Opini
Quo Vadis Pendidikan Indonesia
Hal ini menunjukkan bahwa intervensi pemerintah yang lebih terarah diperlukan untuk mengatasi akar masalah ini.
Jasman J Ma'ruf, Profesor Manajemen di FEB Universitas Syiah Kuala, dan juga Rektor Universitas Teuku Umar periode 2014-2022
PENDIDIKAN merupakan pilar utama dalam pembangunan suatu bangsa. Namun, di Indonesia, ketidakmerataan pendidikan masih menjadi tantangan besar yang memerlukan perhatian serius. Ketidaksetaraan ini tidak hanya berdampak pada kualitas sumber daya manusia, tetapi juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk mengeksplorasi akar masalah dan mengimplementasikan solusi pendidikan yang berkeadilan guna mencapai visi Indonesia Emas 2045.
Akar masalah
Ketidaksetaraan pendapatan, kemiskinan, dan kesenjangan gender dalam pendidikan adalah faktor-faktor utama yang menyebabkan ketidakmerataan pendidikan. Hal ini diperparah oleh perbedaan akses dan kualitas pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan serta antara Indonesia bagian Barat dan Timur.
Ketimpangan pembangunan regional turut mempengaruhi ketimpangan pendidikan, yang pada akhirnya menghambat pemerataan kesempatan belajar bagi semua anak Indonesia.
Selain itu, ketidakmerataan pendidikan juga berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi negara. Meskipun faktor-faktor seperti tingkat kemiskinan dan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan menunjukkan dampak positif, namun pengaruhnya tidak signifikan dalam mengurangi ketimpangan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi pemerintah yang lebih terarah diperlukan untuk mengatasi akar masalah ini.
Komersialisasi pendidikan
Dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan tinggi negeri (PTN) di Indonesia menghadapi tantangan serius terkait dengan komersialisasi dan biaya pendidikan yang semakin tidak terjangkau. Beberapa isu utama yang mengemuka adalah komersialisasi perguruan tinggi negeri (PTN). Banyak PTN di Indonesia telah mengadopsi model bisnis yang mengarah pada komersialisasi pendidikan.
Hal ini ditandai dengan meningkatnya biaya pendidikan dan berbagai pungutan yang dibebankan kepada mahasiswa, yang seolah-olah menjadikan pendidikan tinggi hanya bisa diakses oleh kalangan yang lebih mampu secara ekonomi. Komersialisasi ini mengaburkan peran PTN sebagai lembaga publik yang seharusnya menyediakan akses pendidikan tinggi yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
Selain itu, Uang kuliah tunggal (UKT) yang semakin tidak terjangkau. Uang kuliah tunggal (UKT) merupakan sistem pembiayaan pendidikan di PTN yang seharusnya meringankan beban mahasiswa. Namun, pada kenyataannya, banyak mahasiswa mengeluhkan bahwa UKT di banyak PTN semakin tinggi dan tidak terjangkau, terutama bagi keluarga dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Kebijakan ini sering kali tidak memperhitungkan kondisi ekonomi riil dari keluarga mahasiswa, sehingga banyak yang merasa terbebani secara finansial.
Selain UKT, beberapa PTN juga menerapkan Iuran Pembangunan Institusi (IPI) yang sangat tinggi. Kebijakan ini memunculkan kesan bahwa PTN kini hanya diperuntukkan bagi orang kaya saja. IPI yang tinggi ini membebani mahasiswa dan keluarganya, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah atau menengah. Dampaknya, akses terhadap pendidikan tinggi yang berkualitas semakin terbatas bagi mereka yang tidak mampu membayar iuran tersebut.
Ada hal yang membuat kita amat prihatin, yaitu fenomena ketika seorang dosen tak mampu membayar biaya pendidikan anaknya di kampusnya sendiri meskipun ia mengajar anak orang lain di kampus tersebut. Kejadian ini menunjukkan ironi bahwa meskipun seorang dosen bertanggung jawab untuk mendidik anak orang lain, ia tidak mampu memberikan pendidikan yang sama kepada anaknya sendiri. Hal ini mengungkap ketimpangan yang ada dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia, di mana para pendidik sekalipun mengalami kesulitan mengakses pendidikan bagi keluarganya.
Solusi berkeadilan
Pendidikan yang berkualitas dan terjangkau merupakan fondasi penting untuk meningkatkan daya saing bangsa di kancah global. Negara-negara maju yang telah sukses dalam meningkatkan daya saing global mereka, seperti Finlandia, Jerman, dan Korea Selatan, semuanya memiliki sistem pendidikan yang kuat dan inklusif. Dengan pendidikan yang terjangkau, Indonesia bisa menghasilkan lulusan yang tidak hanya kompeten secara akademis tetapi juga memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri global. Ini akan membantu Indonesia menjadi pemain utama dalam ekonomi global dan mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja asing.
Untuk mengatasi ketidakmerataan pendidikan di Indonesia dan membuat pendidikan lebih berkeadilan, beberapa solusi dapat diusulkan, misalnya menggratiskan semua SPP Siswa, UKT, dan IPI Mahasiswa di PTN. Pemerintah harus berani menghapus biaya SPP di tingkat sekolah dan UKT serta IPI di perguruan tinggi negeri. Langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa pendidikan, baik di tingkat dasar maupun tinggi, dapat diakses oleh semua kalangan masyarakat tanpa memandang status ekonomi. Dengan menggratiskan biaya pendidikan ini, pemerintah dapat mewujudkan pendidikan yang benar-benar inklusif dan berkeadilan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.