Opini

Memetik Pelajaran dari Laporan Temuan KKR Aceh

Peulara Damèe dibuat oleh lembaga pemilik data yang menggambarkan peristiwa kekerasan yang cakupannya jauh lebih luas. Isi laporan ini mencakup serban

Editor: mufti
IST
Bisma Yadhi Putra, Manager Riset Aceh Institute 

Bisma Yadhi Putra, Manajer Riset Aceh Institute

SETELAH kerja panjang bertahun-tahun, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh akhirnya menerbitkan laporan temuan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh titimangsa pertikaian GAM dengan Pemerintah Indonesia. Diluncurkan 12 Desember lalu, laporan setebal 248 halaman itu diberi judul Peulara Damèe: Laporan Temuan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (2023).Peulara Damèe adalah beberan fakta sejarah yang berdiri di atas 4.765 kesaksian korban konflik Aceh. Semua kesaksian itu dikumpulkan KKR Aceh dengan menerjunkan puluhan “petugas pengambil pernyataan” di hampir seluruh kabupaten/kota. Mereka mewawancarai saksi maupun korban sambil merekam dan mencatatnya dalam “formulir pengambilan pernyataan”.

Aktivitas mendokumentasikan kesaksian korban perang sudah lama berlangsung di Aceh. Tahun 1955, aktivitas demikian sempat dilakukan oleh Front Pemuda Atjeh. Dipimpin wartawan legendaris Aceh, Achmad Chatib Ali, Front mewawancarai sejumlah saksi dan penyintas pembunuhan massal oleh militer di kawasan Lhoong dan Leupung, Aceh Besar. Hasil wawancara kemudian diarsipkan dalam laporan temuan berjudul "Prosesverbaal Sekitar Peristiwa Pembunuhan di Tjot Djeumpa dan Sekitarnja (1955)".

Sebagaimana Peulara Damèe, tujuan Prosesverbaal adalah mengungkap kebenaran. Dokumen ini berguna untuk menandingi kilah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang menyebut peristiwa di Aceh Besar itu adalah “penembakan terhadap pemberontak” bukan “penembakan terhadap warga sipil”.
Akan tetapi, berbeda dengan Prosesverbaal, isi Peulara Damèe tidak terbatas pada satu peristiwa.

Peulara Damèe dibuat oleh lembaga pemilik data yang menggambarkan peristiwa kekerasan yang cakupannya jauh lebih luas. Isi laporan ini mencakup serbaneka kasus dan metode kejahatan, yakni penyiksaan, pembunuhan, penghilangan paksa, dan kejahatan seksual. Alhasil, KKR Aceh kini menjadi satu-satunya lembaga yang mengantongi “data terbesar dan terlengkap tentang bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi selama konflik di Aceh”.

Salah satu yang mencengangkan dalam Peulara Damèe adalah temuan bahwa laki-laki lebih banyak yang jadi korban kekerasan seksual daripada perempuan. Perinciannya: 87 laki-laki, 78 perempuan. Temuan ini mencengangkan sebab selama ini kekerasan seksual identik dengan kaum perempuan sebagai korbannya. Akan tetapi, statistik ini tak bisa membantah fakta bahwa kaum perempuanlah yang paling menderita selama konflik Aceh.

Pola kekerasan

Pada Kamis (21/12) lalu, KontraS Aceh menggelar diskusi publik untuk membedah isi Peulara Damèe. Dalam acara itu, seorang korban konflik menyodorkan satu pertanyaan tajam: “Apa manfaatnya buku ini untuk kami para korban konflik?” Pertanyaan ini lumrah diajukan sebab hal yang paling korban butuhkan usai perang adalah penyejahteraan terhadap hidup mereka, bukan cuma teks yang menjelaskan penderitaan mereka.

Namun, mustahil sebuah buku laporan temuan pelanggaran hak asasi manusia tak punya manfaat sama sekali. Hal yang bermanfaat salah satunya adalah adanya ulasan tentang pola kekerasan. Apa itu pola kekerasan? Apa manfaatnya bagi pembaca, khususnya korban konflik? Ada satu ilustrasi sederhana agar kita mudah memahaminya.

Di sebuah kabupaten, terdapat sebuah kelompok bernama Pasukan Singa. Tanggal 10, Pasukan Singa mengadakan rapat di hutan lalu esoknya mereka membakar puluhan rumah warga Desa Ayam. Tanggal 12, Pasukan Singa menggelar rapat lagi dan selang dua hari kemudian mereka melakukan pembakaran di Desa Bebek. Tanggal 16, rapat Pasukan Singa berlangsung kembali. Dua jam setelahnya, para anggota rapat menyerbu Desa Kambing dan membakar puluhan rumah.

Dari tiga kasus itu tergambar suatu pola: pembakaran rumah penduduk desa selalu terjadi setelah kelompok bersenjata menggelar rapat rahasia di hutan. Dengan bekal pengetahuan tentang pola aktivitas Pasukan Singa, esoknya warga lekas mengungsi begitu mengetahui Pasukan Singa sedang menggelar rapat terbaru. Penting untuk memberitahu semua orang tentang pola-pola kekerasan dalam konflik yang pernah terjadi di daerah mereka. Lebih dari sekadar pengetahuan, teks yang menggambarkan pola kekerasan juga punya manfaat praktis, yakni menjadi acuan untuk menghindari kekerasan.

Semasa pemberontakan Darul Islam Aceh (1953-1962), pernah terjadi pemerkosaan massal di sebuah desa dekat Panton Labu, Aceh Utara. Tentara datang ke rumah-rumah penduduk dan menyuruh semua penghuni laki-laki keluar. Beberapa tentara kemudian masuk dan mengunci pintu dari dalam, lalu secara bergiliran mereka memerkosa para perempuan yang ditemukan di rumah. Di tempat lain, kejadian serupa terjadi pula. Tentara mengajak para kepala keluarga pergi ke suatu tempat. Setelah mereka jauh dari rumah, datanglah prajurit lain ke rumah untuk melakukan pemerkosaan.

Begitu para kepala keluarga memahami pola tindak pemerkosaan itu, mereka mulai hati-hati dengan ajakan tentara. Mereka sudah paham bahwa ajakan itu semata muslihat agar para pelaku punya keleluasaan untuk memerkosa setiap perempuan yang tertinggal di rumah mereka.

Pola kekerasan seksual ini juga memberikan wawasan penting bagi para istri bahwa begitu suaminya dibawa tentara maka ia bersama anak gadisnya, ibunya, atau mertuanya harus cepat-cepat pergi dari rumah sebelum tentara lain datang. Pola kekerasan yang diketahui ini akhirnya menjadi semacam “toturial untuk menyelamatkan diri dari kejahatan”.

Meskipun tak banyak, pola tanda-tanda awal akan terjadinya kekerasan yang dijabarkan dalam Peulara Damèe tetap patut dicermati. Dari kesaksian-kesaksian yang telah dipelajari, KKR Aceh menangkap satu pola bahwa setiap kali berlangsung operasi militer, praktik kekerasan seksual pasti terjadi. Saat ditelaah lebih lanjut, ditemukan pola lanjutan bahwa praktik kekerasan seksual sering berhubungan dengan perintah wajib lapor.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved