Citizen Reporter
Gesekan Budaya di Abu Dhabi
Saya mengamati aktivitas pergesekan budaya yang terjadi di Abu Dhabi, khususnya interaksi di antara peserta seminar dan di sekitaran Dubai selama lima
ABDUL RANI USMAN, Pengajar Komunikasi Antarbudaya Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, melaporkan dari Abu Dhabi, Uni Emirat Arab
Uiversitas Abu Dhabi menjadi spirit keilmuan bagi saya sebagai pengajar mata kuliah Komunikasi Antarbudaya di Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Saya mengirimkan artikel ke International Conference on Advancing Sustainable Futures (ICASF) 2023 yang diselenggarakan di Dubai pada 5-6 Desember 2023. Salah satu fenomena menarik dari paparan presenter pada seminar ini adalah dunia dirancang untuk kesinambungan masa depan kehidupan manusia.
Saya mengamati aktivitas pergesekan budaya yang terjadi di Abu Dhabi, khususnya interaksi di antara peserta seminar dan di sekitaran Dubai selama lima hari. Pada konferensi ini saya mempresentasikan kajian berjudul Memberdayakan Perempuan Duafa Melalui Zakat.
Presenter dan peserta seminar datang dari berbagai belahan dunia, termasuk dari Indonesia. Secara budaya dapat diamati karena presenter dan peserta seminar bermacam ragam model dan gaya berpakaian. Para presenter semua bergaya modern. Laki-laki mengenakan jas, wanita menggunakan pakaian modern. Sedangkan panitia sebagian laki-laki mengenakan pakaian Arab.
Secara budaya, Uni Emirat Arab (UEA) dilahirkan dalam budaya Arab, tetapi persentuhan Barat mengikuti gaya dan diplomasi budaya modern. Di kalangan eksekutif semua laki-lakinya mengenakan jas. Beberapa peserta tetap mempertahankan budaya Arab, termasuk H.E. Sheikh Nahayan Mabarak Al Nahayan, Cabinet Member, Minister of Tolerance and Coexistence UEA, tetap mengenakan pakaian Arab.
Sedangkan tim kerja sangat beragam. Sebagian wanita memakai pakaian sopan ala Barat. Sedangkan wanita yang sedikit alim mengenakan abaya dan jilbab modern. Uniknya, ada juga yang berjumpa bersama temannya sambil cipika-cipiki antara laki-laki dan perempuan. Interaksi ini menjadi salah satu fenomena pergesekan pemahaman, tertutama bagi saya yang belum pernah mengunjungi Negara Arab.
Pemahaman toleransi sangat terlihat selain dari pakaian, etika, dan tata krama pergaulan selalu menjunjung tinggi nilai universal yang berlaku di dunia global. Keharmonisan menjadi cerminan kehidupan masyarakat UEA.
Kehidupan sosial UEA
Kunjungan akademik saya diawali dengan kecemasan budaya. Saya belum pernah ke Arab dan memiliki rasa penasaran dengan keberagaman model pendidikan Arab yang dipengaruhi Barat. Atas motivasi akademis, saya mengandalkan keberanian dan idealisme karena saya sebagai pengajar komunikasi antarbudaya yang dilatarbelakangi budaya Cina memilih strategi pendekan agama dan bahasa Arab plus diperkuat dengan wajah yang dapat ditafsirkan dengan raut Arab-India.
Strategi komunikasi antarbudaya saya gunakan untuk berkomunikasi dengan berbagai bangsa yang ada di ruang seminar dan lokasi wisata di sekitar Dubai, Syarjah, dan Dibba.
Jika berbicara dengan orang berpakaian Arab, saya coba sapa dengan bahasa Inggris plus Arab atau sebaliknya. Jika lawan bicara menggunakan pakaian ala Barat saya gunakan bahasa Inggris. Fenomena ini menjadi strategi pengumpulan informasi tambahan selain pengamatan untuk bahan komunikasi antarbudaya Barat-Arab.
Amatan saya selama di Dubai sangat menyenangkan, selain interaksi antarwarga sangat harmonis dengan memperlihatkan pergaulan modern baik laki-laki maupun perempuan, mereka hidup dengan memperlihatkan iklim toleransi dalam komunitas yang plural.
Jika dilihat, banyak pelancong menikmati kehidupan yang saling menghormati. Ada yang membawa anjing dan terkadang ada yang menggendongnya. Fenomena ini terlihat dari dari gaya hidup bukan warga Uni Emirat Arab asli.
Secara wajah dan budaya lebih kebarat-baratan. Namun, kebebasan itu menjadi pengalaman bagi saya dalam pengamatan budaya di Timur Tengah.
Fenomena menarik lainnya adalah kehidupan di Dibba, Syarjah, terlihat banyak warga Arab asli. Yang laki-laki mayoritas memakai pakaian Arab, sedangkan wanita ada yang memakai cadar. Amatan ini sangat berbeda dengan di Kota Dubai yang serbamodern. Kehidupan dan gaya Arab sangat kentara di pinggir-pinggir kota. Mereka berbicara dengan bahasa Arab dan lebih memprioritaskan menyantap makanan Arab.
