Jurnalisme Warga
Kisah Intan Mahalia Meraih S-2 dari Pulau Simeulue
Banyak yang menganggap pekerjaan ini sepele dan tidak berharga. Mereka berpikir bahwa IRT hanyalah duduk-duduk di rumah tanpa melakukan apa-apa.
INTAN MAHALIA, S.Pd., M.Pd., Guru Bahasa Inggris SMA Negeri 1 Sinabang, melaporkan dari Medan, Sumatera Utara
Ini kisah tentang diri saya, Intan Mahalia, kelahiran Kutacane, Aceh Tenggara, pada 22 Juli 1995. Saya bersekolah di Kutacane sejak TK, lalu melanjutkan SMP dan SMA di boarding school Pesantren Darul Iman Kutacane.
Saya lanjutkan kuliah pada Prodi Pendidikan Bahasa Inggris UIN Sumatera Utara. Masa kuliah penuh pengalaman berharga. Saya aktif dalam organisasi, punya banyak teman, dan menikmati setiap momen jadi mahasiswa. Ikut dalam demonstrasi mahasiswa adalah salah satu kenangan yang paling membekas, menunjukkan betapa pentingnya memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan bersama.
Lima bulan sebelum wisuda saya dilamar tentara muda berpangkat serda. Roni Candra Desky namanya. Setelah istikarah dan mempertimbangkan dengan matang, saya terima lamarannya. Delapan bulan kemudian kami menikah dan saya ikut suami bertugas ke Simeulue, pulau terluar Indonesia di pesisir barat Pulau Sumatra.
Sebagai seorang ekstrovert yang senang bertemu orang baru, pindah ke Simeulue adalah tantangan besar bagi saya. Dari kehidupan kampus yang penuh aktivitas dan teman, serta keramaian Kota Medan dengan akses yang serbamudah telah melekat dengan keseharian saya, tiba-tiba saya harus beradaptasi dengan lingkungan yang sepi dan jauh dari keramaian di Simeulue.
Delapan tahun lalu Simeulue belum seramai sekarang. Kehidupan di pulau ini membuat saya merasa terkurung, terutama karena suami saya sering sibuk dengan tugasnya di luar.
Empat bulan setelah menikah, Allah izinkan saya mengandung. Setelah anak pertama kami berusia dua thun, kembali Allah izinkan saya untuk hamil anak kedua. Rutinitas saya benar-benar menjadi ibu rumah tangga. Saya sering sendirian di rumah dan bersyukur teknologi di tahun 2017 sudah bisa videocall sehingga saya dapat membayar rindu pada keluarga tercinta yang jauh di mata.
Terus terang, lima tahun pertama pernikahan sangat berat saya rasakan. Masa beradaptasi dengan lingkungan dan jauh dari keluarga berlanjut dengan hamil dan menyusui, kemudian hamil dan menyusui lagi. Semua ini membuat saya merasa ingin lari dari kenyataan. Benar, saya merasa bahagia, saya bersyukur memiliki suami yang bertanggung jawab. Suami saya termasuk tipe lelaki yang sangat pengertian, sosok 'family man'. Akan tetapi, kesibukannya sebagai prajurit TNI membuatnya tidak bisa selalu di rumah bersama kami.
Ketika saya harus belajar memasak dan mengurus keluarga, banyak orang bahkan keluarga terdekat, memandang remeh karena saya hanya seorang ibu rumah tangga (IRT). Punya banyak prestasi di masa sekolah dan kuliah, akan tetapi berakhir menjadi IR. Terus terang, menurut saya, tidak ada yang salah dengan menjadi IRT. Akan tetapi, banyaknya cemoohan dari orang sekitar membuat saya merasa 'insecure'.
Namun, tantangan sebagai IRT di pulau terpencil mengajarkan saya banyak hal. Saya belajar untuk lebih menghargai diri sendiri dan mencari kebahagiaan dalam kesederhanaan.
Banyak yang menganggap pekerjaan ini sepele dan tidak berharga. Mereka berpikir bahwa IRT hanyalah duduk-duduk di rumah tanpa melakukan apa-apa.
Saya merasa tidak pantas jika ada orang merendahkan IRT. Menjadi IRT bukanlah pekerjaan yang mudah. Setiap hari saya harus mengurus rumah, memasak, mencuci, membersihkan, dan merawat anak-anak. Tugas-tugas ini memerlukan kesabaran, keahlian, dan dedikasi yang tinggi.
Saya juga harus memastikan bahwa anak-anak mendapatkan pendidikan dan perhatian optimal yang mereka butuhkan. Ada kalanya saya merasa lelah dan kewalahan dengan semua tanggung jawab ini. Namun, saya selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga yang sangat saya cintai. Saya percaya bahwa peran sebagai IRT adalah hal yang sangat penting dan berarti.
Setelah melahirkan anak kedua, saya memutuskan untuk lanjut studi S-2. Saya memilih untuk kuliah jarak jauh (saya di Simeulue, kampusnya di Medan) karena situasi yang tidak memungkinkan untuk kuliah tatap muka. Tidak mungkin juga untuk LDR dengan suami dan anak.
Kuliah jarak jauh di Program Pascasarjana Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah Medan memiliki tantangan tersendiri. Dosen biasanya memberi saya tugas tambahan dan konsultasi materi yang dilakukan secara daring. Terkadang saya tertatih-tatih menyelesaikan studi ini, terutama karena harus membagi waktu antara mengurus dua balita, bekerja, dan menyelesaikan ttugas kuliah.
Melestarikan Budaya lokal Melalui Festival Bungong Jeumpa |
![]() |
---|
Dampak Kehadiran Es Krim Pabrik terhadap Industri Rumahan |
![]() |
---|
Ilmu, Keakraban, dan Keteladanan, Seminggu Bersama Prof Irwan Abdullah |
![]() |
---|
Suara Lirih di Balik Bilik Suara |
![]() |
---|
Bu Nur, Sosok Guru Panutan SMAN 1 Baitussalam yang Purna Tugas Setelah 36 tahun Mengabdi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.