Kupi Beugoh

Alat Kontrasepsi di Sekolah: Antara Kesehatan Reproduksi dan Moralitas

Ketidakjelasan tujuan pasal 103 ayat 4 tentang penyediaan alat kontrasepsi di sekolah ini, telah memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat. Pert

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS.COM/FOR SERAMBINEWS
Taushiyah Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pelarangan Khitan Perempuan, Penyediaan Alat Kontrasepsi kepada Remaja dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. 

Oleh: Hisnindarsyah*)

KEHAMILAN remaja, aborsi ilegal, dan peningkatan kasus penyakit menular seksual masih menjadi masalah serius di Indonesia. Berbagai upaya promotif dan preventif Kesehatan Reproduksi Remaja telah dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. 

Salah satu regulasi terbaru yang menarik perhatian adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 Pasal 103 Ayat 4. Pasal ini menegaskan pentingnya kesehatan reproduksi remaja dengan memprioritaskan edukasi dan pelayanan yang holistik, termasuk di antaranya penyediaan alat kontrasepsi di sekolah. 

Ketidakjelasan tujuan pasal 103 ayat 4 tentang penyediaan alat kontrasepsi di sekolah ini, telah memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat. Pertanyaannya adalah, “Apakah kebijakan ini merupakan langkah maju dalam upaya melindungi kesehatan reproduksi remaja? Ataukah justru akan memicu masalah sosial yang lebih besar, pelegalan seks bebas di kalangan remaja misalnya?”

Kesehatan Reproduksi sebagai Hak Asasi

Kesehatan reproduksi remaja adalah aspek krusial, namun masih kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan isu kesehatan lainnya. Padahal kehamilan yang tidak diinginkan di kalangan remaja, sering kali menjadi masalah serius. 

Baca juga: Alat Kontrasepsi untuk Siswa

Remaja yang terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak aman, juga berisiko tinggi terkena PMS (Penyakit Menular Seksual), seperti gonore, klamidia, herpes, dan HIV/AIDS. 

Kesehatan reproduksi yang baik, juga berhubungan erat dengan kesejahteraan mental dan emosional remaja. Isu terkait kesehatan reproduksi, seperti kehamilan tidak diinginkan dan PMS, dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya. 

Dengan memahami pentingnya kesehatan reproduksi pada remaja, adalah langkah fundamental untuk memastikan perkembangan fisik, mental, dan sosial yang sehat.

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 Pasal 103 Ayat 4, menyatakan bahwa setiap individu berhak mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas. 

Sehingga dengan diterbitkannya kebijakan ini, maka para siswa dan siswi di sekolah bisa mendapatkan askes kesehatan reproduksi secara inklusif, komprehensif dan holistik. Hal ini selaras dengan terpenuhinya hak asasi remaja terkait kesehatan reproduksi.

Debat Moralitas  Kesehatan Reproduksi

Norma moralitas yang berbeda di masyarakat sering kali menciptakan tantangan dalam implementasi kebijakan kesehatan reproduksi. Pasal 103 Ayat 4 PP No. 28 Tahun 2024 memprioritaskan penyediaan layanan yang inklusif dan berbasis bukti, namun hal ini juga memicu perdebatan tentang bagaimana moralitas seharusnya mempengaruhi kebijakan tersebut. 

Dengan dibukanya akses pendidikan seksualitas dan penyediaan alat kontrasepsi di sekolah, menjadi titik perdebatan karena dianggap dapat  mendorong perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan standar moral bangsa Indonesia. Seperti terciptanya peluang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan.

Namun di sisi lain, kebijakan yang tertuang dalam PP no.28 tahun 2024 pasal 103 tersebut, merupakan langkah penting untuk mencegah penyakit, mengurangi angka kematian, dan meningkatkan kesehatan reproduksi remaja secara keseluruhan. Tidak dapat ditampik, jika angka perilaku seks bebas di luar pernikahan yang terjadi di kalangan remaja cukup mengkhawatirkan. 

Seperti yang diungkap oleh Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 (dilakukan per 5 tahun), bahwa sekitar 2 persen remaja wanita usia 15-24 tahun dan 8 % remaja pria di usia yang sama mengaku telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah, dan 11 % diantaranya mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Di antara wanita dan pria yang telah melakukan hubungan seksual pra nikah 59 % wanita dan 74 % pria melaporkan mulai berhubungan seksual pertama kali pada umur 15-19 tahun.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved