Salam
Game Online dan Tiongkok
Itu sebab, pemerintah dan berbagai pihak harus bekerja ekstra keras, berkolaborasi untuk mencegah perjudian online itu terus menimbulkan korban.
Korban akibat game online terus berjatuhan. Mayoritas kasus perceraian di Aceh bahkan disebut-sebut akibat pasangannya hobi bermain game online. Itu yang terjadi di beberapa kabupaten di Aceh, termasuk di Abdya, sebagaiman ditulis media ini pekan lalu. Yang terkini, ada pemuda yang ingin bunuh diri. Pemuda asal Jantho ini berhasil diselamatkan setelah nekat melompat ke laut dari atas kapal Aceh Hebat 2 yang sedang berlayar ke Sabang, Sabtu (27/7/2024).
Tentu banyak kasus-kasus lain yang tak terungkap ke publik. Yang pasti, korbannya terus berjatuhan. Dan tampaknya, kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk membendung dampak game online itu masih terbatas. Mungkin karena sudah terlambat atau mungkin juga karena terlalu sulit untuk membendung di era digitalisasi saat ini.
Yang menarik, negara-negara lain yang konon punya perusahaan berkelas dunia dalam pembuatan aplikasi game online, justru mengalami dampak negatif yang lebih kecil bagi masyarakatnya sendiri. Misalnya saja Tiongkok. Kita tahu bahwa Cina punya Tencent Holdings, perusahaan game terbesar di dunia. Tiongkok juga punya NetEase, penyedia layanan internet dan game terkemuka yang berfokus pada konten premium.
Namun, meski jadi penyuplai banyak aplikasi game di dunia, pemerintah Tiongkok sangat tegas. Mereka takkan membiarkan warganya jadi korban game online, apalagi anak-anak. Sebagaimana ditulis kantor berita Reuters, sejak beberapa tahun silam Tiongkok telah membuat aturan guna mengatur warganya dalam bermain game online.
Regulasi tersebut mencakup kebijakan yang membatasi game daring bagi kaum muda hingga tiga jam dalam setiap minggu. Seperti juga dalam aturan sebelumnya tahun 2021, pemerintah mengizinkan pemain di bawah usia 18 tahun untuk bermain hanya antara pukul 20.00 dan pukul 21.00 pada hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Ya, sekitar 3 jam dalam seminggu. Perusahaan-perusahaan besar pembuat game pun, diatur sedemikian rupa, sehingga tak menjadikan warga, apalagi anak-anak, sebagai objek eksploitasi dengan peluncuran banyak game online.
Kita tentu tidak ada aturan seperti itu. Dan kalaupun ada, hampir pasti tidak akan mampu dijalankan. Sudah banyak bukti yang menunjukkan bahwa kalaupun kita mampu membuat aturan, jarang bisa mengeksekusinya. Kini kita bagaikan warga yang hanya menerima ‘nasib’ apes, karena gagal menyesuaikan diri dengan arus modernisasi. Beragam teknologi yang muncul justru memberikan dampak negatif yang tak mampu kita tekan.
Tentu bukan hanya di bidang game online, di bidang lain pun demikian. Berton-ton narkoba diproduksi di luar negeri, tetapi disuplai ke Indonesia. Para bandit itu tahu bahwa aparat Indonesia lemah, tidak akan mampu menjaga garis pantai, yang disebut terpanjang nomor dua di dunia. Itu sebab, barang-barang haram itu seakan tidak pernah habis. Korban di bidang ini pun terus muncul.
Pemicu lainnya karena ekonomi yang tak kunjung membaik, angka pengangguran sangat tinggi. Game online membius mereka sementara waktu, menenangkan hati sesaat di tengah sulitnya mencari pekerjaan, termasuk di Aceh. Sebagian lain memang semata-mata digunakan untuk berjudi, mencari penghasilan baru, padahal semua paham pemenang judi itu adalah bandar, bukan pemainnya.
Itu sebab, pemerintah dan berbagai pihak harus bekerja ekstra keras, berkolaborasi untuk mencegah perjudian online itu terus menimbulkan korban. Tidak ada cara lain. Sesulit apa pun langkah, harus ditempuh segera, berapa pun cost yang harus dikeluarkan.(*)
POJOK
Cawagub Mualem tersisa empat orang
Jadi ingat lirik lagu Balonku: Balonku tinggal empat, kupegang erat-erat
Mahfud MD sebut kekuasaan memabukkan
Ini berdasarkan pengalaman pribadi pak, ya?
Akun game dibobol orang, bocah Jantho loncat ke laut
Yang ini lebih memabukkan lagi
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.