Pekerja migran
Kehausan akademik menjadi motivasi utama saya dalam petualangan budaya ini sehingga amatan interaksi budaya menjadi ruh perjalanan di Timur Tengah. Interaksi dan komunikasi yang dibangun di Dubai berdasarkan kemampunan berbahasa Inggris sekadarnya, sehingga komunikasi berlangsung cepat dengan berbagai ragam budaya di dunia.
Bahasa utama digunakan di Dubai adalah bahasa Inggris, maka semua pekerja yang ada dapat menggunakan bahasa Inggris. Pekerja hotel umumnya berasal dari India, Pakistan, dan Bangladesh. Jika saya berbicara dengan karyawan hotel umumnya mereka menebak saya orang India atau Pakistan.
Amatan singkat saya, baik sopir taksi, karyawan toko, hotel, dan restoran semua dari India, Pakistan, dan Bangladesh dan sangat sedikit dari Indonesia.
Pekerja professional di UEA berasal dari seluruh dunia, termasuk dari Indonesia. Saya berjumpa dengan seorang karyawan dari Indonesia yang bekerja di perusahan teknologi informasi. Ia menyebutkan bahwa bekerja di UEA menjadi tantangan dan memberi pengalaman tersendiri karena selain jauh, gajinya juga tinggi.
Pemuda Indonesia yang mempunyai keterampilan sangat terbuka untuk bekerja di UEA. Demikian juga saya dijamu oleh para imam dari Aceh, yaitu Ustaz Agusri, lulusan Prodi Bahasa Arab Tarbiyah UIN Ar-Raniry dan Umdurman yang menjadi imam di Dibba, serta Imam Fakhrurazi, lulusan Al-Azhar Mesir yang menjadi imam di Syarjah.
Menariknya, di negara Arab yang kaya, banyak yang bekerja di perusahaan dan pemerintahan sehingga sedikit yang mau jadi imam, karena terikat dengan jadual shalat harus sehingga tidak boleh ke mana-mana.
Keberagaman dalam hal agama ada masjid yang membaca bismillah suara nyaring dan ada yang membaca tidak nyaring.
Kehidupan sosial
Kehidupan dan kekhasan UEA adalah kuatnya pemerintahan monarki yang berbentuk federasi, yaitu Abu Dhabi, Ajman, Dubai, Fujairah, Ras al-Khaiman, Sharjah, dan Umm al-Qaiwin.
Setiap keamiran dipimpin seorang syekh dan bersama membentuk Dewan Federasi Tertingi. Salah satu dari syekh menjabat sebagai Presiden UEA.
Agama resmi di UEA adalah Islam dan bahasa resminya bahasa Arab.
Seminar internasional yang mengusung tema besar lingkungan hidup dibuka oleh keluarga kerajaan dengan menyanyikan lagu kebangsaan Uni Emirat Arab. Sementara kita terbiasa dengan tradisi pembukaan seminar di Aceh umumnya dimulai dengan pembacaan ayat Suci Al-Qur'an dan ditutup dengan doa. Ini seperti dunia terbalik dalam pandangan saya yang sudah mentradisi hidup dalam budaya Aceh.
Kehidupan sosial yang terbangun di UEA terlihat sangat tasamuh, karena saya sempat mengamati satu sekolah unggul di Dibba yang dibina oleh orang India dengan bahasa pengantar bahasa Inggris. Siswa sekolah ini sangat beragam, baik wajah muridnya, pakaian, etnis, maupun kebangsaannya. Artinya, siswa sekolah unggul ini ada yang beragama Islam, Kristen, Hindu, ataupun yang lainnya.
Konsep tasamuh terlihat dari pendidikan, budaya, dan ekonomi. Sedangkan sistem pemerintah sangat kuat dengan sistem monarki yang berbentuk keamiran. Artinya, kekuasaan dan politik dipegang oleh kerajaan dengan berkolaborasi dengan budaya Barat. Sentuhan Barat terhadap budaya di UAE dapat membentuk budaya Arab modern dalam bidang ekonomi dan budaya. < araniusman@yahoo.com>
Citizen Reporter
Penulis Citizen Reporter
Penulis CR
Gesekan Budaya di Abu Dhabi
Abdul Rani Usman
Uni Emirat Arab
Abu Dhabi
Aplikasi 'Too Good To Go' Upaya Belgia Kurangi Limbah Makanan |
![]() |
---|
Kisah Sungai yang Jadi Nadi Kehidupan di Kuala Lumpur |
![]() |
---|
Mengelola Kehidupan Melalui Kematian: Studi Lapangan Manajemen Budaya di Londa, Toraja |
![]() |
---|
Saat Penulis Sastra Wanita 5 Negara Berhimpun di Melaka |
![]() |
---|
Saat Mahasiswi UIN Ar-Raniry Jadi Sukarelawan Literasi untuk Anak Singapura |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.