Jurnalisme Warga

Menelisik Taman Sari di Aceh dan Yogyakarta

Di setiap kerajaan dan kesultanan sering ditemukan tempat pemandian khusus atau dapat juga disebut sebagai taman bermain keluarga raja. Tempat tersebu

Editor: mufti
IST
MELINDA RAHMAWATI, Mahasiswi Pendidikan IPS Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, melaporkan dari Daerah Istimewa Yogyakarta 

MELINDA RAHMAWATI, Mahasiswi Pendidikan IPS Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, melaporkan dari Daerah Istimewa Yogyakarta

Di setiap kerajaan dan kesultanan sering ditemukan tempat pemandian khusus atau dapat juga disebut sebagai taman bermain keluarga raja. Tempat tersebut didesain dengan sangat eksklusif, menyenangkan, dan menenangkan untuk berekreasi.

Dalam perjalanan saya kali ini ke Kota Pelajar Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, saya juga menyempatkan diri untuk menengok kolam air Taman Sari di daerah Patehan (masih dalam kawasan lingkungan keraton). Seperti biasa, perjalanan saya dalam rangka menghadiri kegiatan akademik yang diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan Tingalan Jumenengan Dalem (Perayaan Kenaikan Takhta) Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas.

Kegiatan International Symposium on Javanese Culture 2024 yang diselenggarakan di Royal Ambarukmo Hotel pada 9-10 Maret 2024, membuat saya harus berangkat dari Jakarta menuju Yogyakarta pada tanggal 8 Maret dengan kereta api Argo Semeru pukul 06.20 pagi. Padahal, tanggal 7 Maret saya baru tiba dari Bandung setelah rekreasi bersama teman-teman Muhammadiyah Jakarta.

Kelelahan fisik yang tidak terkira sedikit sirna dengan pemandangan padi di sepanjang jalan dari Jawa Barat yang masih menghijau, kemudian memasuki daerah Jawa Tengah padinya sudah mulai merunduk dan menguning. Jalur kereta api yang melintasi jalur utara pantai Pulau Jawa menyisakan banyak sekali kesan yang menginspirasi untuk dituliskan.

Ketibaan di Stasiun Tugu, Yogyakarta, pukul 12.56 sesuai rencana yang telah saya agendakan. Perjalanan dilanjutkan menuju daerah Patehan. Kolam Air Keraton Taman Sari menjadi destinasi paling awal yang saya kunjungi sebelum masuk tempat penginapan. Motivasi utama yang mendorong saya untuk berkunjung ke Taman Sari ini tidak lain adalah terkait dengan sisi lain dari Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang belum banyak diketahui publik. Tempat ini menjadi semakin menarik dengan banyaknya bangunan di dalam kawasan Taman Sari tersebut. Dimulai dari Gapura Agung sebagai titik pertemuan utama setelah gerbang masuk, lalu ke sisi kiri terdapat Gedong Carik, Pasarean Ledoksari, dan Gapura Umbulsari. Ke sisi kanannya terdapat puka Sumur Gumuling, Pulau Cemeti, dan Urung-Urung.

Mendengar nama Taman Sari, saya masih terbayang dengan sebuah tempat yang belum selesai saya eksplorasi selama melancong ke Banda Aceh, yakni Taman Sari. Taman yang dulunya satu hamparan dengan Taman Putroe Phang, Pinto Khop, dan Gunongan itu menjadi sebuah tempat yang merupakan monumen cinta Sultan Iskandar Muda kepada Putroe Phang, asal Pahang, Malaysia. Berawal dari ingatan tersebut, serta rasa penasaran terhadap sisi lain bangunan keraton yang menyimpan sejuta cerita, saya melangkahkan kaki ke Kolam Air Keraton Taman Sari Yogyakarta ini.

Dilansir dari situs resmi kratonjogja.id., Taman Sari diartikan sebagai taman yang indah. Mulanya merupakan taman atau kebun istana Keraton Yogyakarta. Dibangun secara bertahap, dimulai pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Pembangunannya dimulai tahun 1758 M yang dalam perkembangannya memiliki luas total lebih dari 10 hektare. Terdapat 57 bangunan di dalamnya.

Bangunan-bangunan tersebut terdiri atas gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, danau buatan, pulau buatan, masjid, dan lorong bawah tanah. Dengan banyaknya kolam dan unsur air yang mengelilingi tempat tersebut, maka Taman Sari dijuluki sebagai Water Kasteel. Di sisi lain, banyaknya pepohonan dan bunga-bunga yang tumbuh dan ditanam di kebun yang berada di area Taman Sari, membuatnya juga dijuluki The Fragrant Garden.

Dalam sejarah pembangunannya, tempat yang selalu ramai oleh wisatawan baik dari domestik maupun macanegara ini memang didesain berdasarkan gagasan dari Sri Sultan Hamengku Buwono I sendiri. Kemudian, rancangan secara teknis dibuat oleh arsitek berkebangsaan Portugis yang umum dikenal dengan Demang Tegis. Adapun tokoh yang memimpin proyek pembangunan tempat bermain keluarga raja ini adalah Tumenggung Mangundipuro. Seiring waktu, kemudian digantikan oleh Pangeran Notokusumo.

Seperti yang telah disebutkan sebagai tempat yang dikelilingi oleh air, Taman Sari ini memiliki dua danau buatan. Satu berada di sisi timur dengan pulau buatan di tengahnya yang bernama Pulo Gedhong, dan satu berada di sisi barat dengan pulau buatan di tengahnya yang bernama Pulo Kenanga. Secara lanskap, kedua danau buatan ini dihubungkan dengan sebuah kanal yang memotong lorong penghubung antara Plataran Magangan dan Plataran Kamandhungan Kidul.

Taman Sari ini juga memiliki fungsi pertahanan dan fungsi religi. Fungsi pertahanan tampak pada tembok keliling yang tebal dan tinggi, gerbang yang dilengkapi tempat penjagaan, dan ‘bastion’ atau tulak bala sebagai tempat menaruh persenjataan. Terdapat pula jalan bawah tanah yang menghubungkan satu tempat ke tempat lain dan tempat pengamatan apabila musuh datang.

Fungsi religi ditunjukkan oleh adanya bangunan Sumur Gumuling dan Pulo Panembung. Sumur Gumuling yang berbentuk melingkar difungsikan sebagai masjid, sedangkan Pulo Panembung digunakan oleh sultan sebagai tempat untuk bermeditasi.

Awalnya, bangunan Taman Sari ini menghadap ke barat sehingga lorong bagian depan (gledegan) terletak di sebelah selatan dari Plengkung Jagabaya (Plengkung Tamansari). Adapun segarannya memiliki lorong depan lurus ke utara sampai di Plengkung Jagasura (Plengkung Ngasem). Sayangnya, pada tahun 1867 semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI, terjadi gempa besar yang meruntuhkan cukup banyak bangunan di Yogyakarta. Termasuk, kompleks bangunan Taman Sari ikut terdampak dan mengalami kerusakan yang cukup parah. Hingga sempat menjadi bangunan yang terbengkalai. Hal itu yang menyebabkan banyak penduduk membangun hunian di antara bekas kebun dan puing bangunan.

Baru pada tahun 1977, dilakukan pemugaran secara serius pada bangunan kompleks Taman Sari ini. Namun, tetap saja hanya sedikit bagian dari bangunan yang masih bisa diselamatkan.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved