Kupi Beungoh

Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029 - XVII: Aceh -Jakarta,Muzakir, Van Heutz, Pusat Kekuasaan

Kasus Kilang LNG Arun, di Blang Lancang adalah bukti sejarah betapa kedekatan penguasa daerah dengan pimpinan nasional adalah faktor yang sangat krusi

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Sosiolog dan Guru Besar USK, Prof Ahmad Humam Hamid 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

Muzakir berangkat ke AS ditemani oleh Ibrahim Hasan, pengajar Fakultas Ekonomi USK- kelak menjadi gubernur Aceh ke 13.

Menurut pengakuannya, awalnya ia ingin mengajak Majid Ibrahim- gubernur Aceh ke 11, namun karena mereka sebaya, Muzakir memilih Ibrahim yang lebih muda.

Muzakir dan Ibrahim tiba di Houston, Texas pada awal musim gugur 1973, tepatnya pada Sabtu tanggal 15 November.

Setelah beristirahat hari minggu, esoknya senin pagi, kedua mereka diterima oleh pimpinan tertinggi Mobil Oil.

Muzakir sangat fasih bahasa Inggris-ia juga menguasai bahasa Belanda, mulai menyampaikan tentang kesiapan Aceh untuk pembangunan Kilang LNG Arun di Blang Lancang.

Ia juga menyampaikan apa yang telah dan akan dilakukan oleh Aceh dalam menyambut beroperasinya kilang LNG itu.

Menurut cerita Ibrahim, kefasihan bahasa Inggris Muzakir, berikut dengan cara ia menyampaikan tentang kesiapan Aceh, bahkan tentang harapan prospek ekonomi Aceh jika kilang itu beroperasi, membuat CEO Mobil Oil sangat terkesan.

Sebagai mantan profesional bisnis, gaya bahasa Muzakir tentang logika bisnis dan kepentingan berbagai pemangku kepentingan membuat CEO semakin yakin akan alasan-alasan Muzakir.

Ketika sampai pada cerita terbunuhnya Insinyur berkebangsaan AS di lapangan, Muzakir berargumen bahwa hal itu dilakukan oleh orang gila.

Surat keterangan tentang orang gila itu ditulis oleh Dinas Kesehatan Aceh, yang diminta khusus oleh gubernur untuk “kepentingan” daerah- menurut beberapa informasi pembunuhan itu terkait dengan gerakan bersenjata Aceh Merdeka yang secara formaliza dinyatakan tiga tahun kemudian.

Baca juga: Direksi Perta Arun Gas Temui Gubernur Aceh, Rencana Bangun Cold Storage LNG Kedua di Dunia

Muzakir bahkan menceritakan pengalaman aliran minyak Aceh ke Pangkalan Berandan yang sempat membuat masyarakat Aceh kecewa pada masa kolonial Belanda.

Muzakir kemudian menceritakan tentang sejarah panjang Aceh berinteraksi dengan bangsa-bangsa asing, terutama Eropah, dan bahkan AS

Ia hafal sejarah perdagangan lada Kuala Batee dengan Kota Salem, di negara bagian Massachusetts,AS pada abad ke 18.

Ia mengakui ada sejarah perang melawan Belanda dan Jepang, dan sedikit konflik antar Aceh dan Jakarta. Tetapi itu semua telah selesai dan menjadi sejarah.

Dia meminta dengan sangat persuasif, agar kebijakan Mobil Oil dalam berbagai hal, termasuk penentuan lokasi kilang itu, dapat mempercepat normalisasi ekonomi lokal.

Ia bahkan memberikan jaminan akan memberikan perhatian khusus kepada sektor keamanan, karena sebagai mantan tentara, ia tahu apa makna keamanan untuk perusahaan multi nasional sekelas Mobil Oil pada masa itu.

Setelah berdiskusi lebih dari satu jam, akhirnya CEO Mobil Oil memberi signal awal bahwa rencana pemindahan lokasi Kilang LNG Blang Lancang ke Pangkalan Berandan akan ditinjau ulang .

Mobil Oil akan mendiskusikan kembali dengan pemerintah pusat dan para pemegang saham Kilang LNG itu.

Muzakir agak sedikit lega, dan kemudian kembali ke tanah air. Ia kini menunggu keputusan akhir tentang rencana pemindahan lokasi Kilang LNG itu.

Baca juga: Projo Dukung Mualem Maju Sebagai Calon Gubernur Aceh, Ini Pesan Budi Arie

Ia telah melapor kepada Soeharto. Sang Presiden hanya menganguk-nganguk mendengarkan laporan pertemuan Muzakir dengan eksekutif Mobil Oil di Houston.

Beberapa hari kemudian, Ibrahim datang menemui Muzakir, menyampaikan berita dari dosennya, Profesor Sadli yang menjadi Menteri Pertambangan pada waktu itu.

Keputuan bersama pemerintah dan Mobil Oil, lokasi Kilang LNG Arun tetap di Blang Lancang.

Segera setelah Ibrahim menyampaikan berita gembira itu, Muzakir menerima telepon berturut turut dari Menteri Pertambangan, Pertamina, dan Mobil Oil jakarta tentang Klang LNG Arun Blang Lancang itu.

Ia lega, sebuah tugas besar sejarah telah ia lakukan.

Kasus Kilang LNG Arun, di Blang Lancang adalah bukti sejarah betapa kedekatan penguasa daerah dengan pimpinan nasional adalah faktor yang sangat krusial terhadap nasib daerah.

Kedekatan Muzakir dengan pak Harto didapatkan dan didahului oleh kepercayaan Presiden kepada sang gubernur.

Pak Harto tahu benar dan yakin terhadap komitmen kebangsaan Muzakir dan kemampuannya membangun Aceh.

Tidak gampang pada saat itu, seorang gubernur dengan mudah menemui presiden untuk menyampaikan hal-hal sensistif tentang kepentingan nasional.

Sangat jarang para gubernur menyampaikan sesuatu yang berurusan dengan kewibawaan pemerintah pusat.

Apalagi dalam kasus seperti kilang LNG Arun yang merupakan sumber uang negara. Pak Harto pada masa itu layaknya malaikat yang sangat ditakuti dan disegani

Muzakir memang mendapatkan ujian yang sama dengan Jenderal Van Heustz dalam sektor Migas , terutama dalam pilihan lokasi kilang pengolahan.

Mereka berdua menanti vonis akhir dari atasan mereka, Van Heutsz gagal, karena tak dekat dengan pusat kekuasaan di Batavia dan Amsterdam.

Baca juga: Bustami Masuk Survei NasDem Sebagai Calon Gubernur Aceh pada Pilkada 2024

Muzakir berhasil karena dekat, didengar, dan dipercaya oleh pemegang kekuasaan tertinggi.

Ia berhasil meyakinkan atasannya tentang penentuan lokasi Kilang LNG Arun di Blang Lancang.

Perbedaan van Heustz dengan Muzakir Walad dalam koteks kedekatan dan kepercayaan penguasa teringgi hanya ada pada dua tiga kata. Muzakir dekat, dipercaya, dan didengar. Van Heustz? antonim dari ketiga kata itu.

Tak ada keterangan yang banyak dan lengkap tentang kenapa Muzakir sangat dekat dan di percaya oleh Suharto.

Ada yang menduga karena beberapa hal. Pertama , Muzakir dianggap dan dipercaya oleh Suharto mampu berkomunikasi dengan baik dengan beberapa “orang penting” DI/TII, terutama Tgk Daud Beureueh dan kawan kawannya yang baru saja bergabung kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

Kedekatan itu sama sekali tidak mengurangi komitmen dan kesetiaan kebangsaan Muzakir terhadap NKRI.

Muzakir sangat tegas dan tidak akan tedeng aling-aling, kalau sudah menyangkut dengan ideologi kebangsaan Pancasla dan keutuhan NKRI.

Namun ia juga sangat hormat, sopan, dan persuasif, ketika berinteraksi dengan Beureueh dan pengikutnya.

Muzakir juga dianggap piawai oleh Soeharto, karena mampu memanfaatkan keahlian putra-putra Aceh yang mengabdi di USK dan IAIN ArRaniry.

Dua persoalan besar nasional ,yakni pendekatan pembangunan tehnokratis untuk tingkat lokal dan kerukunan ummat beragama , mendapatkan solusinya di Aceh dalam bentuk nyata dibawah kepemimpinan Muzakir.

Ketika Soeharto berkuasa dan menjadikan pembangunan sebagai “ideologi kedua” setelah Pancasila, ia merekrut staf pengajar UI, para ekonom untuk menjadi pembantunya untuk jabatan berbagai kementrian.

Kelompok itu terdiri dari Wijoyo Cs- Ali Wardana, Emil Salim, Sumarlin, Sadli, dan lain lain.

Kelompok itu mendominasi kementerian EKUIN dan Bappenas. Karena mereka umumnya lulus doktoral Universitas California di Berkeley, kelompok ini di gelar dengan “Mafia Berkeley”, dengan dapur pembangunannya adalah Bappenas.

Kepada kelompok inilah pak Harto menyerahkan tugas pembangunan untuk dilakukan dengan pendekatan tehnokratis. Mereka kemudian menjadi cikal bakal tehnokrat yang membuat tradisi tehnokratik Indonesia.

Baca juga: Tak Terawat, Begini Kondisi Masjid Peninggalan Eks Gubernur Aceh Prof Ibrahim Hasan, Dibangun 2005

Terlepas baik buruknya pendekatan tehnokrasi Soeharto, Indonesia yang hari ini menjadi anggota G20, berutang pada pak Harto.

Apapun kemajuan pembangunan hari ini sama sekali tak dapat dilepaskan dari fondasi pembangunan yang dibangun rezim Soeharto selama 30 tahun lebih dengan pertumbuhan ekonomi di kısaran 7 persen pertahun.

Ketika Suharto memerintah dengan cara otoriter, maka pilihan pendekatan pembangunan yang paling ideal adalah pendekatan tehnokratis dimana pembuat kebijakan dipilih berdasarkan keahlian dan ketrampilan.

Keputusan yang dibuat didasari pada metodologi objektif, bukan berdasarkan opini publik. Apa yang dilakukan oleh Soeharto ditingkat nasional dilakukanpada tingkat lokal oleh Muzakir Walad dengan sangat cerdik.

Satu diantara “Mafia Berkeley” itu adalah Majid Ibrahim yang pulang ke Aceh menjabat sebagai Rektor USK.

Ketika Majid dan kawan-kawannya diminta oleh Muzakir untuk membantu perencanan Aceh, mereka sepakat untuk membuat sebuah lembaga baru yang bernama Aceh Development Borad-ADB.

Lembaga itu dengan kipiawaian Majid mampu membangun “pendekatan tehnokrasi” untuk tingkat lokal, dalam hal ini propinsi Aceh.

Pemerintah pusat kemudian mengambil model Aceh ini untuk diterapka di seluruh Indonesi pada tahun 1974.

Bappeda kemudian menjadi semacam Bappenas mini di tingkat propinsi, bahkan kemudian dilanjutkan dengan Bappeda tungkat kabupaten kota.

Hal lain yang mengesankan pak Harto kepada Muzakir adalah kemampuanya membangun sebuah lembaga keagamaan-islam non politis yang sangat dibutuhkan oleh pemerintah.

Bagi pak Harto sebagai sebuah negara yag sangat majemuk dengan partarungan ideologi dan agama pada masa Soekarno, upaya membangun negara akan sangat tergangu bila tidak ada harmonisasi agama-utamanya agama Islam dengan pemerintah lingkungannya.

Muzakir juga merasakan hal yang sama, lebih-lebih di Aceh. Ia memanggil para pemangku kepentingan, utamanya para ulama modernis dan staf pengajar IAIN ArRaniry untuk mecari bentuk hubungan keserasian dengan tiga komponen yang kompleks.

Kompleksitas itu adalah hubungan sesama umut islam yang berlainan tradisi dan mazhab, hubungan umai islam dengan penganut agama lain, dan hubungan umat islam dengan pemerintah.

Lembaga itu bernama Majelis Permusyawaratan Ulama dengan ketua pertamanya Tgk Haji Abdullah Ujong Rimba- seorang ulama hebat lulus Ummul Aura Makkah awal abad ke 20.

Baca juga: VIDEO - Jelang Pilkada, Tujuh Partai Politik Bentuk Koalisi Meusaneut

Lembaga itu mengesankan pemerintah pusat yang sedang mencari bentuk kelembagaan yang berurusan dengan kerukunan ummat beragama-dalam hal ini terutama agama Islam Islam sebagai agama mayoritas, interaksi antar ummat beragama, dan juga hubungan ummat dengan pemerintah.

Di bawah kepemimpinan Muzakir dan dibantu oleh berbagai pemangku kepentingan lainnya, Aceh menemukan lembaga itu yang bernama Majelis Permusyawaratan Ulama.

Ketika diadopsi ketingkat nasional, lembaga itu dirobah namanya menjadi MUI-Majelis Ulama Indonesia.

Ada respon kreatif lain yang dilakukan Muzakir, terutama ketika ia berjani kepada Mobil Oil tentang bentuk keamanan.

Semenjak keputusan lokasi Kilang LNG Arun di Pemerintah pusat kemudian memutuskan untuk membentuk satuan pasukan khusus.

Satuan itu bertugas melakukan pengamanan beroperasinya produksi LNG baik dalam eksplotais maupun dalam proses di Kilang Blang Lancang.

Semenjak itu ladang Arun, Kilang LNG Blang Lancang, beberapa tahun kemudian pabrik pupuk AAF mendapat julukan proyek vital.

Artinya semua entitas eksplorasi dan industri itu dikategorikan sebagai proyek vital nasional untuk pundi-pundi keuangan negara dan pembangunan daerah. Karena nya proyek mendapatkan penugasan satuan pengamanan khusus dari TNI.

Banyak yang tak tahu, Provit- protek vital itu adalah usul Muzakir Walad yang kemudian didiskusikan secara mendalam dengan Jenderal Maraden Panggabean- Panglima TNI pada masa itu, dan Jenderal Surono-KASAD TNI. Muzakir Walad tak pernah hilang kreativitasnya.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar USK

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved