi komen setiap pemerintah buat kebijakan kan percuma," kata Filbert saat ditemui di lokasi latihan Barongsai sekitaran Simpang Lima Banda Aceh, Senin (18/12/2023).

Sejauh ini dikatakannya, mengenai edukasi politik jelang Pemilu sudah dilakukan oleh beberapa komunitas terhadap minoritas etnis Tionghoa di Banda Aceh.

Ketika ditanya mengenai sosok Bacagub Aceh, menurutnya sejauh ini belum ada yang terdengar nyaring di kalangan anak-anak muda etnis Tionghoa.

"Kalau gubernur belum," kata Filbert.

Sebagai perwakilan anak muda, dia berharap ke depan siapapun yang terpilih harus matang dalam mengeluarkan kebijakan, terutama yang berkaitan dengan perekonomian masyarakat.

Dia mencontohkan salah satu kebijakan seperti menutup warung kopi sebelum jam 23.59 WIB malam dan larangan berboncengan bagi yang bukan mahram, hal ini dirasa perlu peninjauan kembali.

Sebab menurutnya ada pihak-pihak yang terdampak tanpa solusi dan urgensi yang jelas terkait kebijakan tersebut.

"Waktu malam itu saat banyak-banyaknya orang minum kopi, setelah keluar larangan maka banyak pekerja terkena dampak," ungkap Filbert.

"Kemudian yang boncengan bukan mahram, bagaimana dengan ojol (ojek online), maka kebijakan seperti ini harus lebih jelas," tambahnya.

Sementara Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Aceh (PA) merespon soal nama Mualem disebut-sebutnya di kalangan etnis Tionghoa.

Wakil Ketua DPP PA, Nurlis Effendi mengatakan, sejauh ini ketum partainya berlaku sama pada setiap masyarakat Aceh, tanpa memandang etnis dan kelompok tertentu.

"Kalau di PA lebih kepada kesetaraan, tanpa memandang etnis tertentu," kata Nurlis saat ditemui di salah satu hotel di Banda Aceh, Senin (4/12/2023).

Dengan demikian, tidak ada visi-misi terhadap minoritas khususnya etnis Tionghoa dalam kepemimpinan Mualem ke depan.

Pihaknya lebih berfokus pada kesejahteraan seluruh masyarakat, meningkatkan pendidikan dan konsen terhadap kaum duafa serta korban konflik.

"Kita lebih ke egaliter, tidak ada kekhususan, semua sama tanpa memandang etnis," tambahnya.

Sementara sosok lainnya, politisi Partai NasDem, Teuku Irwan Djohan juga merespon terkait namanya disebut-sebut di kalangan etnis Tionghoa.

Dia membenarkan kedekatannya dengan masyarakat etnis Tionghoa karena sejak kecil tinggal di lingkungan tersebut.

"Karena kebetulan sejak lahir saya tinggal di Kampung Baru dekat Masjid Raya Baiturrahman, ada banyak sekali teman saya sejak kecil yang keturunan Tionghoa," ungkap Irwan.

Kemudian ketika ditanya soal Pilkada, Anggota DPRA fraksi NasDem itu mengaku tidak punya visi misi khusus untuk etnis Tionghoa bila mendapat kesempatan maju menjadi Calon Wali kota Banda Aceh sebagaimana yang santer diisukan selama ini.

Visi misinya akan ditujukan secara umum untuk seluruh warga Kota Banda Aceh, dan warga keturunan Tionghoa yang minoritas juga termasuk di dalamnya

Untuk warga minoritas lainnya juga menurutnya akan mendapatkan perhatian yang serupa, misalnya untuk kelompok disabilitas yang selama ini cenderung terlupakan.

Di samping itu, kelompok-kelompok yang akan mendapatkan perhatian lebih besar darinya seperti kaum perempuan, terutama para perempuan kepala keluarga yang rentan secara ekonomi.

Terkait etnis Tionghoa, dia tidak memberikan porsi terutama dalam visi misi andai naik menjadi kepala daerah tingkat kota ke depan.

