Pilkada Banda Aceh 2024
Larangan Perempuan Pemimpin, “Hantu” Jelang Pilkada Banda Aceh
“Memilih dan dipilih merupakan hak politik warga negara Indonesia, termasuk perempuan,” tegas Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh...
Penulis: Muhammad Nasir | Editor: Eddy Fitriadi
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Pada suatu pagi, sejumlah perempuan turun ke jalan di area car free day, tepatnya di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Jalan Daud Beureueh, Banda Aceh, akhir pekan Juli lalu. Sambil membawa poster yang menarik, mereka mengajak para perempuan agar tak takut berpolitik, meminta berbagai pihak tidak memainkan isu agama untuk menolak perempuan politisi, hingga menentang kekerasan terhadap perempuan.
Aksi yang diinisiasi Balai Syura Ureung Inong Aceh bersama para aktivis organisasi nonpemerintah ini mampu menarik perhatian para pengunjung car free day. Para aktivis itu ingin melawan wacana penolakan perempuan pemimpin yang muncul di media-media sosial menjelang pelaksanaan Pilkada pada November 2024.
“Memilih dan dipilih merupakan hak politik warga negara Indonesia, termasuk perempuan,” tegas Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Khairani Arifin.

Khairani menilai penolakan terhadap perempuan pemimpin berasal dari penafsiran sempit ajaran Al-Qur’an. Selain itu, hukum nasional Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) melindungi hak-hak perempuan. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak juga menegaskan hak perempuan menduduki posisi eksekutif dan legislatif di Aceh.
Ke belakang, sejarah Islam juga mencatat peran penting tokoh perempuan seperti Sayyidah Khadijah, Sayyidah Aisyah, dan Sayyidah Fatimah dalam mendukung dan menyebarkan ajaran Islam. Tidak ada larangan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik dengan menjadi pemimpin.
Sejarah Aceh sendiri juga merekam bagaimana perempuan bisa menjadi seorang pemimpin yang kuat. Ada empat Ratu yang memimpin Aceh selama 59 tahun, yaitu Sultanah Safiatuddin Tajul Alam, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin, Sultanah Zakiatuddin, dan Sultanah Kamalat Shah. Balai Syura menulis, kepemimpinan empat ratu ini didukung dua ulama besar, Nuruddin Ar-Raniri dan Abdurrauf As-Singkili.
Kala berperang, Aceh juga memiliki Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dhien, dan Cut Meutia yang memimpin pasukan saat melawan penjajah. Sejarah menunjukkan perempuan memiliki tempat penting dalam kepemimpinan di Aceh pada masa lalu.
Merebaknya isu tentang larangan pemimpin perempuan sudah dimulai sejak April 2024, usai pemilihan presiden. Sejumlah akun medsos yang memiliki follower tinggi, seperti @kotabandaaceh, @acehworldtime @tercydukaceh hingga @infobandaaceh mulai memposting orang-orang berpotensi maju sebagai wali kota dalam Pilkada Banda Aceh. Sejumlah akun juga membuat survei dengan memanfaatkan fitur di instagram.
Di Banda Aceh, nama yang kerap muncul di media sosial, adalah Aminullah Usman (wali kota Banda Aceh 2017-2022), Teuku Irwan Johan (anggota DPRA), Farid Nyak Umar (Ketua DPRK Banda Aceh), Sabri Badruddin (Anggota DPRK Banda Aceh/Ketua Golkar Banda Aceh), Afdhal Khalilullah (pengusaha/mantan Ketua KNPI), dan M Haekal (Ketua PMI Banda Aceh). Sedangkan yang perempuan adalah Tati Mutia Asmara (Anggota DPRA dari PKS) dan Darwati A Gani (Anggota DPD RI terpilih), serta Illiza Sa’aduddin Djamal (mantan wali kota Banda Aceh dan Anggota DPR RI).
Namun setiap ada postingan perempuan calon wali kota, selalu diikuti dengan kemunculan akun-akun yang menolaknya. Akun-akun itu meninggalkan komentar negatif yang kemudian jadi bahan perdebatan netizen di kolom komentar.
Misalnya, ada yang menuliskan di komentar instagram @kotabandaaceh: “Bunda dikenal dng penegakan syariat islam. Sprti yang sudah disampaikan Abu Mudi, haram memilih perempuan pemimpin. Jadi sebaiknya bunda jangan maju saja, karena akan menambah dosa anak2 muda b,aceh kalau ikut2an memilih bunda”.
Bunda yang dimaksud adalah Illiza Sa’aduddin Djamal, salah satu calon wali kota. Sedangkan Abu Mudi adalah salah seorang ulama kharismatik di Aceh.

Lalu ada akun lain yang menulis, “beuna wibawa bacut banda aceh, keu pemimpin hana cocok ureng inong”, yang artinya harus ada wibawa kota Banda Aceh, untuk pemimpin tidak cocok perempuan. Postingan ini memicu perdebatan antara yang pro dan kontra dan ada yang membawa hadis.
Sementara, akun @tercydukaceh, sebuah akun informasi yang memposting aktivitas Iliza, juga dikomentari, “Bagaimana pun lebih cocok pemimpin kepala daerah adalah sosok laki-laki. Perempuan tidak bisa memimpin manusia yang di dalamnya ada laki-laki. Walaupun bagaimana pun itu sudah ketentuan Allah dan kodratnya”.

Komentar itu ditimpali netizen lain yang menyatakan, “Hana layak Aceh di pimpin le awak inong (tidak layak Aceh dipimpin oleh perempuan)”.
Sore Ini, Illiza-Afdhal Dilantik Sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banda Aceh |
![]() |
---|
KIP Banda Aceh Serahkan Santunan Kematian untuk Keluarga Petugas TPS yang Meninggal |
![]() |
---|
Kapolresta Banda Aceh Minta Semua Pihak Terima Hasil Hitung KIP: Kecurangan Lapor Panwaslih-DKPP |
![]() |
---|
Illiza: Pak Aminullah dan Beberapa Sudah Ucap Selamat |
![]() |
---|
Diduga Terlibat Money Politic, Lima Orang Diamankan Panwaslih Banda Aceh |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.