Kupi Beungoh

Makmeugang: Tradisi Bansos ala Sultan Aceh

Makmeugang menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Aceh untuk mempersiapkan kebutuhan makanan

Editor: Amirullah
For Serambinews
Teuku Alfin Aulia, Mahasiswa Prodi IAT FUF UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Founder Halaqah Aneuk Bangsa 

Pemberian bantuan sosial dilakukan sebanyak 3 kali dalam setahun, dua hari sebelum Ramadhan, dua hari menjelang Idul Fitri, dan dua hari sebelum perayaan kurban, pemilihan hari-hari tersebut sangatlah tepat karena bertepatan dengan momentum-momentum yang membuat pasar menjadi sangat konsumtif, sehingga peredaran uang dapat berlangsung dengan baik.

Jika dikalkulasikan keseluruhannya maka setiap tahunnya penerima bansos mendapatkan bantuan sebesar Rp.11,700,000 dari negara, hal ini lebih besar dari besaran maksimal penerimaan bansos yang diberikan pemerintah Indonesia setiap tahunnya yang hanya mencapai batas nominal tertinggi Rp. 3,000,000.

Penyaluran Bansos Ini kemudian dilakukan secara teratur oleh setiap gampong (desa), dan diawasi secara langsung oleh mukim dan pejabat terkait, agar tak diselewengkan dan salah sasaran.

Program bantuan sosial (bansos) ini terus berlangsung secara turun temurun sebagai program tahunan negara Hingga kemudian berlangsungnya perang Aceh ditahun 1873 dan berakhirnya kekuasaan Sultan ditahun 1903.

Sejak saat itu tradisi yg sudah mengakar ini tetap terus dilaksanakan meski tak lagi diemban oleh negara seperti sediakalanya. Pola kultur Masyarakat yang sejak awalnya menyambut kedatangan hari makmeugang dengan antusias dan gembira membuat tradisi ini terus dipelihara hingga saat ini meski sudah jauh dari esensi tujuan sebelumnya.

Pada awalnya hari Makmeugang tak hanya familiar dengan daging saja, namun dalam perubahan esensi dan penyesuaian kondisi, tradisi makmeugang kemudian hanya dikenal dengan kehadiran pasar daging diberbagai tempat keramaian, antusiasme masyarakat dalam membeli daging pada hari tersebut juga tinggi meskipun harga daging dihari makmeugang lebih tinggi dari harga biasanya.

Jika pada awalnya keberadaan tradisi Makmeugang ditujukan dan dinikmati oleh kalangan bawah yang terpinggirkan, serta mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan, kini rasanya tradisi ini semakin sulit dinikmati oleh masyarakat golongan bawah.

Kehadiran makmeugang sebagai salah satu program bantuan sosial negara yang menyetarakan si kaya dan si miskin di hari-hari besar tersebut, kini mengerucut dan mulai tergerus nilai kesakralannya sedikit demi sedikit, serta hanya sedikit sekali dapat dinikmati oleh mereka yang berada dibawah garis kemiskinan.

Harga daging yg melonjak tinggi terutama di hari-hari meugang semakin membuat polarisasi sosial diantara masyarakat yang mampu dan kurang mampu.

Selama periode Makmeugang, harga daging nyaris melonjak mencapai harga tertingginya pertahunnya.

Hal ini terjadi karena permintaan yang tinggi dihari tersebut kini semakin tak sebanding dengan ketersediaan stok sapi yang terbatas.

Dalam kondisi seperti ini, peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam menjaga ketersediaan stok sapi dan menekan harga daging yg melonjak tinggi setiap momentum megang.

Pemerintah Aceh dengan segala Kekhususannya harusnya kembali berupaya menjaga tradisi makmeugang ini dengan menjaga stabilitas harga bahkan turut memberikan insentif serupa dengan apa yang telah dijalankan sebelumnya oleh para sultan Aceh, sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam Qanun Meukuta Alam.

Penulis sangat yakin pemberian bansos ala Sultan Aceh ini sangat dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat kurang mampu, bahkan juga turut berdampak bagi perkembangan roda ekonomi masyarakat secara menyeluruh.

Penulis: Teuku Alfin Aulia adalah seorang mahasiswa prodi IAT FUF UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Juga Selaku founder Halaqah Aneuk Bangsa sebuah forum yang bergerak di bidang sosial dan kemasyarakatan, email: teukualfinaulia11@gmail.com

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved