Opini
Kepastian Kematian dan Tsunami Aceh
Tsunami di Aceh di masa datang akan terjadi seperti kepastian kematian akan menjemput makhluk hidup. Banyak di antara kita yang tahu bahwa kematian ak
Dr HT Ahmad Dadek SH MH, Kepala Bappeda Aceh
SETELAH sembilan belas tahun gempa dan tsunami Aceh ada kesimpulan pribadi saya, bahwa kejadian tsunami 26 Desember 2004 tidak lebih dan tidak kurang seperti kejadian banjir tahunan. Hal ini dibuktikan bahwa pertama tidak ada perbedaan tata ruang hunian di Aceh sebelum dan sesudah tsunami. Kedua, tidak ada perbedaan sikap budaya masyarakat dalam pengurangan risiko bencana antara sebelum dan sesudah tsunami, di rumah tangga dan sekolah serta tempat lainnya tidak ada skenario dan simulasi yang menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari.
Tsunami di Aceh di masa datang akan terjadi seperti kepastian kematian akan menjemput makhluk hidup. Banyak di antara kita yang tahu bahwa kematian akan menjemput tetapi kita tidak yakin bahwa kematian akan datang sewaktu-waktu. Kematian hanya datang dalam pikiran kita karena ada sebab, bukan karena hakikat.
Lihatlah di sekeliling kita, banyak orang tidak yakin mereka akan mati dalam waktu dekat. Banyak di antara mereka terus terbeban dalam hidupnya untuk akhirat. Jarang yang berbekal untuk kematiannya. Demikian juga tsunami, bahwa tsunami kita tahu akan berulang. Tatapi tidak yakin akan terjadi dalam waktu dekat misalnya. Lihatlah sekeliling kita, banyak rumah tangga dan masyarakat tidak punya skenario antara sesama anggota keluarga kalau tsunami terjadi lagi.
Di Meunasah Lhok, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, terdapat gua yang merekam jejak peninggalan pasir tsunami yang berusia 7000 tahun lebih. Gua ini dikenal dengan nama Guha Ek Leuntie, merekam jejak tsunami dari masa ke masa. Istilah ie beuna, ada juga pihak yang mengatakan bahwa ie beuna tidak ada hubungannya dengan terminologi tsunami. Sebab ie beuna adalah pertemuan dua arus air yang membentuk pusaran air tinggi yang nelayan takut air tersebut menimpa mereka.
Kerajaan Aceh pada awalnya menjadi bukti bahwa tsunami bukan hanya sekali terjadi. Kerajaan Lamuri yang terkenal sebagai bandar yang ramai dan berpusat di Lamreh (kini Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar) diperkirakan pernah didera tsunami dahsyat pada abad ke-14 sehingga penduduk kawasan itu binasa atau sebagian berpindah ke Kutaradja (Banda Aceh) yang lebih aman dari terpaan tsunami (ie beuna). Pergantian nama Pasie Karam menjadi Meulaboh juga bukti bahwa Meulaboh lama pernah dilanda tsunami hebat yang menjerembapkan peradaban penduduk setempat.
Pada seminar dalam rangka sembilan belas tahun tsunami, Prof Nazly dari USK mengatakan bahwa ekstensi pengkajian jejak sedimen tsunami purba sepanjang pantai barat Sumatra menandakan bahwa tsunami adalah kejadian berulang dan harus bisa memperkuat lesson learn Pengurangan risiko bencana tsunami bagi masyarakat pesisir.
Nazly menyarankan agar kajian Ilmiah yang ada dapat merekonstruksi komprehensif mengenai luas dan waktu terjadinya paleotsunami di garis pantai Sumatera dan membuktikan bahwa tsunami bukan terjadi hanya sekali akan tetapi sebuah peristiwa berulang yang pasti akan terjadi. Karenanya mitigasi bahaya tsunami, pendidikan masyarakat dan penjangkauan harus disegerakan.
Belum menjadi budaya
Ada sesuatu yang salah dalam pemahaman Bangsa Indonesia tentang bencana, salah satunya adalah bencana tidak pernah dihadapi dengan pemahaman kebudayaan. Akan tetapi selalu dilihat dari kacamata sosial dan ekonomi, terutama kerugian materil. Hal ini juga terlihat dalam penanggulangan wabah Covid-19 yang sudah mengalami tiga gelombang. Pemerintah buru-buru menerbitkan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penanganan Dampak Keuangan dan Covid-19 (Perppu Covid-19).
Perppu ini untuk mengendalikan masalah pengurangan pendapatan dan keuangan, seharusnya Perppu tersebut juga memuat agar protokol kesehatan dapat ditegakkan secara hukum supaya menjadi bagian dari budaya masyarakat melalui yang dikatakan Rosco Pound “law is a tool social engenering”. Salah satu upaya menjadikan bencana menjadi bagian strategi kebudayaan sebagaimana yang disebutkan dalam Hyogo yaitu pentingnya menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun sebuah budaya keselamatan dan ketangguhan di semua tingkat.
Di bawah Priority For Action, Hyogo Framework ada sub bab tentang “Use knowledge, innovation and education to build a culture of safety and resilience at all levels”, Hyogo Framwork memandang serius untuk memanfaatkan kebudayaan sebagai upaya untuk pengurangan risiko bencana. Yaitu “Promosi budaya pencegahan, termasuk melalui mobilisasi sumber daya yang memadai untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB) merupakan investasi untuk masa depan dengan hasil yang substansial.
Penilaian risiko dan sistem peringatan dini adalah investasi penting yang melindungi dan menyelamatkan nyawa, harta benda dan mata pencaharian, berkontribusi pada keberlanjutan pembangunan, dan jauh lebih hemat biaya dalam memperkuat mekanisme penanggulangan daripada ketergantungan utama pada respons dan pemulihan pascabencana.
Arah kebijakan 20 tahun
Apa yang harus dilakukan Pemerintah Aceh untuk menciptakan masyarakat yang resilient terhadap bencana untuk dua puluh tahun ke depan. Pertama, perencanaan tata ruang dengan mempertimbangkan risiko bencana, daya dukung. Kedua, menurunkan indeks risiko bencana melalui peningkatan ketahanan daerah terhadap bencana, penguatan kurikulum di setiap satuan pendidikan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.