"Karena di mata saya semuanya setara dan butuh pelayanan yang sama," ungkap Irwan.

Keterlibatan Etnis Tionghoa dalam Politik

Jauh pada 2014 lalu, seorang warga etnis Tionghoa mencari peruntungan di politik dengan maju menjadi calon legislatif (Caleg) Partai Patriot.

Adalah Yuswar, warga Kota Banda Aceh yang berasal dari etnis Tionghoa ini menjadi Caleg DPRK 2014, namun gagal setelah tidak mendapat suara yang cukup saat penghitungan.

Dia mengiyakan permintaan wawancara dengan Serambi, sambil mengenakan pakaian merah-merah.

Yuswar didampingi sang istri bercerita satu jam lebih terkait perjalanannya sebagai etnis Tionghoa dalam dunia perpolitikan di Aceh.

Sambil sesekali menyeruput minumnya, Yuswar bercerita kalau dirinya sebenarnya tidak kalah di Pemilu 2014 silam.

Berdasarkan perhitungannya dan tim, cukup satu kursi untuk dia mewakili warga etnis Tionghoa di dewan kota.

Namun dilalah, nasib menjadi Anggota DPRK Banda Aceh tidak berpihak kepadanya.

Sampai sekarang Yuswar meyakini diduga terjadi penghilangan suara saat penghitungan di tingkat kota saat Pemilu sembilan tahun silam.

Waktu itu, diklaimnya sudah mendapat suara sekitar 1.260-an dan cukup untuk maju menjadi Anggota DPRK Banda Aceh dari target 1.200 suara saja.

Namun tiba-tiba hilang, tinggal kurang dari 1.000 suara saat penghitungan di tingkat kota.

"Sebenarnya suara kita cukup saat perhitungan di TPS dan kantor camat, tapi pas ke kantor wali kota sudah tidak cukup," kata Yuswar.

Diceritakannya waktu itu, ada sekitar 10 TPS dari total 15 TPS yang jadi lumbung suaranya, namun tidak ditempatkan saksi di sana.

Dia kalah dalam hal pembuktian, sejak saat itu Yuswar tidak pernah lagi maju di Pemilu.

"Namanya juga belum pengalaman ya," ungkap Yuswar menyesal karena tak menempatkan saksi di semua TPS, khususnya yang menjadi lumbung suara.

Meski tidak lagi mencalonkan diri baik ke legislatif maupun eksekutif, dia tetap aktif menjadi anggota bahkan pengurus inti partai.

Politikus asal etnis Tionghoa ini pindah dari Partai Patriot ke Partai Gerindra karena parpol tersebut tidak lolos parliamentary threshold (ambang batas) untuk kembali bertarung di Pemilu berikutnya.

Namun menariknya, saat di parpol besutan Prabowo Subianto itu karier Yuswar melesat hingga kini menjabat sebagai Wakil Ketua DPD Partai Gerindra Provinsi Aceh sejak 2013 hingga sekarang.

Menurutnya, meski menjadi minoritas, dia mendapat ruang menjadi pengurus partai. 

"Sehingga salah kalau ada stigma di luar etnis Tionghoa tidak mendapat tempat atau dikucilkan dalam politik khususnya di Aceh," ungkap Yuswar.

Bahkan dirinya pun berkali-kali ingin dicalonkan lagi dari partai untuk maju sebagai caleg, namun menolak karena masalah kesehatan terutama gangguan pada pendengarannya.

Diakui Yuswar, mayoritas etnis Tionghoa sendiri sedikit menghindari politik karena lebih senang fokus di dunia usaha atau bisnis.

Selain itu, pihaknya mayoritas masih trauma peristiwa masa lalu seperti tragedi G30S PKI.

Kala itu beberapa warga etnis Tionghoa ditangkap dan hilang, padahal tidak terafiliasi dan tidak menjadi bagian dari partai kiri atau berhaluan komunis.

