Opini
RIsiko Bencana Aceh dan Moving Forward
Program-program itu harus terus diakselerasi untuk terus dapat bergerak kedepan (moving forward) agar masyarakat Aceh selalu tangguh dalam merespons b
Dr Ir Bambang Setiawan ST MEng Sc, Ketua Jurusan Teknik Kebumian Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala
TAHUN ini genap 19 tahun bencana gempa bumi dan tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004 yang menghentak dunia. Jika diibaratkan dengan usia manusia 19 tahun bukanlah sebuah usia yang muda lagi. Sebagian dari anak-anak kita yang lahir di tahun itu saat ini mungkin sudah menjadi mahasiswa, atau bahkan sebagian lagi mungkin saja sudah bekerja dan menikah. Dalam durasi yang sudah cukup panjang itu seharusnya sudah banyak upaya-upaya mitigasi dan kesiapsiagaan yang sudah kita lakukan. Kita harus sadari betul bahwa kita di Aceh senantiasa hidup dan berpenghidupan yang selalu berdampingan dengan potensi bencana.
Indeks risiko bencana
Dalam terbitan awal tahun 2023 oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang bertajuk Indeks Risiko Bencana Indonesia Tahun 2022 masih menempatkan Provinsi Aceh (skor 149.1) dalam kategori provinsi dengan resiko bencana yang tinggi, meskipun tidak dalam peringkat 3 besar. Hasil perhitungan indeks risiko bencana tahun 2022 dalam buku tersebut menunjukkan bahwa 13 provinsi di Indonesia berada pada kelas risiko bencana tinggi dan 21 provinsi lainnya berada pada kelas risiko bencana sedang.Tidak ada satu provinsi pun di Indonesia yang berada pada risiko bencana rendah. Tiga provinsi yang dinilai memiliki risiko paling tinggi di tahun 2022, antara lain Sulawesi Barat (skor 165,23), Maluku (skor 162,47), dan Kepulauan Bangka Belitung (skor 158,52).
Hal menarik dari buku tersebut memperlihatkan skor indeks risiko bencana Provinsi Aceh yang 149.1 dan selalu menunjukkan tren penurunan sejak tahun 2015 dengan skor 160.45. Nilai/skor itu juga lebih rendah dari tahun sebelumnya (2021) yang berskor 149.99. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak (pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat, dunia usaha, dan dunia pendidikan) untuk mengurangi resiko bencana di Aceh dan sekaligus meningkatkan ketangguhan masyarakat Aceh dalam merespons kejadian bencana.
ndeks risiko (risk) bencana yang disusun oleh BNPB itu menggunakan tiga variabel, yaitu bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), dan kapasitas (capacity). Pengaruh masing-masing variabel memiliki bobot yang berbeda dalam penentuan indeks risiko bencana dimana tim penyusun BNPB menerapkan 40 persen dari variabel bahaya, 30?ri variabel kerentanan, dan 30?ri variabel kapasitas.
Dalam kajian yang dilakukan oleh BNPB itu bahkan menempatkan 11 dari 23 kabupaten/kota di Provinsi Aceh termasuk dalam kategori berisiko sedang dengan skor bervariasi dari 137.6 (Kabupaten Pidie Jaya) hingga 95.2 (Kota Subulussalam). Perlu dijadikan catatan bahwa indeks risiko bencana yang dianalisis pada buku ini dibatasi pada bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh faktor alam, yang mencakup sembilan jenis bahaya (hazard) yaitu gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, tanah longsor, banjir, cuaca ekstrem, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, dan gelombang ekstrem dan abrasi.
Moving forward
Tren penurunan indeks risiko bencana di Provinsi Aceh sejak 2015 seperti yang disajikan dalam kajian BNPB tersebut seharusnya tidak membuat kita -masyarakat Aceh, Pemerintah Aceh, LSM, dan stakeholders lainnya – terus merasa puas dengan upaya-upaya mitigasi dan kesiapsiagaan yang telah dilakukan. Hasil kajian tadi bisa dijadikan sebagai tolok ukur bahwa program-program yang terkait dengan pengurangan resiko bencana yang telah dilakukan di Aceh sudah berjalan pada track yang benar.
Program-program itu harus terus diakselerasi untuk terus dapat bergerak kedepan (moving forward) agar masyarakat Aceh selalu tangguh dalam merespons bencana yang tidak pernah atau belum bisa kita prediksi kapan akan terjadi.
Salah satu bentuk program dalam konsep moving forward itu adalah terus melakukan kajian risiko bencana alam dan peningkatan kapasitas masyarakat yang kemudian di-integrasikan ke dalam tata ruang wilayah. Ada beberapa alasan mengapa diperlukan langkah ini. Secara aturan, rencana tata ruang bertanggung jawab atas keputusan pemanfaatan lahan dalam jangka panjang. Meskipun tata ruang tidak bertanggung jawab langsung terhadap pengurangan risiko bencana, namun penataan ruang mempunyai peran mendasar dalam pengurangan risiko bencana.
Empat kemungkinan peran utama rencana tata ruang dalam pengurangan risiko bencana alam, seperti yang diidentifikasi oleh para ahli planologi. Antara lain: 1) Tata ruang akan melarang atau memberi aturan khusus untuk pembangunan di masa depan di wilayah tertentu yang diidentifikasi sebagai kawasan yang sangat rawan terhadap bencana, terutama kawasan yang memiliki riwayat kejadian bencana. 2) Tata ruang akan memuat klasifikasi berbagai pengaturan penggunaan lahan untuk daerah rawan bencana, dimana setiap bencana mempunyai risiko yang dapat diterima pada kelas penggunaan lahan yang berbeda.
Misalnya, lahan dengan lereng terjal yang sangat rentan terhadap bencana longsor sebaiknya tidak diperuntukan bagi kawasan perumahan atau kawasan komersial, namun mungkin masih cocok untuk perkebunan. 3) Tata ruang akan mengatur rencana penggunaan lahan atau zonasi yang statusnya mengikat secara hukum. Misalnya, pada daerah yang rawan gempa diperlukan aturan terhadap tingkat kepadatan bangunan untuk mengurangi dampak keruntuhan bangunan. 4) Tata ruang bisa dijadikan sebagai alat untuk memodifikasi tingkat kerentanan terhadap bahaya. Misalnya, perencanaan tata ruang dapat berperan dalam mendorong pengurangan risiko banjir melalui alokasi kawasan untuk kolam penahan yang diperlukan untuk menampung limpasan air banjir sementara.
Pengalaman penulis dalam berbagai pertemuan yang membahas tentang usulan kegiatan pembangunan, kita akan selalu dihadapkan pada pertanyaan pertama dan utama yaitu kesesuaian usulan kegiatan pembangunan tersebut dengan aturan tata ruang yang ada.
Ketika sebuah usulan pembangunan itu menyalahi tata ruang yang ada, maka sebuah perdebatan yang panjang akan hadir dan mengisi pertemuan itu. Memang tidak dapat kita pungkiri, bahwa pengaturan tata ruang itu dibuat dengan pemahaman akan terbatasnya ruang yang memadai untuk menopang kehidupan yang nyaman bagi semua penghuninya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.