Opini
Hindari Hoaks, Bijak Mengelola Informasi
Penyebaran hoaks juga memiliki dampak serius kepada masyarakat, karena dapat menciptakan ketidakpastian dan merugikan individu atau kelompok tertentu.
Jabbar AMIPR, Anggota Polri Bidang Humas Polda Aceh
DISINFORMASI atau hoaks berkembang mengikuti perkembangan teknologi dan dinamika sosial. Fenomena ini tidak terbatas pada periode waktu tertentu, tetapi telah ada sejak manusia mulai berkomunikasi yang kemudian mengikuti peradaban dan perkembangan teknologi.Masuknya era digital dan hadirnya internet serta media sosial, informasi tersebar begitu cepat. Namun, di balik kemudahan itu kita juga dihadapkan dengan risiko penyebaran hoaks yang makin mudah dan cepat pula.
Penyebaran hoaks yang begitu cepat dapat memicu dampak yang lebih besar, termasuk mempengaruhi opini publik, menciptakan ketidakpercayaan terhadap sumber informasi, bahkan dapat mempengaruhi keputusan politik yang secara tidak langsung juga ikut mempengaruhi penyebaran hoaks secara masif dan ekstrem. Hoaks penting untuk dipahami masyarakat agar lebih waspada. Upaya untuk mendidik masyarakat tentang literasi digital dan kritis terhadap sumber informasi juga menjadi kunci mengatasi perkembangan hoaks di era modern.
Penyebaran hoaks juga memiliki dampak serius kepada masyarakat, karena dapat menciptakan ketidakpastian dan merugikan individu atau kelompok tertentu. Sehingga, penting untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya hoaks serta memastikan sumber informasi yang akurat untuk mencegah penyebaran informasi palsu yang dapat memicu konflik serta merugikan orang lain.
Penyebar informasi palsu mayoritas tidak sadar telah menjadi pelaku, karena kurangnya verifikasi dan pemahaman mendalam terkait subjek yang disebarkan tersebut. Sehingga penting untuk meningkatkan literasi digital agar dapat lebih kritis dalam menilai informasi sebelum menyebarkannya.
Kita juga kerap menemukan, ketika seseorang mempertanyakan sumber informasi yang dibagikan oleh pengguna medsos, si penyebar hanya menjawab, "dari grup sebelah". Tudingan itu seolah-olah memberi legitimasi pada kebenaran klaim atas informasi yang dibagikan. Namun, di balik tirai omong kosong itu, niat mereka sebenarnya adalah mengacaukan kebenaran dan menciptakan kekacauan di tengah masyarakat. Artinya, yang bersangkutan tidak bertanggung jawab atas informasi yang telah dibagikan.
Begitu juga dengan netizen atau pengguna media sosial yang membagi informasi dalam bentuk tulisan, video, dan meme tanpa menyebutkan sumber yang jelas. Seakan informasi tersebut diperolehnya secara langsung. Kalau pun dipertanyakan, penyebar hanya bisa mengkambinghitamkan "grup sebelah" yang seolah info itu beredar secara legal dalam grup-grup medsos yang ada.
Dinamika post-truth
Disinformasi atau hoaks ini juga erat kaitannya dengan post-truth. Perkembangan teknologi telah menyebabkan penyebaran informasi semakin mudah dan cepat, sehingga berdampak terhadap lahirnya post-truth.
Fenomena post-truth merupakan suatu kondisi penyebaran informasi, di mana fakta aktual digantikan dengan daya tarik emosi dan perasaan dalam memahami suatu informasi. Hal itu merupakan upaya si penyebar informasi untuk mempengaruhi opini publik sesuai kepentingan. Sehingga masyarakat cenderung dipengaruhi oleh naratif emosional atau ideologis daripada bukti empiris atau kebenaran faktual.
Dalam lingkungan post-truth, informasi yang sesuai dengan keyakinan dan nilai-nilai pribadi dapat mendominasi, walaupun tidak memiliki dasar fakta yang kuat. Fenomena ini terus menjadi perhatian pada banyak konteks, terutama dalam politik dan media sosial. Penyebaran informasi palsu atau bias, pembentukan opini berdasarkan emosi, dan ketidakpercayaan terhadap fakta empiris masih menjadi tantangan. Apalagi hal itu lebih mudah mengalahkan realitas objektif.
Penggunaan platform media sosial sebagai sumber berita utama membuat penyebaran informasi yang belum diverifikasi makin cepat. Sehingga dapat memperkuat dinamika post-truth. Masyarakat disarankan untuk merujuk ke sumber informasi yang andal dan memverifikasi fakta sebelum beropini.
Sehingga, efek dari fenomena post-truth itu dapat menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap berita dan informasi karena kesulitan membedakan antara fakta dan opini atau bahkan informasi yang salah. Masyarakat juga dapat kehilangan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga atau media yang menyampaikan informasi resmi, sehingga menyebabkan krisis kepercayaan yang dapat merugikan demokrasi dan stabilitas sosial. Oleh karena itu, masyarakat perlu memahami apa itu post-truth, apa itu hoaks, ujaran kebencian, serta mengetahui batasan-batasan dalam mengomentari dan memverifikasi informasi, serta menghindari provokasi informasi di media sosial.
Ada beberapa strategi atau cara mengenali hoaks. Pertama, dengan memverifikasi sumber informasi sebelum mempercayainya. Sumber yang dapat dipercaya cenderung memiliki rekam jejak yang baik. Kedua, dengan mengecek fakta, yaitu menggunakan situs fact-checking untuk memverifikasi kebenaran suatu informasi sebelum membagikannya. Terakhir, memperhatikan gaya penulisan atau bentuk konten, karena hoaks cenderung memiliki gaya penulisan atau bentuk konten yang dramatis atau sensational. Perlu juga mewaspadai judul yang terlalu menarik perhatian.
Dalam upaya pencegahannya ke depan, sekolah dan institusi pendidikan dirasa perlu memasukkan pelajaran tentang literasi digital ke dalam kurikulum untuk mempersiapkan generasi muda dengan keterampilan kritis. Karena hal itu akan membantu mereka menghadapi tantangan informasi di masa mendatang, sehingga dalam berbagi informasi lebih beretika.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.