Walau begitu, etnis Tionghoa saat ini dianggap sudah mulai melek politik, minimal tahu menentukan mana yang harus didukung.

Bahkan dikatakannya, kini etnis Tionghoa khususnya di Banda Aceh membentuk kelompok-kelompok tertentu walau tidak semua.

"Kita walau sesama Tionghoa, tapi berkelompok-kelompok. Misal kelompok ini mendukung sosok ini di Pemilu, yang sana beda lagi, bahkan ada yang punya kontrak politik antara satu kelompok dengan sosok politikus tertentu," ungkap Yuswar.

Sementara Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Banda Aceh, Yusri Razali menilai, sejauh ini etnis Tionghoa yang berkumpul di beberapa gampong, mayoritas dianggap aktif dalam memberikan hak suara seperti datang ke TPS saat Pemilu.

Meski tahun ini dipastikan tidak ada yang mencalonkan diri terutama di legislatif, namun warga etnis Tionghoa terlibat menjadi anggota atau pengurus partai di Banda Aceh.

"Semua orang termasuk etnis Tionghoa, punya hak politik dan peluang yang sama," kata Yusri.

Pemerintah dikatakannya, memperlakukan warga negara dengan perlakuan yang sama.

Bahkan khusus di Aceh bagi calon yang nonmuslim tidak diuji baca Alquran dan aturan lainnya yang berkaitan syariat Islam.

Sehingga keterlibatan politik etnis Tionghoa di Banda Aceh tetap ada, terlepas dari dicalonkan atau tidak untuk maju sebagai caleg dan calon kepala daerah.

Hal itu menurutnya mekanisme sepenuhnya ada di partai, bukan di pemerintah terutama KIP. "Soal mekanisme itu ada di parpol, bukan ranah kita," kata Yusri.

Sementara menjawab persoalan terkait kasus di beberapa TPS ada masyarakat etnis Tionghoa yang tidak terdaftar dan tidak bisa memilih di Pemilihan Keuchik Langsung (Pilchiksung), menurutnya hal ini berbeda saat di Pemilu atau Pilkada nanti.

Sebab di Pemilu, aturannya merujuk pada Undang-Undang Pemilihan Umum, bukan Qanun sebagaimana saat Pilchiksung.

"Kalau di Pemilu, walau tidak terdaftar DPT tetap bisa memberikan suara selama punya e-KTP dan datang 1 jam sebelum TPS ditutup," jelas Yusri.

"Intinya semua warga negara bisa memilih dengan bebas dan terlibat dalam politik selama memenuhi syarat, tanpa melihat etnis atau golongan tertentu," tambahnya.

Hal yang sama disampaikan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh.

Sekretaris FKUB Aceh, Hasan Basri M Nur menyampaikan, setiap warga negara berhak memilih baik legislatif maupun eksekutif, berhak menjadi anggota atau pengurus partai dan berhak mencalonkan diri dalam Pemilu.

Termasuk masyarakat etnis Tionghoa, mereka berhak mendapatkan hak-hak tersebut.

"Sementara soal terpilih atau tidak, itu urusan lain. Yang penting tiga hak ini dulu terpenuhi dan kita FKUB mendorong itu," kata Hasan.

Meski demikian diakuinya bahwa mayoritas etnis Tionghoa sejauh ini lebih fokus pada urusan ekonomi dibandingkan politik.

Walau begitu, ke depan bisa saja etnis Tionghoa mendapat jabatan strategis sebagai wakil rakyat bila sejak sekarang mulai memoles dan memberikan kontribusi politik secara personal ke banyak orang.

"Perlu pencitraan yang lebih bagus dan kontribusi personal, supaya dipilih bukan karena etnis Tionghoa tapi karena kontribusinya ke masyarakat," pungkasnya.

(Serambinews.com/Sara Masroni)

BACA BERITA SERAMBI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Liputan ini Mendapatkan Dukungan Hibah dari Program Fellowship AJI Indonesia

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved