Opini

Urgensi Pembangunan Terowongan Geurutee

Kini, setelah lebih dari satu dekade rencana pembangunan Terowongan Geurutee akhirnya menunjukkan harapan nyata.

Editor: mufti
IST
Dr Ir Basri A Bakar MSi, Peneliti BRIN Aceh, berdomisili di Cibinong 

Dr Ir Basri A Bakar MSi, Peneliti BRIN Aceh, berdomisili di Cibinong

SELAMA bertahun-tahun, kawasan barat selatan Aceh seperti Aceh Jaya, Aceh Barat, hingga Nagan Raya kerap merasakan jarak yang bukan sekadar soal kilometer. Melainkan tentang keterpencilan, kesenjangan akses, dan risiko keselamatan di jalan raya. Di antara semua tantangan itu, satu nama selalu disebut: Geurutee. Bukit indah yang memesona itu menyimpan jalan curam dan berkelok tajam yang menjadi momok bagi sopir logistik dan warga yang melintasinya.

Kini, setelah lebih dari satu dekade hanya menjadi wacana, rencana pembangunan Terowongan Geurutee akhirnya menunjukkan harapan nyata.

Gagasan besar ini sudah bergulir sejak masa Gubernur Aceh dr. H. Zaini Abdullah (Abu Doto), namun baru pada pertengahan 2025 dukungan politik dan kelembagaan mulai berpadu. Terowongan Geurutee akan dibangun dengan panjang sekitar 5,6 kilometer, dan menelan anggaran sekitar Rp 4 triliun.

Meski mahal, nilainya sepadan dengan manfaat jangka panjang: memotong jalur ekstrem yang sebelumnya mencapai 8–10 kilometer, mengurangi risiko kecelakaan, dan membuka jalur transportasi yang lebih efisien, aman, dan ramah lingkungan.

Jalur Geurutee saat ini merupakan salah satu titik paling rawan kecelakaan di Aceh. Hampir setiap musim hujan, kita mendengar kabar duka dari ruas jalan ini: kendaraan terjun ke jurang, truk terguling, atau jalanan terputus akibat longsor.

Tidak hanya membahayakan nyawa, kondisi ini juga menghambat aktivitas ekonomi masyarakat di wilayah barat selatan. Aceh tidak bisa terus-menerus bertumpu pada jalur pegunungan yang tidak stabil dan berisiko tinggi. Sudah saatnya kita melompat lebih jauh: membangun infrastruktur yang modern, aman, dan setara untuk semua wilayah.

Pembangunan Terowongan Geurutee tidak hanya menjawab kebutuhan dasar infrastruktur, tapi juga menjadi simbol kehadiran negara bagi masyarakat yang selama ini merasa terpinggirkan. Wilayah barat selatan memiliki sumber daya alam yang kaya—perkebunan, perikanan, pertanian, dan wisata—namun semua itu sulit berkembang tanpa akses yang baik. Ketika logistik mahal, pasar sulit dijangkau, dan perjalanan tidak aman, maka potensi sebesar apa pun tak akan bisa dioptimalkan.

Pengalaman masa lalu sudah menunjukkan betapa pentingnya infrastruktur dalam membuka isolasi. Pada 1980-an, jalur Banda Aceh–Meulaboh masih dipenuhi rakit penyeberangan karena belum banyak jembatan. Program “Bebas Rakit” yang digagas Gubernur Ibrahim Hasan kala itu menjadi solusi monumental, membuat jalan darat antarwilayah bisa dinikmati hingga kini.

Sebelumnya ada anekdot: “Kalau di pulau lain, tidak ada sungai tapi ada jembatan (jalan layang), namun di Aceh banyak sungai tapi tidak ada jembatan”.

Aceh tidak sendiri dalam hal ini. Banyak negara lain sudah lebih dulu menjadikan terowongan sebagai solusi strategis terhadap tantangan geografis. Norwegia, misalnya, membangun Laerdal Tunnel sepanjang 24,5 km untuk menghubungkan Oslo dan Bergen.

Sebelum itu, masyarakat harus melintasi pegunungan berbahaya dan feri yang tidak stabil. Setelah terowongan dibangun, ekonomi tumbuh cepat, dan kecelakaan menurun drastis. Tiongkok memiliki Zhongnanshan Tunnel sepanjang 18 km yang menghubungkan dua provinsi terpencil—Shaaxi dan Sichuan—dengan dampak luar biasa terhadap pertumbuhan kota kecil, perdagangan, dan pertanian. Bahkan di Mekkah, Arab Saudi, tercatat lebih dari 50 terowongan dibangun hanya untuk memperlancar arus jemaah haji dan kendaraan umum. Jika mereka bisa, mengapa Aceh tidak?

Dengan terowongan ini, wilayah barat selatan Aceh akan mendapatkan akses yang setara dengan wilayah lain. Perjalanan tidak lagi menjadi taruhan nyawa, dan masyarakat bisa bergerak lebih cepat menuju pusat pendidikan, kesehatan, maupun perdagangan. Biaya logistik akan turun, harga bahan pokok menjadi lebih terjangkau, dan pelaku UMKM bisa menjangkau pasar luar dengan lebih mudah. Ini adalah efek domino positif yang akan mengubah wajah ekonomi wilayah secara menyeluruh.

Selain itu, potensi wisata kawasan barat selatan akan ikut terangkat. Destinasi seperti Pantai Lhok Geulumpang, Gunung Goh Leumo, dan pesisir Samudera Hindia akan lebih mudah diakses wisatawan lokal maupun mancanegara. Ketika akses terbuka, maka investasi pun akan berdatangan. Dengan sendirinya, lapangan kerja akan tercipta dan taraf hidup masyarakat akan meningkat.

Tantangan dan harapan

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved