KUPI BEUNGOH
Birahi Teungku dan Politik Panglima Tibang
Di lisan teungku-teungku ini terdengar asma-asma Allah, gaya berbicaranya lemah lembut seakan pelita di tengah kegelapan, akan tetapi...
Oleh: Rizki Ardial *)
“Sesunguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashas: 26)
AYAT ini saya kira sangat cocok dijadikan acuan dalam memilih pemimpin yang akan bekerja menjadi pelayan rakyat. Karena pada hakikatnya Kepemimpinan adalah melayani (HR Ibnu Asakir dan Abu Nu’aim).
Aceh, sebagai sebuah daerah yang memiliki lex spesialist dalam sistem demokrasi Indonesia, memiliki aturan khusus dalam mendorong tingkat partisipasi masyarakat untuk dipilih dalam pemilihan umum.
Bagi teungku yang ingin dipilih menjadi kepala daerah namun tidak memiliki partai politik pengusung, dapat mencalonkan diri melalui jalur perseorangan (independen), yaitu dengan cara mengumpulkan dukungan sebanyak 3 persen dari jumlah penduduk.
Dan jika ingin menjadi DPR di tingkat Aceh, tetapi tidak sejalan dengan partai politik yang sudah ada, teungku-teungku dapat mendirikan partai politik lokal (parlok) dan sudah bisa menjadi peserta pemilu di tingkat Kabupaten/kota dan Provinsi.
Teungku, secara terminologi merupakan sapaan bagi laki-laki dewasa di Aceh. Setiap laki-laki dewasa dari suku Aceh dapat disapa dengan sapaan teungku.
Hal ini ditegaskan dalam hadih maja, yaitu Aceh teungku, Meulayu abang, Cina toke, Kaphe tuan (orang Aceh bergelar teungku, orang Melayu bergelar abang, orang Cina bergelar tauke, dan orang Eropa bergelar tuan).
Dalam tradisi masyarakat Aceh, panggilan teungku dipandang lebih sopan, lebih menghormati/menghargai dan menunjukkan kewibawaan antarsesama.
Jadi, saya rasa tidak berlebihan jika saya menggunakan frasa teungku dalam penyebutan orang Aceh dalam tulisan ini. Hal ini untuk menunjukan kewibawaan orang Aceh sebagai bangsa teulebeh ateuh rung donya.
Dalam beberapa bulan terakhir, isu politik sedang menjadi pembicaraan hangat dihampir semua kalangan di Aceh, baik sosial media maupun di kedai-kedai kopi. Isu yang dibahas bermacam ragam, mulai dari pemilu legislatif yang lalu, pilpres sampai ke persiapan pemilihan kepala daerah (pilkada) ke depan.
Ada yang menarik dicermati dari ragam pembahasan tersebut, yaitu tentang hasrat ingin berkuasa para teungku-teungku, dan strategi yang digunakan untuk merebut kekuasaan, yang oleh sebagian masyarakat dipandang haus kekuasaan atau hanya untuk kepuasan birahi politik semata.
Hal ini terlihat dari pergerakan yang dilakukan dan manuver politik para teungku-teungku yang akan berkonstestasi. Begitu juga dengan para pengikut dan loyalisnya, mereka jarang sekali menyampaikan visi misi kandidat yang mereka unggulkan, melainkan sebatas hujat menghujat.
Baca juga: BREAKING NEWS - Bustami-Tu Sop Dipeusijuk oleh Tiga Ulama Jelang Pendaftaran ke KIP Aceh
Baca juga: Ribuan Massa Pendukung Bustami-Tu Sop Padati Taman PKA Jelang Pendaftaran ke KIP Aceh
Tidak hanya itu, strategi kampanye juga menjadi pembahasan menarik beberapa kalangan di Aceh, mulai dari ceramah-ceramah atau orasi politik, pengajian politik, majelis politik, pembagian sembako, politik uang dan lain sebagainya.
Yang menariknya lagi adalah, politik utang ilmu antara guru dan murid, dimana dalam pengajian/majelis politik, seorang guru akan mengutangkan ilmu yang dia ajarkan kepada para murid dengan catatan utang itu akan lunas jika para murid tersebut telah memberikan suaranya kepada sang guru di hari pemilihan.
Akan tetapi, jika si murid tidak memberikannya, maka ilmu itu di haramkan oleh sang guru kepada murid tersebut.
Mungkin ini merupakan strategi baru di Aceh dan telah berkembang di beberapa daerah saat pemilu legislatif yang lalu. Apakah akan terulang di Pilkada mendatang? kita nantikan saja.
Memang, Politik sering dikaitkan dengan kepentingan, akan tetapi kita juga tidak bisa lepas dari etika politik dan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya.
Pada dasarnya, politik ialah seni untuk memperoleh kekuasan. Artinya, politik itu indah, penuh dengan warna-warni dinamika di dalamnya. Jangan sampai karena birahi kita, politik itu akan dimaknai negatif oleh orang awam di kemudian hari.
Baca juga: Fatwa MPU, Jual Beli Mayat Haram
Baca juga: Sekjen DPP PNA: SK Dukungan PNA ke Safaruddin tak Sah
Setiap konstestan politik tentu memiliki kepentingan dan sudut pandang masing-masing, sehingga manuver politik yang dilakukan juga sesuai dengan alur kepentingan yang ingin di peroleh.
Lihat saja saat Pilpres yang lalu, Partai Demokrat yang sebelumnya menyatakan mendukung Anies Baswedan sebagai calon presiden, tetapi pada akhirnya mencabut dukungan tersebut karena ketua umumnya tidak dijadikan wakil Anies.
Di Aceh juga demikian, dalam pembentukan koalisi di Pilkada Gubernur (Pilgub) misalnya, setidaknya ada 4 partai politik nasional (Demokrat, Gerindra, Golkar, PAN) yang mendaftarkan kadernya untuk menjadi wakil Teungku Muzakir Manaf (Mualem) dari Partai Aceh untuk Pilgub mendatang.
Namun akhirnya Golkar dan PAN memilih mengusung kandidat lain setelah Partai Aceh mengumumkan Teungku Fadhlullah menjadi sosok wakil Mualem dari Partai Gerindra.
Begitu juga dengan Teungku Muhammad Yusuf A Wahab (Tu Sop), yang sebelumnya didaftarkan oleh Elemen Sipil untuk menjadi wakil Mualem, tapi kemudian memilih menjadi wakil dari kandidat lain setelah keinginannya tidak terpenuhi.
Entah membantu yang bagaimana awalnya dimaksud oleh Tu Sop terhadap Mualem, sehingga dia kecewa berat saat Mualem tidak memilih dirinya sebagai wakil dan kemudian menutup pintu untuk Mualem, (Serambi, 18/8/2024).
Baca juga: Sejumlah Ulama Hadiri Deklarasi Paslon Bupati dan Wakil Bupati Bireuen Murdani - Tgk Abdul Muhaimin
Baca juga: Ini Biografi Pasangan Murdani-Muhaimin, Calon Bupati dan Wakil Bupati Bireuen
Mungkin inilah contoh yang dimaksud Tu Sop dalam buku 'Memperbaiki Orang Kuat dan Menguatkan Orang Baik' yang dilaunchingnya menjelang Pilkada Bireuen 2017, dan saat itu beliau juga menjadi konstestan di sana, juga menjadi rival dari Partai Aceh.
Sebagaimana diketahui, manuver Tu Sop ini juga berujung pada mundurnya Abu Paya Pasi dari Dewan Penasehat Partai Aceh setelah rekomendasinya untuk memilih Tu Sop sebagai wakil Mualem tidak diindahkan oleh Partai Aceh.
Begitu juga dengan Bustami Hamzah yang sebelumnya terlihat sangat mesra dengan Partai Aceh, juga akan menjadi rival Mualem di Pilkada mendatang, dimana ia akan akan berpasangan dengan Tu Sop untuk melawan Mualem-Fadhlullah.
Bustami bahkan dinilai telah mengkhianati Mualem yang menjadi promotor dirinya untuk menjadi Pj Gubernur Aceh. Dengan bermodalkan dukungan tokoh-tokoh politik di Jakarta, dia lalu memilih menjadi lawan Mualem di Pilgub mendatang, (Serambi, 18/7/2024).
Memang, tuding-menuding siapa salah dan siapa benar mungkin lumrah terjadi dalam perebutan kepentingan. Namun, di usia perdamaian yang sudah 19 tahun, sungguh miris kita melihat pembangunan Aceh yang masih jauh dari harapan.
Pertikaian elite politik sering berujung pada terhambatnya pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Hal ini terjadi karena perpolitikan di Aceh masih didominasi birahi teungku-teungku dalam merebut kekuasaan.
Baca juga: Makin Segar, Irwandi Yusuf Selalu Tampil Modis dan Kekinian Bersama Sang Istri Muda Steffy Burase
Baca juga: Melihat Aktivitas Darwati Pasca Cerai dengan Irwandi Yusuf
Lihat saja di awal perdamaian, perpolitikan Aceh terbelah antar sesama teungku dari kombatan GAM, sehingga pembangunan Aceh tidak dapat dijalankan dengan maksimal.
Sekarang ini, saat para teungku dari kalangan eks kombatan GAM telah belajar dari pengalaman dan mereka sedang mempersatukan diri untuk menghadapi Pilgub yang akan datang, perpecahan kembali terjadi antara teungku dari kalangan GAM dengan teungku dari kalangan sebagian dayah.
Salah satu alasannya adalah mereka ingin berpartisipasi aktif dalam konstestasi politik. Tentu hal ini merupakan sebuah harapan dari undang-undang. Akan tetapi, dalam menentukan arah politik, mereka kembali tidak sejalan dan berujung pada pembelahan masyarakat.
Mungkin Ini pula yang dimaksud birahi kekuasaan yang sedang berkamuflase. Jika ini dibiarkan terus terjadi, maka tidak mustahil ke depan akan muncul istilah 'Panglima Tibang' baru di Aceh.
Sungguh, inilah yang menjadi kekhawatiran kita bersama. Di saat klaim Panglima Tibang disematkan kepada siapa saja yang tidak sejalan dengan birahi politiknya, maka tidak mustahil konflik horizontal akan kembali terjadi di Aceh antara para pengikut fanatik sesama bangsa Aceh, sebagaimana terjadinya Perang Cumbok (Desember 1945-Januari 1946).
Istilah Panglima Tibang masih sangat berbekas di kepala rakyat Aceh. Sebuah istilah yang diceritakan secara turun-temurun tentang kisah pengkhianatan seorang panglima Aceh yang memilih bersekongkol dengan Belanda demi memperoleh jabatan dan kekuasaan.
Baca juga: VIDEO VIRAL Rara Pawang Hujan Beraksi Jelang PON XXI Aceh Sumut, Hujan Lebat Turun usai Ritual
Baca juga: VIDEO - Televisi Meledak, Satu Unit Rumah di Lhokseumawe Terbakar
Dan kemudian Panglima Tibang menjadi sebuah istilah pengkhianatan dan kemunafikan dalam budaya masyarakat Aceh.
Sama halnya dengan apa yang sedang terjadi di Aceh sekarang ini, hanya saja dengan wujud yang berbeda.
Di lisan teungku-teungku ini terdengar asma-asma Allah, gaya berbicaranya lemah lembut seakan pelita di tengah kegelapan, seakan-akan hanya dirinyalah yang mampu membangun Aceh dan mensejahterakan rakyat.
Akan tetapi dari propaganda politik yang dilakukan, terlihat jelas birahi politik dirinya untuk merebut kekuasaan dengan memecah belah persatuan dan kesatuan umat.
Tidak beda dengan Panglima Tibang. Keahlian sulapnya mampu menghipnotis Sultan Aceh dan setelah ia berhasil masuk istana dan saat kepercayaan diberikan kepadanya, ia menjadi 'gunting' yang menggunting dalam lipatan. Wallahu’alam
*) PENULIS adalah Koordinator Lingkar Publik Strategis. (email: rizkiardial10@gmail.com)
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
kupi beungoh
Rizki Ardial Inisiator Forum Muda Peusangan Raya
Panglima Tibang
Politik Panglima Tibang
Birahi Teungku dan Politik Panglima Tibang
Pilkada Aceh 2024
Opini Tentang Pilkada Aceh
Genosida Gaza dan Dosa Besar Amerika |
![]() |
---|
Menjadikan Baitul Mal Aceh Sebagai Katalisator Kesejahteraan Rakyat |
![]() |
---|
Refleksi 20 Tahun Damai Aceh: Menanti Peran Anak Syuhada Menjaga Damai Aceh Lewat Ketahanan Pangan |
![]() |
---|
Utang: Membangun Negeri atau Menyandera Masa Depan? |
![]() |
---|
Melihat Peluang dan Tantangan Potensi Migas Lepas Pantai Aceh |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.