Opini
Haji Ramah Lansia, Idealkah?
Tak etis untuk mengeluh apalagi memprotes karena sejati sejak awal telah didoktrin bahwa berhaji bukan bertamasya apalagi bersandiwara. Ini adalah iba
Tgk Akmal Abzal, Jamaah reguler Kloter BTJ-06
IBADAH haji ini adalah kesempatan berharga yang belum tentu dapat terulang dalam jangka waktu dekat1 karena daftar antrean membutuh waktu puluhan tahun bagi WNI. Maka perjalanan spiritual wajib sekali seumur hidup ini mesti dilakukan sepenuh hati untuk mengapai ridha-Nya.
Menyahuti tagline Kementerian Agama “Haji Ramah Lansia”, slogan dalam rangka pelayanan maksimal bagi jamaah lanjut usia. Tagline yang diiringi dengan pelayanan nyata kepada lansia layak diberi apresiasi kepada pemerintah karena jamaah lansia menjadi prioritas dalam banyak hal, tidak terkecuali di transportasi, fasilitas wukuf, agenda murur bahkan penyediaan hotel transit pra Arafah.
Semangat pemerintah melalui Kementerian Agama dalam melayani jamaah haji Indonesia tahun 2024 boleh dikatakan maksimal dan mengesankan kendati belum bisa disebut sempurna. Maklum kuota haji Indonesia tahun ini, terbesar sepanjang sejarah yaitu 241-an ribu jamaah.
Potret buram
Artikel ini sebatas mereview proses haji tahun ini, berdasar amatan langsung sebagai jamaah reguler di kelompok terbang (kloter BTJ 06). Semoga ke depan ada evaluasi dan kebijakan tegas dari pemerintah atas jamaah yang berstatus demensia, lanjut usia (lansia) dan risiko tinggi (resti) dengan pertimbangan beberapa hal berikut.
Satu, tingginya minat umat Islam berhaji saban tahun belum linear dengan daya tampung jamaah, konsekuensinya sangat berasa ketika wukuf di Arafah, mabit di Muzdhalifah maupun saat bermalam di Mina. Maktab mesti mengatur kasur untuk setiap jamaah kurang lebih 40-45 cm. Atas kasur seluas itulah jamaah melaksanakan shalat, makan, istirahat dan menyimpan barang bawaan sekaligus melaksanakan wukuf dan berdoa sebagai esensi sakral dari puncak haji.
Subhanallah terharunya wukuf, Allah memperlakukan setiap hamba setara, sederajat dan tidak ada beda antar suku, ras, profesi dan garis keturunan. Keharuan saat wukuf pasca menunaikan shalat dhuhur itu menggugah mata hingga menetes sarinya membasahi baju ihram. Wukuf menyadarkan kita bahwa kekayaan, kehormatan serta kedudukan tidaklah memberi pengaruh apa pun bahkan dengan bermodal dua lembar kain ihram kita ditempa untuk menyadari sekaligus memediasi hati mengapai ridha Allah.
Kedua, saat mabit di Muzdhalifah, di sini jamaah dimobilisasi dengan bus dari Arafah ke Muzdhalifah guna melewati pertengahan malam, selanjutnya jamaah digerakkan ke Mina untuk pelontaran jamarah aqabah yang bertepatan dengan hari nahar atau 10 Dzulhijjah. Di Mina inilah ujian fisik dan mental dimulai, keikhlasan, kesabaran dan ketulusan hati ditantang dengan selaksa rasa lelah dan letih. Tidak ada solusi alternatif kecuali bertawakal pada-Nya. Tantangan awal di pemondokan Mina bermula masalah suhu panas berkisar 45-50 derajat celcius, suhu yang kontras dengan iklim kita di Aceh, dengan suhu setinggi itu membuat alat pendingin dalam tenda bagai disfungsi maka kipas angin manual menjadi solusi.
Lain lagi dengan air di kamar mandi yang saban waktu berasa hangat bahkan tidak jarang terasa panas, antrean di toilet juga mengular, sampah sisa makanan berserakan, merokok dalam tenda, kasur yang tertumpahi makanan serta terinjak dan ini belum termasuk pampers dan sisa kotoran jamaah yang tercecer akibat gagal paham dalam menggunakan kran air yang serba modern. Pokoknya rumit, beragam hal terjadi, Mina benar-benar menguji kesabaran setiap penghuninya. Mengingat ke Mina bukan untuk berwisata dan berswaphoto maka potret-potret buram di depan mata di atas, terabai begitu saja dan selama tiga malam di Mina terus dinikmati penuh kesan dan kenangan.
Tak etis untuk mengeluh apalagi memprotes karena sejati sejak awal telah didoktrin bahwa berhaji bukan bertamasya apalagi bersandiwara. Ini adalah ibadah.
Ketiga, ujian berikutnya adalah jarak tempuh pelontaran jamarah. Titik pemondokan ke lokasi pelontaran bisa mencapai jarak 4-5 Km sekali jalan. Bolak-balik jamaah dari dan ke pemondokan Mina bisa saja terjadi tiga atau empat kali, tergantung nafar awal atau nafar tsani yang dipilih jamaah. Dalam suasana cuaca ekstrem dan jarak tempuh demikian jauh, sangat berisiko pada gagalnya pelontaran secara mandiri bagi jamaah lansia, demensia dan resti, akhirnya petugas harus mengambil alih atau mengatur pelontaran wakilah kepada jamaah yang lebih muda.
Keempat, tawaf dan sai, keduanya adalah rukun haji saling terikat, seusai tawaf langsung dilanjutkan sai dari safa ke marwah dan kedua rukun ini dilakukan dengan cara berjalan kaki atau melalui jasa pendorong dan lainnya. Jarak tempuh dalam mengelilingi tujuh putaran Ka’bah dan tujuh kali bolak-balik sai diperkirakan 5-7 Km jarak tempuh, ini pun jika dilakukan dilantai dasar atau seputaran Ka’bah dan akan bertambah jaraknya pula jika dilakukan dilantai dua, tiga dan selanjutnya. Rentetan ibadah di atas membuktikan tenaga menjadi kunci, kemapanan fisik adalah subtansi, sebaliknya kelemahan tenaga, keterbatasan fisik berpotensi tercecernya rukun dan wajib haji seseorang.
Tagline pemerintah “Haji Ramah Lansia” menunjukkan fakta lansia masih mendominasi jamaah haji setiap tahunnya. Lantas dengan fenomena penulis paparkan di atas, akankah lansia terus menjadi prioritas? Atau perlu kebijakan tegas pemerintah untuk mengatur kriteria ideal lansia yang layak diberikan keterangan Istita’ah (sehat) agar kehadiran mereka ke Tanah Suci tidak sebatas kehadiran fisik semata namun gagal melakukan rukun dan wajib haji sebagai esensi mengapai mabrur.
Banyak hal yang penulis dapati bahkan prihatin atas kondisi lansia dan resti selama proses rukun dan wajib dilaksanakan, mulai dari taharah yang tidak betul, menutup aurat yang keliru, ibadah tidak sempurna hingga persoalan privasi yang terumbar ke umum. Ini belum termasuk perilaku yang terjadi di luar nalar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.