Opini
Aceh dan Degradasi Sosok Panutan
Karena sosok panutan itu diharapkan mampu mewujudkan keberlangsungan kiprah pendahulu terhadap bangsa, agama dan masyarakatnya. Wallahu'alam.
Syukran Jazila SHI, Peminat kajian politik, sejarah dan kebudayaan Islam
ACEH dalam konteks sejarahnya telah banyak melahirkan sosok yang menjadi panutan dalam masyarakat. Bahkan mereka banyak memiliki kontribusi yang membawa kemajuan di eranya hingga Aceh berdiri setara dengan bangsa lain.
Tak muluk peran dan sosok panutan ini lahir dari bagian sejarah dan perjuangan Aceh masa lalu, dimana mereka terus hadir melintasi antarmasa lewat regenerasi peradaban dan sosial. Pernah sejarawan menyebut munculnya sosok atau tokoh panutan bak jamur turun usai hujan seperti membawa Aceh berada dalam epic era atau era kepahlawanan di abad ke-19.Dari kacamata historis kedigdayaan Aceh di masa lalu, sebenarnya Bumi Serambi Mekkah ini lahir dipengaruhi oleh sosok panutan. Kemudian juga dipengaruhi rasionalisasi sejarah yang panjang dimana Aceh pernah larut kondisi dan eskalasi perjuangan dan pergerakan sejak abad ke-16 hingga era modern.
Dari aral lintang masa perjuangan dan kebangkitan pembangunan Aceh masa kini, sosok panutan ini memiliki sejumlah peran dan pengaruh dalam tatanan kehidupan sosial hingga urusan negara. Baik dalam mendulang trust society atau kepercayaan masyarakat yang tinggi dari sosok panutan ini hingga mampu mengantarkannya menampuk roda pemerintahan, pengambil kebijakan, pengayom sekaligus sebagai orang yang didengar kesah keluhnya dalam ruang lingkup masyarakat.
Dalam kondisi sengit masa lalu Aceh, proses terbentuknya sosok panutan ini bukan lahir dari suatu inkubasi formal secara instan, melainkan mereka lahir secara otodidak, dan hanya sekian persen dipengaruhi dari kultur socio serta adat dalam masyarakat. Karena sebagaimana diketahui, Aceh di masa lalu terutama di abad ke-19 terus bergejolak dalam prahara perang berkepanjangan sehingga rakyat Aceh memiliki keterbatasan dalam ruang dan waktu serta lingkup formal khususnya di bidang pendidikan.
Kapasitas dan kapabilitas mereka hanya terbentuk secara otodidak dengan proses transfer ilmu alami dengan sejuta pengalaman. Tapi hal itu pula yang dirasa kiat melahirkan unsur masyarakat dari grassroot (paling bawah) menjadi sosok panutan yang memiliki kapasitas terintegrasi dari proses yang telah disebutkan, dan dibantu dengan kemampuan intelektual alami dalam memegang peranan kontrol sosial yang kuat sekaligus layak menjadi tokoh yang dijaga dan dihormati oleh masyarakatnya.
Mungkin ada yang mengatakan, sosok panutan itu dipengaruhi karena garis nasabnya, tapi itu faktor terkecil yang mempengaruhinya. Seperti iman seseorang tidak bisa diwarisi dari seorang ayah. Begitu juga sikap, tingkah, perilaku dan matangnya keilmuan seseorang itu senantiasa lahir dari proses lingkup dan ruang gerak positif serta bekal kebajikan yang ia peroleh sejak dini. Dari akumulasi itulah sosok panutan ini menjelma menjadi pemimpin, politikus, tokoh masyarakat, hingga alim ulama yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang kuat.
Proses pembentukan
Dalam Islam salah satu cara membentuk sosok atau tokoh yakni dengan pembentukan karakter, seperti yang pernah dikatakan Hujjatul Islam Al Imam Ghazali seorang filsuf Islam terkemuka. Dimana ia mendorong agar setiap pembentukan karakter itu harus berdasarkan akhlakul karimah. Menurut Al Ghazali prototype dari akhlak itu sendiri terdiri atas al-hikmah (kebijaksanaan), asy syaja'ah (keberanian), al iffah (penjagaan diri) dan al adl (keadilan). Oleh karena itu Allah swt mengutus Rasulullah saw salah satunya selain pembawa risalah yakni untuk memperbaiki akhlak manusia. "Maka perbaikilah akhlak-akhlak kalian (hassinu khalaqakum)" kata Rasulullah saw dalam sabdanya. Pondasi itulah yang harus ada pada sosok panutan tersebut.
Di era demokrasi dalam politik praktis, kriteria dan sosok panutan ini sudah menjadi bagian kajian ilmu dan bisa dibentuk dari proses pengkaderan dalam suatu wadah. Dalam fenomena politik praktis misalnya, untuk memegang pundak kekuasaan dibutuhkan kendaraan politik berupa partai dalam suatu kelompok tertentu sebagai wujud implementasi negara demokrasi dalam bersosial dan kenegaraan.
Apalagi untuk meraih suatu kekuasaan, sosok panutan menjadi pemicu denyut raihan suara dan simpati atau pemikat bagi masyarakat. Dan proses ini biasanya diwujudkan dalam pesta demokrasi lima tahunan, baik pemilihan kepala pemerintahan negara atau wilayah, wakil masyarakat di parlemen hingga para pemegang pundak organisasi sebagai jalan praktik yang demokratis pada suatu kelompok masyarakat.
Berkaca pada kondisi Aceh dari masa lampau hingga sekarang, Aceh telah mengalami degradasi ketokohan atau sosok yang didambakan. Baik itu tokoh politik yang terbentuk dari transformasi era sejarah, tokoh kepemimpinan yang memiliki leadership mumpuni hingga sosok peneduh yang hadir dan mampu menjembatani masyarakat dalam berbagai kondisi, seperti bidang agama kemaslahatan umat yang dipegang perannya oleh ulama dan pendakwah masa kini.
Dalam kehidupan berdemokrasi hari ini, sosok panutan di Aceh sedikit mulai tergerus sistem demokrasi yang kental dengan politik elektoral sesaat bersifat sementara. Kemudian ia lenyap dan muncul kembali dan hilang lagi dengan rupa dan keadaan yang tak sama. Seharusnya ia terus hidup dan terus memegang peran dalam kehidupan sosial. Bukan hanya dijadikan boneka sesaat tapi mencoba menjaga keberlangsungannya agar tidak tenggelam dengan isu dan kepentingan.
Oleh karena itu, Aceh yang menjadi suatu daerah menjalankan prinsip demokrasi yang dibarengi penguatan tatanan kehidupan lewat penerapan Syariat Islam perlu menjaga kembali keberlangsungan sosok panutan dengan pengkaderan yang baik dalam masyarakat. Sebagaimana masyarakat dulu mempertahankan tokoh-tokoh penting di Aceh untuk didengar dan menjadi penyejuk dalam sanubarinya. Sosok tersebut boleh dari kalangan pemimpin, agamawan dan tuha peut dan para pemuda sebagai kader penggeraknya.
Sosok panutan ini sangat dibutuhkan dalam ruang lingkup menjadi imam atau pemimpin pemegang nahkoda melalui umara. Sementara sebagai orang yang menaungi tempat curahannya, meminta penyejuk hati melalui dakwah dan nasehat hingga keberlangsungan hukum dan adat dalam masyarakat, ulama memegang peran di tengah masyarakat sekaligus yang memberikan kontribusi dan kebijakan bagi seorang umara.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.