Opini

Menumbuhkan Inisiatif pada Anak

Lemahnya inisiatif di sini bukan tentang lemahnya kemampuan berpikir, namun lebih kepada perasaan tergugu atau mendadak membeku saat ada peristiwa yan

Editor: mufti
IST
Hayail Umroh, Dosen Psikologi Keluarga, dan Duta Kesehatan Mental Dandiah 

Hayail Umroh, Dosen Psikologi Keluarga, dan Duta Kesehatan Mental Dandiah

TIDAK sedikit orang tua mengeluh tentang anak remajanya yang tidak memiliki inisiatif tinggi. Kebanyakan orang tua merasa geram ketika mendapati anaknya lambat merespons baik dalam tindakan maupun berpikir. Umumnya ciri anak yang tidak inisiatif ialah cenderung diam dan lambat dalam merespons atau menanggapi kebutuhan orang di sekitarnya, bahkan terhadap kebutuhan dirinya sendiri.

Lemahnya inisiatif di sini bukan tentang lemahnya kemampuan berpikir, namun lebih kepada perasaan tergugu atau mendadak membeku saat ada peristiwa yang sebenarnya dibutuhkan inisiatif merespons dan gerak cekatan sang anak untuk bertindak ketika melihat kejadian atau adanya suatu kebutuhan.

Tokoh psikologi Perkembangan, Erickson, mengatakan bahwa inisiatif pada anak muncul dan berkembang di usia 3 hingga 6 tahun. Ini adalah fase ketiga dari delapan fase perkembangan psikososial atau perkembangan psikologis seseorang dalam bersosialisasi.

Inisiatif muncul setelah terbentuknya kemandirian anak di fase kedua, yakni usia 1 hingga 2 tahun. Di usia ini, anak terlihat ingin melakukan banyak hal sendiri, dari makan, minum, menyikat gigi, memegang gelas, mandi bahkan memilih baju dan berpakaian sendiri. Inisiatif muncul akibat dari kemampuan berpikir kreatif dan kebutuhan gerak anak yang tinggi dengan tujuan untuk mempelajari atau menguasai hal baru, selain itu, di fase ini juga anak mengevaluasi dirinya sendiri, apakah dia mampu mengawal dirinya sendiri untuk berbuat sesuatu dan mungkin menjadi pemimpin bagi yang lain.

Pada usia 3 tahun, anak cenderung melakukan aktivitas berdasarkan minat dan kebutuhannya. Misalnya, seorang anak akan mencari kursi dan mendorongnya menuju meja makan untuk menggapai botol susu atau makanan yang dia inginkan, tanpa memperhatikan risiko atau aspek bahaya di balik perbuatannya. Bisa saja kursi yang dia ambil adalah kursi yang telah rusak dan sebagainya.

Contoh yang lain, seorang anak mengambil pisau dari dapur, membawanya ke halaman rumah dengan niatan untuk membantu kucing yang terjerat tali plastik, tanpa memperhatikan tajamnya pisau yang dibawanya dan bisa saja melukainya saat dia terjatuh. Karena alasan keamanan inilah terkadang orang tua atau pengasuh kerap melarang anak-anak melakukan perilaku inisiatif yang muncul dalam dirinya.

Akibat seringnya anak dilarang dan tidak dimengerti kebutuhannya untuk melakukan hal-hal tersebut. Inisiatif anak pun bisa terhambat bahkan mati. Ketika anak ingin makan sendiri, orang tua melarang dengan alasan berantakan, lengket, lantai kotor dan sebagainya. Ketika anak memilih bajunya sendiri untuk dipakai, orang tua melarang dengan alasan bajunya tidak bagus, bolong, bernoda, sempit dan sebagainya.

Padahal mungkin dengan memakai baju pilihannya itu, kepercayaan dirinya meningkat, sebab dia merasa bangga karena sudah bisa memilih baju sendiri yang akan dipakainya, meskipun itu bernoda dan sebagainya. Orang tua sendirilah yang akhirnya menjadi penghambat dari munculnya kemandirian dan sikap inisiatif anak. Anak yang dihambat kemandiriannya akan mengembangkan perasaan malu dan ragu-ragu dalam bertindak.

Sementara anak yang dihambat inisiatifnya akan mengembangkan perasaan bersalah. Apalagi sering disalahkan karena inisiatifnya yang tidak sesuai dengan cara kerja mereka sebagai orang dewasa. Sehingga anak enggan mencoba lagi dan pasrah dengan aturan orang tua. Mereka menjadi pasif sebab inisiatifnya selalu dipatahkan dengan kritikan, omelan, dan pendapat yang mengungkung kreatifitasnya.

Anak yang sering mendapatkan hambatan berpikir dan bertindak dari orang tua melalui pengasuhan yang kurang suportif, kurang mampu melihat niat baik dari inisiatif anak, pengasuhan yang kurang mampu mengarahkan dengan positif dan menghargai niatan baik anak dan cenderung hanya melihat pada risiko atau bahaya yang anak lakukan, akan membentuk anak dengan jiwa yang rentan merasa bersalah, malu dan ragu-ragu untuk melakukan sesuatu berdasarkan inisiatifnya.

Kemandirian dan inisiatif

Di fase berikutnya, baik itu usia sekolah atau pun remaja, fase di mana anak-anak seharusnya haus akan keinginan untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan, berkompetisi dan menjajal kemampuan dirinya dengan mengikuti berbagai perlombaan, kegiatan dan sebagainya, menjadi sosok yang rendah akan minat mencoba bertemu banyak orang, enggan terlibat dengan hiruk pikuk prestasi.

Bahkan orang tua mengeluhkan anaknya yang tidak memiliki inisiatif untuk berprestasi, tidak memiliki kemauan untuk berjuang, berkompetisi dan mempertunjukkan kemampuan dan kebiasaannya di muka umum. Orang tua kerap menyalahkan anak saat mereka tidak tergerak untuk mau berpartisipasi dengan aneka kegiatan di sekolah.

Mereka merutuk dan seakan putus asa saat anaknya hanya ingin sendiri, di rumah, di kamar enggan bersosialisasi dan menjadi percaya diri menantang dunianya yang seharusnya berseri. Jangankan untuk hadir dan bersinar dengan segudang prestasi di luar rumah, di dalam rumah pun anak kerap menjadi remaja yang terlihat pendiam, manut, patuh. Namun kurang kreatif memunculkan inisiatif dari olah pikirnya. Anak harus selalu disuruh terlebih dahulu, ibarat paku yang harus selalu dipalu agar bergerak, menancap dalam ke dalam kayu.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved